UINSA Newsroom, Senin (12/12/2022); Perth, Sabtu (10/12) Tim LPPM UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya berkesempatan menyampaikan presentasi tentang beberapa tema di hadapan akademisi Universitas Murdoch. Presentasi dilakukan tiga presenter dengan tema berbeda. Adalah Dr. Phil. Khoirun Ni’am yang mempresentasikan topik unity and diversity, Dr. Agus Afandi membawakan materi tentang university community engagement (UCE) on disaster management, dan Dr. Chabib Musthofa membawakan tema international collaborative research.
Pada presentasi pertama, Dr. Ni’am menyampaikan, bahwa gejala keragaman dan persatuan antar komunitas yang terjadi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di belahan bangsa dan negara lain. Di Arab misalnya, bahasanya sama akan tetapi mereka terpecah dalam beberapa negara yang berbeda-beda. Di Eropa juga begitu, tiap variabel kebudayaan yang berbeda, menjadi dasar munculnya negara yang berbeda. Walaupun mereka disatukan oleh bahasa yang sama.
Berbeda dengan itu, Indonesia yang dalam beberapa catatan memiliki 700 sampai 800-an bahasa daerah, dapat bersatu dengan ikatan bahasa rumpun melayu. Kekayaan sebanyak 17.508 pulau dengan 1.340 suku bangsa tidak menjadikan mereka terpecah, tapi malah menyatu dalam satu negara yang disebut Republik Indonesia. Hal itu tidak lepas dari peran para cendekiawan Islam yang berafiliasi dalam dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan NU dan Muhammadiyah sebagai penyokong kesatuan NKRI sangat besar. Terbukti dengan keterlibatan kader-kader kedua organisasi sosial keagamaan ini dalam pemerintah ketika mereka berada dalam struktur birokrasi, dan menjadi patner strategis dari pemerintah ketika mereka tidak berada dalam struktur birokrasi,” ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UINSA ini.
Selepas itu, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat, Dr. Agus Afandi memberikan materi tentang University Community Engagement (UCE) yang dilakukan UINSA Surabaya, khususnya dalam topik membentuk masyarakat siaga bencana atau manajemen kebencanaan (disaster management). Pada paparan tentang pengalaman akademisi UINSA melakukan pendampingan pada masyarakat yang rentan mengalami bencana alam. Pendampingan itu sendiri dilakukan secara partisipatif dengan mengorganisir tiap pihak yang terkait dengan komunitas dampingan dalam melakukan berbagai upaya menuju kelompok yang lebih siap terhadap bencana.
“Kita punya pengalaman dan kekuatan dalam melakukan pendampingan masyarakat dalam isu kebencanaan. Tapi manajemen bencana bukan hanya soal pengorganisasian manusia, tapi juga terkait soal lain, teknologi salah satunya. Maka dari itu, ke depan mungkin perlu ditingkatkan penguatan model pendampingan masyarakat rawan bencana dengan akademisi lintas disiplin agar pendampingan itu lebih akurat menguatkan ketangguhan komunitas atas bencana,” ujarnya dengan mantab.
Di sesi ketiga presentasi dibawakan Dr. Chabib Musthofa yang memberikan paparan tentang perlunya melakukan international collaborative reseach antar akademisi dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki perbedaan disiplin keilmuan. Akan tetapi memiliki kesamaan pandangan dalam kepentingan pengembangan lembaga pendidikan tinggi dan ilmu pengetahuan. Berbagai dinamika sosial yang terjadi di berbagai kawasan, menjadi destinasi sekaligus topik penelitian yang tak ada habisnya. Bahkan, dinamika sosial itu tidak hanya dapat dipahami secara sederhana dari satu sisi, namun memerlukan perhatian yang lebih komprehensif sehingga memerlukan berbagai disipin dan tradisi pemikiran beragam dalam upaya mengkajinya. “Pada titik inilah diperlukan upaya memperkuat koneksi sekaligus kolaborasi riset antar kalangan akademisi lintas negara,” tegas Dr. Chabib Musthofa.
Presentasi ini ditutup dengan tukar menukar cindera mata antara LPPM UINSA dengan perwakilan penyelenggara yaitu Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA), setelah terjadi dialog antara narasumber dengan peserta. (B5-lppm-22)