Column

Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara/Sekretaris Komisi Etis Senat UIN Sunan Ampel Surabaya

Kapan hari penulis mendapat chat dari seorang sahabat memalui hp saya. Berikut adalah bunyi chat dari beliau: “Assalamualaikum wrwb,  sugeng sonten Prof …saya  sedikit mengikuti proses hukum ijazah Jokowi…Aduan MASYARAKAT oleh Roy Suryo dkk ke Bareskrim…hasil Ijasah JOKOWI ASLI …. Sisi lain Jokowi melaporkan Roy Suryo dkk Pencemaran nama baik … Sisi lain ada gugatan perdata,  ini apa maksudnya,  saya belum paham, maturnuwun atas pencerahannya”.

Menjawab pertanyaan sahabat saya tersebut, saya balik menchats beliau: “Ngaputen yang perlu diklarifiksi dulu itu adalah (1) Bagaimana Roy Suryo dkk, mendptkaan data ijazah yang seharyus mrpk sesuatu yang bersufat pribadi dan privasi bisa diekspose ke ranah publik. Karena data probadi/privasi itu dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Dan ekspose data pribadi/privasi ke publik tanpa danya ijin dari yg bersangkurtan itu sudah termasuk ranah pidana penjara dan/atau denda (tetapi saya sendiri melihat aspek ini belum pernah dibahas dalam setiap dialog). (2) Sementara ini yang saya pahami Gugatan pelaporan Jokowi thd mereka itu terkait dengan pencemaran nama baik dan buktinya dari youtube, medsos, dll., (3) Syarat Gugatan perdata harus didahului adanya transaksi (kesepakatan/perjanjian) sehingga timbul wan prestasi, selama itu tidak ada maka gugatan perdata tidak berlaku, keculai denda penyertaan dalam ranah pidana penjara dan/atau denda sbgmn disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di atas”.

Selanjutnya penulis akan mengelaborasi lebih mendalam terkait dengan apa yang dipertanyakan oleh sahabat saya tersebut sebagaimana paparan di bawah.

Memang apa yang dinantikan semua pihak terkait dengan uji forensik keaslian ijazah Presiden RI ke-7 secara terbuka telah diumumkan oleh Bareskrim Polri. Diketahui, Bareskrim Polri telah mendapatkan dokumen terkait ijazah Presiden ke-7. Penyidik menguji ijazah Presiden ke-7 dengan dokumen pembandingnya dan hasilnya identik. Penyelidik mendapatkan dokumen asli ijazah sarjana kehutanan Nomor 1120 atas nama Joko Widodo dengan NIM 1681KT Fakultas Kehutanan UGM pada tanggal 5 November 1985 yang telah diuji secara laboratoris berikut sampel pembanding dari 3 (tiga) rekan pada masa menempuh perkuliahan di Fakultas Kehutanan UGM meliputi bahan kertas, pengaman kertas hingga cap stempel. Dan dipastikan bukti dan pembandingnya identik.

Terkait dengan hasil uji ijazah tersebut, pihak lawan masih belum puas dan meragukan hasil penyelidikan Bareskrim melalui uji forensik. Banyak alasan yang mereka argumenkan, terkait hasil uji tersebut seperti tentang istilah identik, sampel pembanding, dan juga independensi. Memang wajar setiap ‘pemohon’ atau ‘penggugat’ selalu menginginkan setiap hasil sesuai dengan apa yang dimohonkan. Tetapi, jauh dari itu jika berpikir mendalam berarti seolah-olah ada ketidakpercayaan terhadap institusi penguji, institusi yang mengeluarkan ijazah, dan juga pemilik 3 (tiga) ijazah pembanding. Jika sudah demikian, apapun yang dilakukan oleh pihak ‘termohon’ akan selalu dicurigai, dan dianggap tidak sah.

Lepas dari permasalahan polemik tersebut, uji forensik keaslian ijazah Presiden RI ke-7 pada dasarnya baru tahap awal dari suatu proses yaitu penyelidikan. Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan peratutan perundang-undangan. Jadi maksud dan tujuan penyelidikan adalah mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

Menurut Pasal 17 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), jo Pasal 109 KUHAP, mengatur bahwa jika dalam penyelidikan tidak ditemukan data atau bukti yang cukup, maka penyidikan tidak dapat dilanjutkan. Penyidikan hanya dapat dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup yang mengindikasikan adanya tindak pidana.

Meski demikian Undang-Undang memberikan ruang kepada pihak yang ‘tidak puas’ dengan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia yang memang diberikan kewenangan untuk itu, jika permasalahan sudah masuk para proses penyidikan dan/atau persidangan. Jadi bukan pada proses sebagaimana dimaksud jika sudah masuk ranah penyidikan dan/atau persidangan. Berikut adalah alur balik penggugat, jika tidak merasa puas dengan hasil penyidikan dan/atau proses persidangan.

Berdasarkan Pasal 184 Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa Alat Bukti yang Sah Termasuk keterangan ahli (hasil forensik). Namun, nilai kekuatan alat bukti dapat digugurkan jika: (1) metodenya tidak ilmiah; (2) tidak sesuai prosedur; dan (3) objek yang diperiksa tidak relevan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pelapor berhak menghadirkan ahli tandingan atau meminta uji ulang untuk membantah hasil tersebut pada proses penyidikan dan/atau pada suatu persidangan.

Selanjutnya Pasal 180 KUHAP, menetapkan: “Jika hakim meragukan keaslian surat atau benda bukti, maka dapat diperintahkan pemeriksaan pembanding atau ulang.” Artinya: Jika pelapor mampu menunjukkan bahwa metode sebelumnya tidak valid, maka uji ulang adalah hak yang dilindungi hukum.

Ketentuan yang sama juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 1 angka 28 dan Pasal 117, yang mengatur bahwa: Keterangan ahli harus berdasarkan metode ilmiah yang objektif, Jika ada keberatan atas proses atau hasil pemeriksaan, pihak terkait berhak menyampaikan dan meminta klarifikasi/pemeriksaan ulang.

Penyanggahan terhadap alat bukti juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menganut Asas Audi et Alteram Partem (Hak Mendapat Pembelaan dan Menyanggah Bukti). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 (menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik), dan Pasal 11 (mengatur informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala oleh Badan Publik).

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, bahwa proses yang dilakukan oleh Bariskrim Polri adalah tahap penyelidikan yang bertujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Dan menurut Pasal 17 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), jo Pasal 109 KUHAP, menentukan bahwajika dalam penyelidikan tidak ditemukan data atau bukti yang cukup, maka penyidikan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini yang perlu dipahami oleh semua pihak. Artinya, pihak penyelidik dapat menghentikan proses ke tahap berikutnya (penyidikan), jika pada tahap penyelidikan tidak ditemukan bukti yang cukup.

Bagi penulis ada sisi lain yang tidak pernah dibahas dalam setiap dialog/diskusi, dan itu sebenarnya menjadi masalah pokok yang perlu dikemukakan, yaitu Bagaimana para penggugat yang menyangsikan ‘keaslian ijazah Presiden RI ke-7” memperoleh data ijazah seseorang yang bersifat pribadi dan privasi …? Mengapa? Karena suatu dokumen dan/atau data yang bersifat pribadi dan privasi seperti halnya ijazah sangat dilindungi oleh undang-undang. Artinya, terhadap dokumen dan/atau data yang bersifat pribadi/privasi harus mendapat persetujuan dari yang bersangkutan sebelum dilakukan ekspose dan/atau disampaikan ke publik.

Perlindungan terhadap data privasi tersebut di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini bertujuan untuk menjamin hak setiap individu atas perlindungan diri pribadi dan keamanan data pribadi mereka, serta mengatur penggunaan data pribadi secara bertanggung jawab.

Salah satu asas dalam perlindungan tersebut adalah asas kerahasiaan yang bertujuan melindungi data pribadi dari pihak yang tidak berhak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU PDP yang menyatakan: Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya. Selanjutnya dalam Pasal 67 ayat (2) dinyatakan: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut secara eksplisit dinayatakan, bahwa mengungkapkan (menyebarluaskan ke publik) Data Pribadi (termasuk ijazah) yang bukan miliknya merupakan tindak pidana, dan terhadap seseorang yang melakukan hal tersebut dapat dipidana penjara dan/atau pidana denda.