
Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah, Dosen FAHUM UINSA
Ekspresi kebahagiaan setiap hari raya Idul Fitri selalu mencitrakan keunikan di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari aktivitas sepanjang bulan Ramadhan yang menjadi media “penggemblengan” diri agar menjadi insan-insan muttaqin; mulai dengan kewajiban berpuasa, sholat tarawih hingga amalan sunnah lainnya yang dilipatkan gandakan pahala bagi pelakunya. Proses “penggemblengan” sejatinya untuk kita sendiri sebagai Muslim, bukan untuk kepentingan Tuhan, walau faktanya sebelum datangnya hari raya Idul Fitri banyak yang berguguran, tidak seperti awal Ramadhan yang setiap musholah/langggar/surau dan masjid cukup ramai berjubel dalam ikut sholat tarawih.
Ketika hari Idul Fitri datang, nuansa kebahagiaan ditampakkan cukup riang gembira oleh masyarakat di Indonesia dengan beragam aktivitas yang membudaya dalam setiap tahunnya. Sebut saja di antaranya aktivitas mudik atau pulang kampung untuk bertemu orang tua dan sanak keluarga, perayaan takbir keliling, semua serba baru (baju hingga cat rumah), pembakaran mercon dan lain-lain yang mengambarkan luapan kegembiran. Sepanjang ekspresi itu tidak menghadirkan kemaksiatan baru, sepanjang itu ia layak dipertahankan sebagai khazanah Nusantara. Tapi, akankah kebahagiaan itu selesai di sini? Inilah pertanyaan tahunan bagi mereka yang mau merenungkannya.
Namun, sebagai bahan renungan diakhir Ramadhan, kita membaca flyer yang di sebarkan oleh Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan Ampel kaitan dengan ini yang menyebar di group whatsApp, tepatnya tentang hakekat kebahagian dalam merayakan Idul Fitri. Sebagai penjelasan tambahan, flyer tahunan sambut Ramadhan kali ini sengaja mengambil tema “Kalam Ulama Nusantara” dengan mengutip qoute-qoute penting dari perkataan para ulama Nusantara yang diambil dalam beragam karya-karyanya, baik yang masih berupa manuskrip maupun manuskrip yang sudah didaur ulang dalam bentuk cetakan baru.
Kutipan kaitan dengan hakekat kebagiaan itu diambil dari perkataan KH. Muhammad Ilyas Syarqawi (lahir 1989 dan Wafat 1959) dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep. Redaksinya sebagaimana berikut:
فَالسَّعِيدُ فِي يَوْمِ العِيدِ مَنْ يَتَذَكَّرُ الوَعْدَ وَالوَعِيدَ وَمُعَايَنَةَ المَقَامِ الشَّدِيدِ، وَيَطْلُبُ مِنْ مَوَائِدِهِ المَزِيدَ.
“Orang yang berbahagia pada hari raya ialah orang yang mengingat janji dan ancaman, mengingat saat menyaksikan keadaan yang sulit (pada hari kiamat), serta meminta tambahan dari hidangan (karunianya)-Nya.”
Pesan singkat Kiai Muhamad Ilyas sarat dengan makna di tengah himpitan duniawi yang semakin hari sulit dibendung merusak cara pandang tidak sedikit di antara kita. Akibatnya, mereka terjebak pada pencapaian _walau menghalalkan segala_ kebahagiaan yang semu, kebahagian formalistik hingga kebahagian artivisual yang cenderung sangat menduniawi. Disamping, mereka kurang berpikir menghadirkan kebahagian yang lebih substantif. Tak jarang, kita menemukan juga untuk mencapai kebahagian model ini, seseorang harus menyingkirkan orang lain agar dirinya dan kelompoknya bebas mengekspresikannya.
Kebahagiaan Sufistik
Untuk itu apa yang sampaikan Kiai Muhammad Ilyas, mengingatkan penulis pada Istilah kebahagian sufistik, yakni kebahagiaan yang mengutamakan dimensi ruhaniyah agar terus merasakan sinyal yang kuat dengan pemberi kebahagiaan sejati, yakni Allah SWT, disamping kebahagiaan duniawi. Hal ini terpancar pada harapan Beliau agar yang merayakan idul fitri untuk terus “mengingat saat menyaksikan keadaan yang sulit (pada hari kiamat)” sementara pada sisi yang berbenda “meminta tambahan dari hidangan (karunianya)-Nya”.
Harapan ini yang kemudian mengingatkan pada konsep tentang khauf dan raja’ yang masyhur dibahas dalam ilmu tasawuf. Dalam nalar Ghazalian, khauf dimaknai sebagai rasa sakit _atau takut_ dalam perasaan hati/jiwa disebabkan hadirnya sesuatu yang tidak menyenangkan, sebaliknya raja’ ialah perasaan bahagia dalam hati/jiwa disebabkan datangnya sesuatu yang menyenangkan. Pertama, khauf, misalnya, perasan takut akan siksaan Allah SWT sehingga seseorang akan tergerak untuk terus istiqamah melaksanakan apapun yang diperintah Allah dan menjauhi laranganNya, termasuk tidak menyakiti sesama.
Kesadaran ini pada konteks tertentu, pasca Ramadhan mendorong kita untuk terus berhati-hati agar tidak terjebak pada kebahagian yang melampaui batas (fariha batharin) sepanjang 11 bulan berikutnyasehingga melupakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah. “Penggemblengan” nilai-nilai spiritual sepanjang Ramadhan, jangan hancur sesaat karena efek dari pelampiasan diri. Nuansa spiritualisme harus terus dijaga sampai hayat dikandung badan pergi sebab dengan cara ini dimensi kebahagian sufistik akan menebarkan maknanya bagi kehidupan, lebih-lebih kehidupan di alam baqa’ (baca: akhirat).
Sementara, kedua, raja’ menyadarkan kita untuk tetap optimis bahwa rahmat Allah sangat luas sehingga kita harus terus mengharapkanNya, walau dalam gelimang kemaksiatan. Kita yang tidak mungkin terlepas dari dosa, atau memang sebagai pendosa, dengan begitu jangan pernah mengalami keterputusan atas rahmatNya. Bukannya Nabi Muhammad Saw, pernah mengingatkan salah seorang laki-laki yang mengadu tentang dosa-dosa yang dilakukan (hingga ia hampir berputus asa). Pengingat Nabi Muhamammad _sekaligus mengajarkan do’a_ kepada pendosa itu sebagai berikut:
اللَّهمَّ مغفرتُك أوسعُ من ذنوبي ورحمتُك أرجَى عندي من عملي
“Ya Allah, ampunanMu lebih luas dari dosa-dosaku, dan rahmatMu lebih aku harapkan dari pada amalku.”
Maka, raja’ mendidik kita untuk selalu berharap rahmatNya, sekaligus agar tidak membanggakan amal yang dilakukan. Pasalnya, mengandalkan amal seringkali melahirkan kesombongan dalam batin, apalagi sudah merasa paling takwa dibandingkan dengan orang lain. Hindari klaim kesalehan dan ketaqwaan berlebihan sehingga membutakan mata batin untuk terus tawadhu’ dan berharap rahmatNya setiap saat.
Last but not least, pesan Kiai Muhammad Ilyas mari kita jadikan pegangan penting dalam kehidupan sehari-hari pasca Ramadhan. Dengan mengingat masa sulit dimasa depan (kiamat), kita akan terus tergerak untuk menumpuk amal sholih dengan sebanyak-banyaknya, baik hubungan vertical maupun horizontal. Sementara dengan berharap ada tambahan dari hidangan (karunianya)-Nya, kita sadar bahwa segala proses yang kita lakukan bukan untuk dibanding-bandingkan dengan orang lain, apalagi kita tidak punya otoritas untuk mengatakan proses itu adalah yang terbaik. KarenaNya, proses itu harus disertai dengan harapan penuh dari Allah agar ridha dan rahmatNya terus mengalir sehingga kita betul-betul memperoleh kebahagian yang hakiki, bukan kebahagian duniawi semata.
Wallahul a’lam, mohon maaf lahir batin.