Pesantren dan Islamic Boarding School
Seringkali kata pesantren diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Islamic Boarding School. Suatu kewajaran sebab amat susah memberikan gambaran yang utuh soal pesantren dalam bahasa asing secara konseptual. Karena itulah banyak peneliti yang kemudian memberikan definisi panjang lebar soal konsep pesantren. Namun ketika disederhanakan secara konseptual kembalimya selalu pada istilah Islamic Boarding School.
Latar Sejarah
Sejarah boarding school dalam tradisi pendidikan Barat sudah dikenal sejak tahun 597 M, atau sekitar lima ratus tahun pasca kenabian Isa al Masih. Institusi ini dikenal lekat sebagai lembaga “pendidikan keagamaan” untuk kalangan bangsawan kerajaan. Lembaga pertama (yang saya ketahui) bernama King’s School, yang berada di kota Canterbury-Inggris. Konon di sekolah ini para murid belajar tentang tata bahasa bahasa latin yang menjadi bahasa agama (dalam tradisi ritual gereja) saat itu. Para murid bangsawannya dididik -secara doktrinal- dalam aktivitas yang lebih mengarah pada pendisiplinan sikap dan cara berperilaku dengan menggunakan simbol agama. Bukan pada proses pencerahan keilmuan dan membangun daya kritis akademik siswa. Mungkin karena itulah (dalam catatan sejarah di Eropa banyak sekali ditemukan bukti tentang ) kenapa para bangsawan kerajaan sering berkolaborasi dengan tokoh “agama” untuk saling menguatkan kekuasaannya. Bahkan akibat proses pendidikan ( kalangan kerajaan atau bangsawan yang “doktrinal” inilah), kemudian lahir “abad kegelapan Eropa”. (Untuk kasus ini akan kita bahas di lain waktu)
Tradisi boarding school ini kemudian meluas ke bidang di luar pendidikan “agama”. Bahkan tidak lagi dikhususkan untuk kalangan bangsawan semata. Proses perkembangan politik juga menuntut sekolah sejenis untuk mengkader para “prajurit” dan “kadet” kapal laut yang memang membutuhkan kedisplinan dan ketrampilan khusus. Jadi secara historis Boarding School sebenarnya lembaga pendidikan yang khusus melayani kepentingan kerajaan atau para bangsawan. Jadi sangat wajar jika saat ini (umumnya) pendidikan boarding school dikelola oleh swasta dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Hanya kalangan orang kaya saja yang bisa mengakses.
Latar sejarah ini sangat berbeda dengan proses “berdirinya” pesantren. Dimana (kalau sedikit “dipaksakan” ) bisa dikaitkan dengan peristiwa nabi menjamu para “sahabat pengikut” nya dari kalangan “miskin” dari luar kota Madinah yang ingin belajar Islam pada nabi di emperan masjid Nabawi yang saat itu (didirikan sekitar tahun 662 M) sangat sederhana. Meskipun keduanya memiliki kemiripan “isu” sama-sama mengajarkan “agama”. Tetapi sangat berbeda “tradisi” akademik yang diajarkan. Jika para pendeta dan bangsawan Eropa dikarantina dengan segala layanan kemewahan di dalam boarding school mereka. “Pesantren” nabi yang seabad lebih muda usianya justru dimulai dengan “kesederhanaan” kehidupan nabi dan sahabatnya di emperan Masjid Nabawi.
Perbedaan kedua adalah soal karakter “santri”, jika boarding school para santrinya dari kalangan bangsawan atau orang kaya. Pesantren justru kebanyakan berasal dari kalangan bawah. Ketiga, pembentukan karakter akademik yang ditawarkan di Boarding School dilakukan melalui proses “doktrinasi” dan pendisplinan aktivitas simbolik keagamaan dengan kurikulum sangat ketat. Sementara pesantren justru menawarkan proses yang terbuka dengan memberikan ruang yang cukup bagi para santri untuk belajar secara mandiri dan mengamalkannya dengan beragam cara. Karena tradisi keilmuan yang diajarkan nabi Muhammad selalu memberikan pilihan yang tidak tunggal. Kita bisa mengetahu hal ini dari “ekspresi” laku keberagamaan para sahabatnya yang sangat bervariasi.
Perbedaan berikutnya adalah Jika para bangsawan dan calon “agamawan” kerajaan yang dididik di Boarding School diajari grammar bahasa latin yang menjadi bahasa resmi gereja saat itu dan pendisiplinan ritualnya. Maka pesantren justru mengajarkan “ahlaq” bagi para santrinya. Baru setelah nabi wafat pengajaran ilmu alat (bahasa/nahwu/shorof) mulai berkembang di “pesantren”. Itupun setelah para penganut Islam mulai banyak dari kalangan bangsa non Arab. Atau dikenal dengan sebutan kaum ajam.
Perbedaan “ideologis” yang prinsip juga terlihat dari tidak “dilibatkannya” kaum perempuan dalam Boarding School atau bahkan saat itu mulai ada penyimpangan ajaran “agama” yang memuncak di era abad pertengahan yang dikenal dengan abad kegelapan. Dimana perempuan tidak dianggap sebagai “manusia”, sehingga tidak punya hak “pendidikan”. Sampai kemudian lahir abad pencerahan yang mulai “menghargai” kaum perempuan. Sedangkan dalam tradisi akademik Islam, sejak awal nabi Muhammad tidak membedakan posisi kaum perempuan sebagai “santrinya” dengan kaum laki. Bahkan tidak sedikit sahabat perempuan nabi yang kemudian menjadi tokoh intelektual yang menjadi rujukan keilmuan para sahabat dan tabi’in setelah Rasulullah wafat sekitar 632 M. Salah satunya adalah Ummul mukminin Aisyah.
Islamic Boarding School di Indonesia.
Konon lembaga yang secara “formal” mendekati konsep boarding school “barat” yang diadopsi ummat Islam di Indonesia adalah Al Qismu Arqa (1918-1920) yang merupakan jenjang sekolah standar lanjutan. Lembaga ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan yang kemudian berubah namanya pada tahun 1921 menjadi Pondok Moehammadijah. Namun setahun kemudian berubah menjadi Hoogere Moehammadijah School hingga tahun 1923. Kemudian berubah lagi menjadi Kweekschool Moehammadijah sampai tahun 1932. Setelah itulah kemudian berubah namanya lagi menjadi Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah sampai sekarang ini (Susilo Wahid Nugroho 2019). Sistem pendidikannya pun lebih lama dari sistem sekolah formal lainnya saat itu. Bahkan sebagian muridnya ada yang tinggal di asrama pondok.
Karena itu secara sosiologis “Islamic Boarding School Muhammadiyah ini memiliki beberapa kemiripan dengan bording school di Eropa, salah satunya adalah tradisi akademiknya (karena lokasi ada di pusat “kerajaan” atau Keraton Jogja) maka lembaga ini sebenarnya juga “melayani” kaum bangsawan keraton. Karena itu untuk kepentingan “keamanan” namanya berubah ubah seiring “kebijakan” keraton yang mempertimbangkan sistem pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Walaupun akhirnya kembali ke “habitat” dengan nama yang bernuansa islami.
Sebagai ulama “keraton” yang modernis kiai Ahmad Dahlan jelas memiliki visi yang sangat jauh ke depan terhadap lembaga pendidikan yang dibangunnya (Meskipun hal ini sering menimbulkan kegaduhan di kalangan ulama kraton yang tradisional). Tetapi tidak menghentikan idealisme Kiai Ahmad Dahlan. Karena itulah tidak heran jika kemudian Muhammadiyah menjadi organisasi yang paling besar konstribusinya dalam mengembangkan sistem pendidikan formal modern di Indonesia hingga saat ini. Namun begitu, sistim Islamic Boarding School (IBS) di lingkungan Muhammadiyah ini tidak begitu massif berkembang. Meskipun akhir-akhir ini mulai banyak kalangan kaum modernis baru (kaum hijrah) yang merintis IBS Ini.
Di era tahun 1990-an mulailah muncul sekolah-sekolah yang bernuansa keagamaan terutama Islam yang bersifat “full day school” di kota-kota besar. Apalagi regim orba saat itu mulai dekat dengan kalangan “Islam modernis”. Sekolah Islam inilah yang melayani orang kota yang sangat sibuk, sehingga jarang bisa menjaga anaknya dengan baik. Akhirnya mereka menitipkan anak mereka kepada sekolah dengan sistem pendidikan full day, dengan tambahan pelajaran “doktrin agama”. Inilah yang kemudian dikenal dengan sekolah Islam terpadu. Dimana kebanyakan dirintis oleh kalangan aktivis Tarbiyatul Islam, dengan latar pendidikan sekolah umum dan bukan pesantren.
Dalam perkembangan selanjutnya sekolah-sekolah ini mulai mendirikan asrama bagi muridnya. Akhirnya munculnya istilah “Sekolah (pesantren) Islam terpadu”. Salah satu yang dikenal sebagai perintis adalah yayasan Hidayatullah Surabaya. Model “pesantren Islam Terpadu” inilah yang kemudian berkembang pesat hingga sekarang dan bahkan mulai ditiru oleh kalangan Islam tradisional yang bersekolah atau bersentuhan dengan tradisi akademik modern. Karena itulah karakter pendidikan Islamic Boarding School (IBS) jauh berbeda dengan pesantren. Karena tidak ada lagi “figur” sentral yang memiliki kharisma yang otoritatif dalam aspek keilmuan sekaligus peng-amalan nya. Dimana dalam tradisi pesantren biasanya melekat pada sosok kiai dan nyai.
Latar sejarah inilah yang menggambarkan perbedaan dengan proses berdirinya Pesantren dikalangan kaum Islam tradisional. Pendirian pesantren tradisional benar-benar berproses dari bawah dan dengan kalangan masyarakat bawah (bukan bangsawan). Di samping sebagai wujud amanah “keilmuan” kepada para santri untuk menebarkan hikmah. Bendirinya pesantren juga dilatari semangat “melayani dan membela” kaum lemah yang tidak memiliki akses kepada pendidikan formal yang mahal. Para santri ini pula yang kemudian “bermetamorfosis” menjadi kiai atau nyai setelah berkiprah lama di masyarakat. Kiai dan nyai adalah figur kultural sekaligus idiologis bagi para para santri, maka tidak heran jika eksistensi mereka tidak bisa dipisahkan dari (kultur) pesantren. Bahkan ketika mereka wafat pun tetap “tinggal” (dimakamkan) di lingkungan pesantren (biasanya di belakang atau samping masjid pesantren). Serta tetap “dimintai” sebagai wasilah atau perantara turunnya berkah Allah SWT oleh para santri. Kita tidak mungkin membayangkan ada makam di lingkungan IBS, karena akan dianggap syirik. Apalagi jika ada ritual wasilah segala, akan jadi bid’ngah dholalah yang sesat dan menyesatkan.
Di IBS semua proses pendidikan dilakukan secara doktrinal dan hanya dikenalkan pada satu madzhab keagamaan yang diakui oleh pengurusnya saja. Berbeda dengan pesantren yang mengenalkan dan mengajarkan semua madzhab yang diakui. Paling tidak dalam tradisi ahlussunah waljamaah diajarkan empat madzhab mulai dari Maliki, Hanafi, Hambali dan Syafi’i. Dengan sistem yang tidak terlalu doktrinal.
Akhirnya mengacu pada narasi sejarah dan juga tradisi yang dikembangkan. Kehadiran IBS bukanlah bagian dari perkembangan ideologis pesantren. Tetapi merupakan bentuk peniruan sistem pendidikan keagamaan kaum bangsawan Barat yang khusus diadakan untuk memperkuat posisi politis mereka di masyarakat. Karena itulah proses pendidikan nya dilakukan secara doktrinal dan tidak mengembangkan potensi “kritis” santrinya. Sehingga pendidikan ini akan melahirkan “manusia satu dimensi” yang susah menerima kritik dan perbedaan. Di Eropa sendiri proses ini berpuncak pada lahirnya abad kegelapan. Karena agama hanya dijadikan alat kekuasaan dan menghancurkan sisi-sisi dan nilai dasar kemanusiaan. Karena itulah penting bagi kalangan pesantren dan juga ummat Islam untuk lebih berhati-hati dalam mengadopsi sistem pendidikan boarding school ini. Jangan sampai “keunikan” pesantren dengan kultur terbukanya serta keteladanan dari figur kiai serta Nyai nya diganti dengan kekakuan sistem IBS yang akar nilainya justru berasal dari luar Islam. Bahkan sistem ini sebenarnya sekarang sudah ditinggalkan di negara asalnya, karena tidak lagi diperuntukkan untuk pendidikan agama semata. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan industri dengan sistem pendidikan magangnya (jangan2 nanti muncul model Pesantren Magang hehehe) . #SeriPaijo
Oleh: Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.