Column UINSA

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Wednesday, 28 December 2022

RADIKALISME DAN KITA

Awal Desember yang lalu, Bandung dikejutkan oleh serangan bom bunuh diri terhadap kantor Polsek Astana Anyar. Bersamaan dengan itu, polisi juga menggeberek beberapa orang di beberapa tempat yang diduga terkait dengan aliran radikal yang sering menebarkan tindakan teror. Lagi-lagi aktifis organisasi JAD (Jamaah Ansar al-Daulah) yang diduga sebagai pelakunya.

Dulu—hingga saat ini—publik mengenal al-Qaedah, sebuah organisasi yang dicap teroris dan paling kejam di dunia. Pengaruh organ ini hampir menyeluruh, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Organ lain yang hampir sama—bahkan dianggap sayap al-Qaedah juga berdiri di beberapa negara, seperti al-Sabab, Boko Haram dan Jamaah Islamiyah. Selain itu publik juga mengenal ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah), organisasi yang paling keras menebarkan teror. Al-Qaedah masih ‘agak santun’—begitu kira-kira sebutan anak pesantren dibandingkan dengan ISIS. Cara dan praktik gerakannya tidak seganas ISIS.

Tujuan organisasi yang menebarkan teror hampir sama–yakni bercita-cita mendirikan sebuah negara yang sepenuhnya berideologi Islam. Mereka berkeinginan menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar dan pondasi dalam menjalankan praktik kenegaraan. Sebagaimana dalam cita-cita awal model gerakan semacam ini, mereka meyakini dan mempedomani bahwa al-Islam yakni al-din wa al-daulah (bahwa Islam sesungguhnya mengatur dan mewajibkan praktik agama dan negara). Islam kaffah dalam pandangan mereka adalah Islam yang secara langsung ikut mengatur urusan dunia secara total. Islam salih likulli zaman wa makan dipahami bahwa Islam ideologi yang dapat diterima oleh siapapun.

Berpijak pada cara pandang yang demikian itu, maka organisasi tersebut berdiri dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Mereka juga menolak modernisme, demokrasi, hak asasi manusia, nasionalisme dan paham kenegaraan yang tidak sehaluan dengannya. Terutama terhadap paham yang bersumber dari Barat, mereka menolaknya secara mentah-mentah. Pendek kata, pandangan yang tidak sesuai dengan Islam harus ditolak, dilawan dan diperangi.

Persoalannya, kalau mereka mengatasnamakan Islam, lalu Islam yang seperti apa? Secara akademik bermula dari gerakan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadith secara murni, dan menolak atas tafsir keagamaan yang sumbernya berasal dari luar dua dasar dimaksud. Gampangnya, al-Qur’an dan Hadith harus ditafsiri dengan al-Qur’an dan hadith, bukan dengan dasar yang lain, sebagaimana para fuqaha’, ulama, salafus salih mempraktikkan  tafisr keagamaan dalam kitab-kitab fikih. Paham tersebut dalam sejarah dikenal dengan sebutan “kembali pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah”, “gerakan pemurnian Islam”, “gerakan purifikasi”. Dalam bahasa yang keren  dikenal dengan sebutan fundamentalisme, aliran kembali pada ajaran dasar.

Dalam praktiknya, gerakan tersebut tidak secara massif diterima oleh setiap muslim. Organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, kelompok-kelompok kajian yang mereka bentuk tidak serta merta dapat merubah keadaan. Perubahan yang bersifat segmented. Hanya kalangan tertentu, terutama kelompok menengah, kaum terdidik dan terpelajar yang dapat mengakses  informasi dan memahami persoalan dimaksud. Sementara kaum awam kebanyakan tidaklah demikian. Mereka tetap berada pada kungkungan ajaran yang penuh khurafat dan takhayyul. Begitu kira-kira mereka berpandangan.

Karena secara massif melalui jalur pendidikan dan khalaqah tidak berhasil, maka dimulailah dengan jalur politik. Politik dapat merubah keadaan dan dapat merubah kebijakan negara. Mereka yang sepaham kemudian menghimpun diri menjadi kekuatan politik. Pada pertengahan abad 20, muncullah Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizb al-Tahrir di Yordania , gerakan Wahabi di Saudi, al-Qaedah di Afghanistan, dan beberapa organ di belahan dunia muslim.  Mereka berdiri untuk memperjuangakan ideologi Islam berdasar versi mereka.

Dalam sejarah, kelompok fundamentalis masuk dalam ruang negara dan beberapa diantaranya menguasai parlemen. Taliban di Afganistan menjadi penguasa, dan Ikhwanul Muslim di Mesir pernah memenangkan Pemilu. Bukan sekedar di situ,  melalui jaringan internasional mereka membentuk perwakilan, dan mengembangkan sayap di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Terutama melalui jaringan alumni yang pernah belajar di Mesir, Mekkah, Madinah, Syiria, Yaman, Yordania hingga Turki. Dari merekalah, komunikasi dan kaderisasi terbentuk.

Kelompok seperti ini tidak berhenti secara politik, namun melakukan gerakan dan perlawanan senjata. Ketika akses mulai terbentuk dan kemampuan untuk mengorganisir diri sudah mulai mapan, maka selanjutnya melakukan gerakan perlawanan dengan senjata. Prinsipnya sama, apabila mengajak dengan cara damai tidak diindahkan maka dilakukan dengan cara pemaksaan. Jika dipaksa masih belum berhasil, maka harus dilakukan cara-cara kekerasan. Dari sinilah apa yang disebut dengan istilah “radikalisme” itu muncul. Radikalisme berarti babat habis sampai akar-akarnya dengan cara tindakan kekerasan untuk membasmi yang melawan atau yang tidak mau diperintah.

Ajaran radikal hadir ketika cara-cara lama melalui jalur pendidikan dan  dakwah yang dianggap terlalu lunak dan banyak menguras energi dalam negosiasi. Al-Qaedah, ISIS dan JAD lahir ketika rasa jenuh muncul, karena apa yang diperjuangkan oleh pendahulunya tak kunjung berhasil. Maka tidak ada pilihan, harus melakukan cara lain yang lebih keras dan ekstrim untuk memberikan pelajaran bagi yang lain, terutama sesama muslim yang tidak mengindahkan ajakannya.

Secara ideologis, paham yang bercorak radikal banyak bertebaran di mana-mana termasuk  di Indonesia. Namun mereka tidak sampai pada gerakan politik dengan angkat senjata, namun dalam bentuk kelompok-kelompok keagamaan, khalaqah dan sebaran informasi lewat internet, bulletin, majalah dan buku.

Model paham keagamaan yang dikembangkan sama. Bermula dari ajakan kembali pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah secara murni. Al-Qur’an dianggap benar jika ditafsiri oleh kelompoknya. Ajaran Islam yang benar hanya berdasar al-Qur’an sebagai tafsir dari pemimpinya, sementara ajaran kelompok lain adalah salah, sesat, bid’ah dan bahkan mendekati ajaran kafir. Ajaran Islam yang bersumber dari salafus salih dianggap salah dan sesat, karena mengandung khurafat, tahayyul dan berbau bid’ah.

Ajaran-ajaran seperti disebut di atas begitu luas terdengar di lingkungan kita. Melalui ceramah, media dan kontak lewat khalaqah begitu mudahnya kita dapatkan informasi tentang mereka. Jamaah atau pengikut berada di lingkungan kita, di sekeliling kita, bahkan di kanan-kiri kita. Ujung dari ajaran mereka adalah bahwa Islam yang benar adalah Islam yang di Timur Tengah, belajar langsung ke Timteng, atau belajar pada guru yang pernah belajar di Timteng. Islam di Indonesia penuh dengan tahayyul dan menyimpang.

Dalam praktik bermasyarakat mereka berprilaku eksklusif, seolah paling benar dan paling Islam. Jika diundang pada acara keagamaan kampung, mereka berkelit dan berdalih tidak bisa hadir. Jika dikasih berkat, tidak sedikit yang membuangnya. Jika tempat ibadah mereka kita datangi untuk beribadah, maka dengan secara cepat dibersihkan. Karena posisi umat selain dirinya kesuciannya diragukan. Begitulah seterusnya.

Suatu hari, mantan Menteri Agama Lukman Syaifuddin menyatakan bahwa paham radikal yang menyerupai ISIS merasuki beberapa Ormas di Indonesia. Atau bahkan pengurus Ormas memiliki kesamaan pandang dengan cara berfikir ISIS. Pernyataan tersebut sangat beralasan. Salah satu indikatornya adalah cara pandang yang eksklusif, mudah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain, dan menganggap dirinya dan kelompoknya yang paling benar dan paling Islam. Pandangan tersebut sangat mudah ditemukan dalam lingkungan kita, di sekeliling kita.

Namun masalahnya masyarakat sudah tidak lagi kritis. Perhatian kita dan pemerintah hanya focus pada ISIS nan jauh di sana. Sementara di sekitar kita, yang berpandangan nyaris sama dan merupakan benih munculnya radikalisme justru luput dari perhatian. Semoga semua pihak dapat menyadarinya.