Column UINSA

Oleh: Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.

Ngaji 2 
Kitab Bidayatul Hidayah

Menuntut ilmu bukan sekedar menambah pengetahuan (riwayat) dan ketrampilan tertentu. Karena menurut Imam Ghozali seorang penuntut ilmu yang baik harus memiliki prinsip niat yang kokoh agar bisa mendapatkan hidayah. Terutama menguatkan hidayah yang sudah ditanamkan oleh Allah sejak kita masih dalam kandungan. Bahkan beliau menjelaskan tentang sebuah riwayat bahwa bagi seorang penuntut ilmu yang punya niat mencari hidayah, maka para malaikat akan membentangkan sayapnya sepanjang jalan yang dilewati pencari ilmu tersebut. Bukan hanya itu, konon semua Ikan di lautan akan beristighfar memohonkan ampun buat para pencari ilmu (hidayah). Hal ini menandakan betapa pentingnya posisi niat atau maksud/tujuan mencari ilmu. Sebab jika kita salah niat ataupun tujuan, akibatnya akan fatal karena bisa menghancurkan agama kita (para pencari ilmu). Bahkan bisa menjerumuskan kita ke dalam tindakan maksiat yang berkepanjangan dengan ilmu yang sudah kita peroleh tersebut. 
Jika diletakkan dalam isu kekinian, kita bisa menduga bahwa banyaknya ketidakadilan dan kerusakan alam di dunia saat ini, bisa jadi bersumber dari niat yang melenceng tersebut, dimana niatnya sudah semakin jauh dari niat mendapatkan hidayah Allah tersebut.

Di sisi lain konsep Hidayah, yang diistilahkan dalam kitab Bidayatul Hidayah ini sebagai buah dari ilmu. Hakekatnya merupakan sebuah konsep kesatuan dalam proses “pembelajaran atau pencarian”  ilmu itu sendiri. Sebab itulah, niat atau tujuan untuk mendapatkan hidayah Allah dalam proses pembelajaran adalah syarat mutlak (conditio sine qua non) agar proses pembelajaran itu berhasil, baik secara dhohir ataupun bathin. Sehingga ilmu yang diperoleh para murid akan berfungsi sebagai cahaya,  yang menjadikan mereka yang berhasil meraihnya akan bisa membedakan mana yang Haq dan yang bathil.  Anehnya di zaman akhir ini alih-alih cahaya ilmu digunakan untuk menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan, akan tapi justru digunakan sebagai sarana untuk melegalkan tindakan maksiat atau kebathilan. Artinya mereka  yang mendaku sebagai ahli ilmu hanya sibuk dengan tujuan-tujuan duniawi dan menjauhkan diri dari cita-cita ukhrowinya. Atau bahkan mereka sama sekali tidak punya cita-cita ukhrowi.   

Fenomena semakin dangkalnya pemahaman dan amalan para “ilmuwan” ataupun “Agamawan” saat ini bisa jadi merupakan pertanda  dhohir dari hakekat ilmu yang mereka miliki.  Dimana sejak awal menuntut ilmu (di lembaga pendidikan) memang tidak diniatkan untuk mendapatkan hidayah Allah, tetapi sengaja didisain untuk kepentingan duniawi. Sehingga “produk” lulusannya tidak berkualitas, melainkan sekadar memenuhi syarat ataupun standar minimal yang ditetapkan dengan indikator material semata. Maka tidak perlu heran jika ahli ilmu semacam ini masuk dalam kategori makna sebuah hadits “Barang siapa yang  bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah yang dimilikinya maka sesungguhnya dia semakin jauh dari Allah”. Dalam riwayat yang lain bahkan dijelaskan bahwa siksa yang sangat berat bagi mereka yang berilmu tapi ilmunya tidak bermanfaat. (Bahkan bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas untuk kesenangan dunianya).  

Ya Rabb lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusuk, amal yang tidak diangkat, dan do’a yang tidak didengar. Aamiin YRA. #SeriPaijo