Salah satu hadis riwayat Bukhari menyatakan, sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa kita adalah seorang pemimpin, baik pemimpin diri kita sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, penting memahami bagaimana menjadi seorang pemimpin yang tepat. Dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya empat sifat, yakni jujur (siddiq), memiliki kemampuan komunikasi (tabligh), bertanggung jawab (amanah), dan cerdas (fathonah). Sifat-sifat tersebut melekat pada tokoh-tokoh pemimpin yang menjadi inspirasi masyarakat.
Gus Dur menjadi salah satu tokoh inspiratif para pemimpin muda, yang memiliki kecerdasan, kemampuan komunikasi yang baik, juga tanggung jawab, dan kesederhanaan beliau yang diakui banyak masyarakat. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang menjadi teladan para calon pemimpin muda di zaman ini, tidak hanya karena kemampuan komunikasinya yang unik tetapi juga karena sikap plularisnya yang sangat disegani semua umat beragama. Terpenuhinya hak beragama umat Konghucu menjadi bukti bahwa menjaga kemanusiaan adalah yang paling utama, karena berinteraksi dengan manusia adalah dengan menggunakan kemanusiaan bukan dengan background agama seseorang.
Menjadi pemimpin di dalam negeri ini baik pemimpin agama, maupun pemimpin masyarakat, diperlukan kepemilikan jiwa Pancasila. Nilai-nilai luhur yang menjadi bahan yang sangat kaya bagi seorang pemimpin saat ini terwakilkan dalam bentuk Pancasila sebagai dasar negara kita. Namun, di era di mana teknologi menjadi alat pertama interaksi manusia, menjadi tantangan pula bagi seorang pemimpin yang pancasialis.
Selain jiwa pancasilais, sifat inklusif juga pluralis penting dimiliki seorang pemimpin. Dalam gaya kepemimpinannya, Gus Dur menjunjung tinggi sifat inklusif dan pluralis. Melihat perkembangan zaman di mana perbedaan agama masih menjadi persoalan dalam berinteraksi sampai sekarang, maka dari itu seorang pemimpin harus memiliki jiwa pluralis yang memandang seseorang bukan dari asal usul agama, tetapi melihat dari kemanusiaan. Bahwa perbedaan agama bukan menjadi salah satu hambatan dalam berinteraksi sesama manusia, tetapi justru dapat menambah pengetahuan terkait perbedaan juga mengenai keragaman budaya.
Kepemimpinan yang inklusif adalah kunci organisasi berjalan efektif. Sebab, keberhasilan suatu organisasi salah satunya dilihat dari karakter seorang pemimpinnya. Bersikap terbuka terhadap beragam masukan dan konsisten dalam belajar juga merupakan kakteristik seorang pemimpin yang sukses. Ini juga merupakan ciri yang biasa ditemui pada organisasi pembelajar.
Organisasi pembelajar didefinisikan sebagai sebuah organisasi di mana pada umumnya orang-orang dalam organisasi tersebut secara terus menerus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang mereka impikan. Bermula dari organisasi pembelajar dapat merancang organisasi masa depan yang berkemajuan.
Begitu banyak hal yang didapat mengenai sifat dan karakteristik pemimpin ideal dalam kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama (PKPLA) 5 yang diadakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) selama lima hari di Yogyakarta-Magelang. Sebagai mahasiswa prodi Studi Agama-Agama, dalam pelatihan ini saya mendapat banyak pelajaran tentang kepemimpinan tidak hanya dari materinya saja tetapi juga dari para peserta PKPLA yang datang dari berbagai agama dan budaya, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Konghucu, Sikh, Baha’i dan tidak sedikit pula yang datang dari penugasan masing-masing instansi untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini menjadikan pengalaman yang didapatkan sangat luarbiasa karena bukan hanya mendengarkan materi yang disampaikan akan tetapi juga tour ke berbagai destinasi yang memiliki nilai pembelajaran di dalamnya.
Ada beberapa tempat yang dikunjungi seperti Pondok Pesantren Assalafiyah di Yogyakarta yang memiliki sistem digital mutakhir serta program ekopesantren yang sangat progresif meminimalisasi sampah lingkungan. Lalu peserta juga berkunjung ke Joglo Tani, tempat yang memberikan layanan edukasi terutama dalam hal pertanian pada masyarakat. Hal ini penting dipahami agar seorang pemimpin tidak hanya melihat bagaimana organisasinya tumbuh tetapi juga mengembangkan kepedulian terhadadap lingkungan.
Selanjutnya, peserta juga mengunjungi Candi Mendut di Magelang, yang dipercaya sebagai candi tertua sebelum adanya candi Borobudur. Museum misi Muntilan juga menjadi destinasi kunjungan sebagai tempat yang menyimpan sejarah perkembangan Agama Katolik khususnya di tanah Jawa. Adanya kunjungan-kunjungan ini memberikan pemahaman bahwasanya pemimpin yang inklusif-pluralis dan pancasilais diharuskan memiliki pengetahuan yang luas, agar dapat memakai kacamata pengetahuan dari sudut pandang manapun, baik dari agama juga maupun budaya.
PKPLA 5 ini merupakan kegiatan yang menjadi ruang bertemunya generasi muda untuk mengembangkan diri, menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan juga pengalaman. Adapun yang paling utama adalah meningkatkan skill kepemimpinan, melalui penajaman aneka perspektif untuk menjawab kebutuhan bangsa dan negara saat ini hingga mendatang. (Zakiatul Kamilia – Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama)