Column

Oleh: 
Dr. Fathin Masyhud, Lc., M.A.
Dosen BSA FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya

Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, bulan Ramadhan meninggalkan banyak kenangan dan pelajaran berharga. Bagi banyak orang, bulan suci ini bukan hanya waktu untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas diri dalam segala aspek kehidupan. Namun, begitu Ramadhan berakhir, tak jarang kita merasa kesulitan untuk mempertahankan semangat dan konsistensi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Pasca-Ramadhan, tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga momentum positif yang telah kita bangun selama bulan puasa. Di sinilah pentingnya membangun resiliensi diri sebagai langkah untuk tetap bertumbuh dan menghadapi tantangan kehidupan yang terus datang.  Kalau tidak bisa menjaga resiliensi diri maka termasuk dalam kategori tidak mendapatkan dampak positif dari ibadah puasa. Rasulullah Saw bersabda “Berapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali hanya lapar belaka, dan berapa banyak orang yang qiyamullail namun tidak mendapatkan dari sholatnya itu kecuali hanya begadang” (HR Ibnu Majah).

Resiliensi diri adalah kemampuan untuk bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan atau tekanan. Setelah Ramadhan, resiliensi ini menjadi kunci utama untuk menjaga kualitas ibadah dan kebiasaan baik yang telah terbentuk. Dalam banyak hal, bulan Ramadhan memberikan kita pelajaran tentang pentingnya kedisiplinan, pengelolaan waktu, dan kebiasaan positif. Namun, begitu Ramadhan selesai, godaan dan tantangan duniawi sering kali kembali menguji kita. Oleh karena itu, kita perlu membangun kekuatan batin untuk tetap bertahan dan terus berkembang.

Salah satu cara untuk membangun resiliensi pasca-Ramadhan adalah dengan menjaga keteraturan ibadah. Selama bulan puasa, kita terbiasa dengan rutinitas ibadah yang lebih terstruktur, seperti shalat tarawih, membaca al-Qur’an, dan berzakat. Pasca-Ramadhan, tantangannya adalah bagaimana kita tetap konsisten dalam menjalankan ibadah-ibadah tersebut meskipun lingkungan dan rutinitas kita kembali normal. Membuat tujuan ibadah yang jelas dan realistis, seperti melanjutkan kebiasaan membaca al-Qur’an setiap hari meskipun dengan waktu yang lebih singkat atau menjaga kualitas shalat dengan tepat waktu dan khusyuk, bisa menjadi langkah awal untuk mempertahankan kedekatan kita dengan Tuhan. Hal ini tidak hanya memperkuat hubungan spiritual, tetapi juga memberikan ketenangan batin yang penting dalam menghadapi segala rintangan.

Selain itu, Ramadhan mengajarkan kita tentang pentingnya pengelolaan waktu dan energi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan berbagai distraksi yang bisa mengganggu fokus dan produktivitas. Setelah Ramadhan, kita perlu kembali menata ulang cara kita mengelola waktu dan energi. Membangun resiliensi diri berarti kita mampu tetap produktif meskipun berbagai tantangan datang menghampiri. Mengatur prioritas dengan bijak, merencanakan kegiatan dengan lebih terstruktur, dan memberi waktu untuk istirahat yang cukup adalah langkah-langkah yang penting untuk menjaga keseimbangan hidup. Ini bukan hanya tentang menjadi lebih efisien, tetapi juga menjaga agar energi kita tetap terjaga untuk menghadapi setiap tantangan yang ada.

Rasa syukur yang ditanamkan selama bulan Ramadhan juga menjadi landasan penting dalam membangun resiliensi diri. Ramadhan mengajarkan kita untuk lebih menghargai nikmat yang ada, baik itu berupa kesehatan, rezeki, maupun kesempatan untuk beribadah. Pasca-Ramadhan, menjaga rasa syukur ini sangat penting agar kita dapat tetap melihat kehidupan dengan perspektif positif. Ketika kita mampu bersyukur atas setiap nikmat, bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun, hati menjadi lebih tenang dan jiwa lebih kuat. Dengan rasa syukur, kita mampu menemukan kekuatan dalam diri untuk terus maju meski tantangan hidup sering kali datang bertubi-tubi. Pada hakekatnya nikmat rasa syukur itu bukanlah untuk Tuhan namun akan kembali kepada diri manusia sendiri. “Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS Luqman : 12)

Namun, dalam perjalanan pasca-Ramadhan, kita mungkin juga akan menghadapi kekecewaan dan ketidakpastian. Mungkin kita merasa tidak dapat mempertahankan kualitas ibadah atau kebiasaan baik yang telah dibangun. Inilah saatnya resiliensi diri diuji. Resiliensi bukan berarti kita tidak pernah merasa kecewa atau gagal, tetapi bagaimana kita bangkit dan belajar dari setiap kegagalan. Jangan biarkan satu kekalahan membuat kita berhenti berusaha. Setiap kegagalan adalah bagian dari proses untuk menjadi lebih baik. Dengan semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri, kita akan lebih siap menghadapi setiap ujian yang datang.

Membangun resiliensi diri pasca-Ramadhan memang bukanlah hal yang mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan. Dengan menjaga keteraturan ibadah, mengelola waktu dengan bijak, menumbuhkan rasa syukur, dan belajar dari setiap kegagalan, kita dapat terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Ramadhan mungkin telah berlalu, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa terus kita bawa sepanjang tahun. Resiliensi diri adalah tentang keberanian untuk bangkit setiap kali terjatuh, dan melangkah maju meski tantangan terus datang. Jika kita dapat menjaga tekad dan komitmen dalam membangun diri, kita akan meraih kehidupan yang lebih bermakna dan penuh kedamaian. Tidak salah jika pepatah Arab mengatakan “al-Istiqomah khairun min alfi karomah (Istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah).”