Event Peace Talks Series #3 kembali diselenggarakan pada Kamis, 7 November 2024 dengan mengusung tema “Mewaspadai Benih-Benih Radikalisme di Kampus: Mahasiswa dan Gelombang Informasi di Era Digital.” Acara ini rutin diselenggarakan setiap bulan oleh PSAP yang bertempat di Ruang Laboratorium Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Menghadirkan Dr. M. Saifuddin Umar, Lc., M.Pd. sebagai narasumber dan dihadiri oleh pengurus PSAP Prodi SAA, Kaprodi, sejumlah dosen, hingga mahasiswa.
Sebagai mahasiswa, apalagi di era digital kita semakin mudah mengakses informasi dengan cepat. Media sosial menjadi sasaran kemudahan untuk mengakses berita-berita secara luas. Ditambah masuknya paham-paham ekstrem yang semakin cepat dikonsumsi oleh sebagian mahasiswa tanpa adanya filter terlebih dahulu, membuat resiko terpapar ideologi radikal.
Peace Talks Series #3 ini menghadirkan mantan narapidana terorisme yang dikenal dengan Abu Fida. Orang yang dahulunya aktif di beberapa organisasi Islam seperti DI NII, Jamaah Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansharut Tauhid yang dikenal dengan cikal bakal gerakan ekstrem terorisme. Sosok Abu Fida dinilai sangat kontroversial, sebab pernah menjadi bagian dari kelompok jaringan terorisme. Sekilas, Abu Fida bercerita awal terpapar ideologi radikal “Saya terpapar saat kelas 3 SMA, sekitar tahun 1984 setelah membaca buku-buku karya Sayyid Qutub, Hasan Al Banna, dan Kartosuwiryo,” ucapnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Fida, radikalisme bisa terjadi melalui bacaan ataupun konten yang dimaknai secara tekstual, berakhir pada dangkalnya cara berpikir. Hal ini sesuai dengan penyampaian materi narasumber bahwa faktor pertemanan menjadi pemicu gerakan ekstrem, apalagi di dunia kampus. Dan saat ini kampus menjadi salah satu tempat yang paling mudah terpapar pemikiran radikal.
Dalam pemaparan materi, Abu Fida menyinggung bagaimana awal bisa tergabung dan terpapar ideologi radikal ini. Penyebab terpaparnya radikalisme ada dua faktor, yang pertama melalui bacaan buku-buku ekstrem atau mengarah pada radikal, dan faktor kedua karena pertemanan. Pada tahun 2004 ia ditangkap densus 88, tepatnya di asrama Haji Sukolilo dengan dugaan teroris, menyembunyikan informasi pelaku teroris bernama Noordin dan Dr. Azhari. Selang beberapa tahun, 2014 kembali ditangkap kedua kalinya karena ikut mendeklarasikan ISIS di Solo, Jawa Tengah. Berakhir dipenjara dan ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok selama dua tahun.
Saat itulah ia mulai merenung dan menyesal, memahami bahwa keterbatasan dan keterpurukan mental mengakibatkan hal-hal yang di luar nalar. Selama di penjara, mengalami titik balik yang mendalam melalui perenungan dan introspeksi diri. Menemukan ketenangan dengan membaca karya-karya seperti Watsiqotul Tarsyid, sebuah buku yang membahas makna jihad secara lebih dalam. Membantunya memahami konsep jihad dari sudut pandang yang lebih damai dan terarah, tidak selalu harus diwarnai kekerasan.
Dokumentasi Peace Talks Series #3. (Sumber: Dokumentasi PSAP)
Menjawab beberapa pertanyaan peserta mengenai pesan spiritual dan ciri radikalisme, ia berpendapat “Bahwa sesuatu yang tidak didasari dengan hati, maka jalannya akan menyimpang. Dan hikmah kedua, orang yang terpapar radikalisme itu seperti orang terkena virus, bisa diobati untuk menjadi lebih baik. Sedangkan orang yang dikategorikan radikal dilihat dari ucapannya selalu membawa dalil-dalil, ciri-cirinya tidak bisa dilihat secara fisik, serta doktrin yang keluar dari mulutnya secara tekstual,” ujarnya.
Dengan adanya diskusi semacam ini, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait cara menyaring informasi di lingkungan perkuliahan. Tak hanya itu, acara diskusi kali ini para peserta sangat antusias dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan unik sebagai tanggapan materi. Sehingga melalui acara tersebut pemahaman mahasiswa lebih bervariatif, tidak mudah terbawa ideologi ekstrem yang menjadi pemicu pemecah belah persatuan.
Di akhir sesi, setelah tanya jawab dengan peserta, ia menyampaikan jika orang yang terpapar radikalisme hampir 99% adalah karena adanya ketidakadilan yang disebabkan oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi, dan pengaruh ideologi. “Setiap tiga belas tahun pasti akan ada peristiwa baru, maka hadapilah dan persiapkan dengan baik. Saya sudah mengamatinya dan memang benar begitu terjadi. Patokannya saat kejadian WTC 2001 merupakan serangan teroris sangat fenomenal dan disusul dengan tiga belas tahun kemudian deklarasi ISIS pada 2014.” Pesannya kepada peserta untuk tetap menyikapi dengan pemikiran yang baik.
Penulis: Sarifatul Insaniyah