Column
Syarif Thayib, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Family Man.

Lapangan Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng – Jombang menjadi saksi. Para tokoh nasional, regional, dan lokal hadir pada acara pelantikan PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur (Jatim) masa khidmat 2024-2029 kemarin malam (30/11).

Di antara tokoh yang hadir, selain Rais Aam dan Ketua Umum PBNU adalah Prof. Muhammad Nuh, DEA (mantan Mendikbud RI), Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Kepala Badan Penyelenggara Haji Irfan Yusuf, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Bupati Jombang Nyai Mundjida Abdul Wahab. Juga hadir para Rektor PTKIN dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jatim.

Penulis sangat bersyukur bisa menghadiri acara tersebut, bahkan sangat bahagia, hingga sering tertawa lepas ketika menjumpai banyak teman lama di acara yang dihadiri oleh lebih dari seribu undangan, termasuk para Ketua Tanfidziyah dan Syuriah PWNU se-Indonesia bersama Ketua Tanfidziyah dan Syuriah PCNU se-Jatim.

Rais Aam dalam Taujihat (arahan)nya menegaskan bahwa “rongrongan” yang dihadapi NU saat ini bukanlah karena ketidakcakapan pengurus NU mengelola organisasi, tetapi pertanda “maqom” NU semakin tinggi, sehingga terpaan (angin) ujian juga bertambah kuat.

Sebagai akademisi, penulis sepakat bahwa memimpin organisasi tak ubahnya seperti menahkodai keluarga besar. Kita harus pandai menjaga dinamika yang ada di dalamnya dengan sepenuh cinta.

John Gottman pendiri laboratorium cinta “Love Laboratory” dari Washington University mengenalkan istilah “Matematika Cinta” untuk menguatkan dan membahagiakan keluarga (relasi pasangan suami istri/ Pasutri) dengan tingkat akurasi mencapai 92 persen. Kalau dalam organisasi, seperti mengukur bagaimana relasi cinta antar pimpinan dan/atau dengan bawahan.

Kembali pada masalah keluarga. Pasangan yang bertahan lama dan bahagia akan menebus satu kali kritik dengan minimal 5 kali pujian kepada pasangannya. Sebaliknya, pasangan akan bercerai atau menderita panjang apabila dia memuji 5 kali pada pasangannya, tetapi mengkritiknya hingga 4 kali.

Lebih jauh, John Gottman menegaskan, jika interaksi dalam keluarga (baca: organisasi) sudah pada tingkatan “Stonewalling” membisu atau acuh tak acuh satu sama lain, termasuk ketika sedang berpolemik, seolah-olah menarik diri dari hubungan. Kalau sudah begitu, maka kiamat/ bubar sudah di depan mata. Perceraian (putus hubungan) hanya menunggu hitungan detik saja.

Prahara Organisasi dan Keluarga

Kita pasti pernah melihat suasana panas dalam rapat/ sidang organisasi. Ada yang saling mengumpat dan lempar kursi, hingga adu fisik dan seterusnya, tetapi endingnya mereka membaca Shalawat bersama, saling berjabat tangan, menangis, dan berangkulan.

Menurut hemat penulis, hal itu jauh lebih baik dari pada rapat organisasi dipenuhi “diam”, cuek, seperti tidak ada kepedulian terhadap organisasi sama sekali. Diamnya bisa jadi karena takut berpendapat atau karena sudah malas berpolemik dan seterusnya. Mengeras seperti batu (stone) menghadapi tembok (wall) yang diam membisu, Stonewalling.

Stonewalling tentu tidak terjadi tiba-tiba. Ada tiga kondisi yang mendahuluinya.

Pertama, Criticism, yaitu suka mengkritik/ menyalahkan pasangan. Atau pemimpin yang suka menyalahkan/ mengkritik bawahan, ataupun sebaliknya.

Kedua, Defensive, yaitu kecenderungan “bertahan” ketika ada konflik. Kelihatannya seperti mendengarkan/ menerima kritik, tetapi sejurus kemudian melakukan serangan balik, balas dendam, dan seterusnya. Atau bahkan mengasihani diri, seperti dengan perkataan: “Memang aku ini gak becus, selalu salah” dan seterusnya.

Ketiga, Disrespect, yaitu merasa dirinya lebih hebat, sehingga mudah merendahkan orang lain, dan tidak menghormati pasangan. Atau sesama pimpinan dan bawahan meremehkan satu sama lain.

Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan kalau sudah terlanjur ada Criticism, Defensive, Disrespect, dan Stonewalling pada organisasi kita?

Pertama, menetralisir Criticism dengan fokus pada perasaan dan harapan ketika mengkritik kolega, atasan, atau bawahan kita. Seperti dengan ungkapan yang tidak menyerang mereka: “Saya merasa tugas Anda belum maksimal. Saya berharap, ke depan Anda bisa lebih semangat.”

Kedua, daripada Defensive, ambil saja tanggung jawab itu. Sebagaimana dalam ungkapan: “Rupanya belakangan ini saya kurang memperhatikan tugas Anda. Maafkan saya ya.. Besok akan saya bantu mengerjakannya.”

Ketiga, terhadap tabiat Disrespect. Belajarlah untuk menghormati, mengagumi, sering mengapresiasi, atau minimal berlatih mengucapkan terima kasih dan memuji. Misalnya dengan ucapan: “Anda memang hebat, terima kasih ya sudah banyak membantu.”

Keempat, kalau ada gejala Stonewalling atau bahkan sudah terjadi, selalulah berusaha memelihara ketertarikan pada usaha yang sudah dilakukan oleh bawahan, kolega, atasan atau pimpinan, dan berusaha peduli terhadap hubungan baik dengannya. Kalau dalam relasi Pasutri, lihatlah Wedding Agreement (perjanjian pernikahan).

Wallahu a’lam bish-shawab.