Tiba-tiba saja berhenti. Sama sekali. Mendadak lagi. Semua lalu terhening. Untuk beberapa saat. Padahal kala itu ujian sedang berlangsung. Proses tanya-jawab sedang berjalan. Untuk kepentingan kelulusan. Yang menentukan nasib seseorang ke depan. Dan semestinya, semua berjalan dengan penuh kelancaran. Karena ujian itu tengah hangat-hangatnya dilangsungkan. Setiap poin yang menjadi pemikiran diujikan. Setiap argumen yang disampaikan dipertanyakan. Pemikiran dan argumen itu berasal dari presentasi peserta yang sudah terjadwalkan. Lalu dinilai oleh tim asesor yang beranggotakan tiga orang profesor sesuai amanah yang diberikan.
Kala itu, Senen (23 Desember 2024), sinar mentari mulai meredup. Pertanda hari mulai surut. Sedang berlangsung Uji Kompetensi (Ukom) atas seorang dosen dari sebuah perguruan tinggi ternama di luar Jawa. Ukom itu dilakukan atas usulan kenaikan jabatan fungsional akademik tertinggi dosen. Ukom ini adalah praktik pertama kali yang terjadi di Indonesia. Hasil inovasi kebijakan yang diambil oleh Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Kebijakan tersebut dilahirkan sebagai upaya untuk menjaminmutukan proses asesmen kenaikan jabatan fungsional akademik tertinggi dosen di Kementerian Agama.
Tak ada isyarat apa-apa sebelumnya kala itu. Juga tak ada tanda-tanda yang muncul sebelumnya pada titik itu. Tiba-tiba saja lalu kegiatan Ukom itu berhenti sama sekali. Awal ceritanya, sang dosen itu sedang mempresentasikan pemikirannya tentang teaching statement. Materinya berkaitan dengan pembelajaran sebuah bidang dalam wilayah kajian dakwah sebagai sebuah bidang keahlian yang dia usulkan. Dia lalu menyampaikan argumennya tentang pentingnya penguasaan kompetensi sejarah dakwah Islamiyah oleh mahasiswa yang belajar spesialisasi di bidang dakwah itu.
Belum genap dia menyampaikan kalimat “Kita ingin mencetak ahli dakwah yang…,” aku pun lalu menyergahnya dengan bercanda. Kubilang dalam sergahanku itu: “Hemmm, awas jangan gunakan kata “mencetak” lho ya, sensitif itu he heeee.” Kuucapkan kalimat itu hanya untuk sedikit bercanda. Agar Ukom tidak berjalan menegangkan. Ku punya kepentingan dengan sergahan itu. Agar sang dosen itu juga tidak tegang. Karena ku tahu setiap dosen yang maju Ukom untuk kepentingan sukses perjalanan menuju jabatan fungsional akademik tertinggi cenderung tegang. Apalagi Ukom itu pertama terjadi di negeri ini, seperti kusebut di atas. Belum pernah ada preseden sebelumnya. Oleh institusi atau instansi manapun di tanah air ini. Jadi, semuanya serba baru. Dan karena itu, semua dosen pengusul kenaikan jabatan fungsional akademik tertinggi itu cenderung tegang.
Cerita soal tegang di kalangan dosen yang mengikuti Ukom di atas memang macam-macam. Ada yang saat menunggu giliran dipanggil ke ruangan untuk proses pelaksanaan Ukom harus bolak-balik ke kamar mandi. Bisa lima kali. Pertanda tekanan mental menjadi-jadi. Ada pula yang latihan presentasi berkali-kali dengan materi dalam bentuk PPT yang sudah diberikan kepada panitia pelaksana sebelumnya. Latihan itu dilakukan langsung bersama kolega kampusnya. Ada pula yang membawa supporter keluarganya. Pasangannya diajak serta ke gedung pelaksanaan Ukom bersama anak-anaknya. Dan, ini yang menarik, saat calon dosen itu masuk ke ruang pelaksanaan Ukom, sang isteri memutar tasbih kencang-kencang sambil menggerak-gerakkan mulutnya untuk membaca dzikir dan doa buat kelulusan sang pujaannya.
Intinya, semua peserta Ukom kenaikan jabatan fungsional akademik tertinggi melakukan usaha apapun untuk sukses Ukomnya. Tegang pun menjadi susah dihindarkan akhirnya. Dan, itu tampak sekali dari cara bersikap selama proses menunggu giliran Ukom di gedung pelaksanaan ujian itu. Dan sikap tegang itu sungguh wajar-wajar saja. Sangat manusiawi. Bisa terjadi pada siapa saja. Saat yang bersangkutan sedang berada atau menjalani proses besar yang akan menentukan nasib dirinya. Apalagi Ukom itu untuk pertama kalinya terjadi di negeri ini, seperti kusebut di atas. Jadi, tak ada pengalaman sama sekali sebelumnya. Tak ada preseden yang bisa dipelajari. Maka, tegang pun sungguh sangat bisa dimengerti. Bisa terjadi pada siapapun.
Karena itulah, terpikir olehku untuk meredakan ketegangan yang melanda peserta Ukom kenaikan jabatan fungsional akademik tertinggi di atas. Lalu, terjadilah percakapan ringan seperti yang kuuraikan di atas. Saat kusebut kalimat “hemmm, awas jangan gunakan kata “mencetak” lho ya, sensitif itu he heeee” seperti kusebut sebelumnya, sang dosen itu langsung terdiam. Untuk beberapa saat lamanya. Terdiam sama sekali. Lalu terisak. Dan menangis. Tampak dia sedang menahan beban berat yang dialaminya dan institusi tempatnya bekerja. Akibat ulah salah seorang rekan dosen di lembaga itu yang terlibat dengan peranan yang superpenting dalam praktik kejahatan penggandaan uang palsu.
Tentu kejahatan yang dilakukan oleh oknum kampus tersebut telah menodai kemuliaan kampus itu. Mengoyak kalbu warga kampus itu. Terbayang betapa besar luka hati yang diakibatkan tindak pidana kejahatan keuangan yang dilakukan oknum dosen kampus itu. Luka hati tersebut menjadi serius karena diiringi dengan beban sosial yang sangat berat di mata masyarakat. Tak hanya di daerah asal kampus itu. Tapi juga nasional. Karena itu, tindak pidana kejahatan itu telah menimbulkan beban sosial yang sangat besar kepada seluruh warga kampus itu. Beban sosial itu memberikan tekanan psikologis yang kuat nan berat.
Melihat situasi lapangan yang berkembang di seputar kasus penggandaan uang palsu itu, maka sangat bisa dimengerti jika luka hati, beban sosial, dan tekanan psikologis yang besar itu dirasakan betul oleh hampir semua warga kampus itu. Termasuk oleh dosen yang sedang mengikuti proses Ukom di atas. Dan melihat sang dosen tersebut kontan terisak dan menangis, aku pun buru-buru harus meminta maaf. “Maaf, maaf ya Pak. Saya mohon maaf telah melukai hati Bapak karena menyebut kata ‘mencetak’. Saya mohon maaf telah menyinggung Bapak.” Begitu rangkaian kalimat itu juga kontan kusebut. Aku khawatir dia tersinggung karena kata yang kuucapkan itu.
Tapi, untungnya, kekhawatiranku itu ternyata tak terjadi. Dia ternyata tidak tersinggung. Dia ternyata tidak marah. “Nggak apa-apa, Prof. Saya hanya sedang sedih saja. Sangat sedih sekali. Saya sedang tak kuasa menanggung beban sosial yang berat akibat praktik kejahatan oleh oknum dosen kami.” Begitu penjelasannya yang kuingat kala itu. Aku pun lega. Walaupun pada saat yang sama, aku pun juga hanyut dalam emosi itu. Terenyuh. Aku pun bisa merasakan kesedihan dan beratnya beban sosial yang ditanggung warga kampus itu secara keseluruhan. Tentu siapapun warga kampus, dan dari mana pun berasal, tak pernah terbayang akan mengalami situasi sulit seperti itu.
Bagaimana tidak, reputasi yang lama diperjuangkan oleh pimpinan kampus itu harus hancur dalam sekejap oleh tindak kejahatan salah seorang pegawainya. Semua pun di internal kampus itu tentu marah besar pada pelaku kejahatan penggandaan uang palsu yang telah mencoreng-moreng wajah kampus kecintaan bersama. Sebab, bagaimanapun, kampus itu juga menjadi kebanggaan sang dosen yang sedang ikut Ukom itu secara spesifik. Tentu juga menjadi kebanggaan kita semua di negeri ini. Sebab, bagaimanapun, bersama peguruan tinggi lainnya di negeri ini, kampus itu juga telah ikut melahirkan banyak orang hebat di negeri ini.
Lalu, untuk menjelaskan beratnya beban sosial yang ditanggung oleh warga kampus itu, sang dosen yang sedang menjalani proses Ukom itu pun bercerita lebih jauh kepada kami. Dan kisah yang dia ceritakan ulang kepada kami kala itu membuatku semakin juga bisa merasakan pilu dan duka mendalam akibat ulah oknum dosennya. Begini ceritanya: “Kala itu saya turun dari khutbah Jumat di sebuah masjid kenamaan di daerah kami. Usai shalat, ada orang yang tahu kampus asal saya, lalu bilang begini: “Halaa, bisanya khutbah. Ceramah melulu. Tapi kampusnya menjadi tempat penggandaan uang palsu.”
Mendengar celotehan sinis ini, dia pun lalu menangis dalam hati sambil berjalan keluar meninggalkan masjid. Dalam hatinya dia tak kuasa menyimpan rapat rasa sedih yang besar itu. Pilu sekali. Hingga dalam urusan ibadah saja, sinisme dan cibiran itu tetap saja keluar dari warga masyarakat. Begitu kejadian pilu yang dia ceritakan ulang kepada kami. Diceritakan di tengah Ukom yang sedang berjalang namun sempat terhenti karena perbincangan ringan yang berasal dari kata “mencetak” di atas. Sungguh ku bisa menangkap sedih dan pilu yang dia bagikan kepada kami kala itu.
Oooh, beratnya beban sosial itu!!! Bikin sedih dan pilu sekali. Karena sinisme dan cibiran dari masyarakat didengar dan dialami secara langsung oleh sang dosen yang sedang ikut Ukom di atas. Termasuk saat menjalankan tugas khutbah sekalipun. Mendengar dan mengalami langsung cibiran dan sinisme semacam itu, sang dosen itu pun tak kuasa melakukan apa-apa. Dia tak bisa melakukan apapun kecuali selalu melantunkan istighfar. Mengklarifikasi tentang detail masalahnya sudah tak ada gunanya. Karena beritanya lebih santer dibanding penerimaan orang atas klarifikasi dari internal warga kampus itu. Menolak, apalagi. Karena fakta tersaji dengan terangnya. Kasus pidana kejahatan penggandaan uang palsu itu terkonsumsi seluas-luasnya. Hanya, sedih dan pilu yang dirasakan dan yang tersisa.
Tentu mendengar penyataan-pernyataan cibiran dan sinisme semisal oleh jemaah Jumat di atas, sang dosen itu tak kuasa menutupi rasa sedihnya. Bukan hanya kampusnya terdampak berat. Warga kampus pun juga terkorbankan. Dosen adalah contoh warga kampus yang merasakan dampak buruk dari tindak kejahatan besar produksi atau penggandaan uang palsu di atas. Apalagi uang palsu yang diproduksi itu memiliki kecanggihan tertentu hingga susah dideteksi secara kasat mata. Bahkan oleh perangkat X-ray sekalipun. Yang beredar pun juga sudah sangat besar sekali jumlahnya.
Tentu tunjuk jari warga masyarakat mengarah ke kampus dosen itu. Hingga dalam urusan khatib Jumat pun, warga masyarakat sudah tidak mempercayai para khatib yang berasal dari kampus dimaksud. Minimal mereka secara terbuka menunjukkan sinisme dan cibiran. Bagaimana tidak, usai khutbah Jumat pun sinisme itu diekspresikan. Cibiran itu diungkapkan. Padahal mereka masih berada di area masjid. Begitu dahsyatnya dampak buruk yang menimpa kampus itu akibat kejahatan penggandaan uang palsu yang dilakukan oleh oknum dosen di kampus itu.
Karena itu, pesan pentingnya dari kasus tindak pidana penggandaan uang palsu di atas adalah: jangan bunuh masa depan. Kasus penggandaan uang palsu itu telah membunuh marwah kampus itu. Minimal dampak buruknya yang dahsyat telah menimbulkan kehancuran nama baik kampus itu beserta warganya. Cibiran dan sinisme publik kini dirasakan besar melanda. Bahkan, kepercayaan sosial pun tampak terjun bebas. Seakan kampus itu tak ada baik-baiknya. Bahkan, kebaikan dan kemuliaan yang telah ditorehkan kampus itu selama ini terhapus begitu saja. Reputasi kampus itu seakan rontok oleh ulah oknum pegawainya.
Tentu, pertanyaannya kemudian, bagaimana praktik membunuh masa depan itu bisa terjadi? Bagaimana nalar yang bisa diuraikan? Ada dua modus perilaku yang penting dihindari. Dan sebagai pembelajaran, kita semua penting untuk waspada terhadap keduanya, termasuk melalui kejadian yang diuraikan di atas. Pertama, menodai nurani publik akan membunuh masa depan sendiri. Publik mungkin tidak hirau pada yang detail. Tapi mereka memiliki nurani yang dibangun di atas logika umum yang jika ditabrak akan langsung direaksi negatif oleh mereka. Dalam kasus perilaku warga kampus, publik memiliki logika umum begini: Kaum terdidik seharusnya menjadi simbol moral. Namun jika mereka justeru menghancurkan moral itu sendiri, maka nurani publik pasti akan terlukai. Jika ini terjadi, maka pelaku terdidik penghancur moral itu otomatis akan dimaknai telah langsung membunuh lembaganya sendiri.
Kedua, mengumbar masalah sendiri ke publik sama dengan membunuh masa depan diri dan lembaganya sendiri. Apalagi di era serba digital, mengumbar masalah sendiri itu akan kemudian dikonsumsi oleh sebanyak-banyaknya orang tanpa batas. Kemajuan teknologi digital di bidang komunikasi dan informasi membuat praktik buruk umbar masalah sendiri ini semakin berdampak buruk. Sebab, praktik buruk umbar masalah sendiri ini akan menjadi konsumsi publik yang mereka sendiri baru akan paham akar masalahnya setelah kebenaran informasi yang beredar terverifikasi-tervalidasi. Karena itu, ungkapan ini penting menjadi perhatian: “Jangan menjemur celana dalam di halaman depan.” Karena celana dalam itu bagian dari marwah sendiri. Karena itu, jangan hancurkan marwah sendiri itu karena praktik buruk umbar masalah sendiri di ruang publik itu.
Apalagi, kini prinsip bad news is good news seakan menjadi nilai jurnalisme baru. Berita buruk atau negatif justeru akan memprovokasi orang untuk membacanya. Lebih-lebih di era digital yang semua orang bisa memproduksi dan mengunggah informasi di satu pihak dan menerimanya secara leluasa di pihak lain, prinsip anti-mainstream telah menjadi pemantik algoritma informasi. Sebab, orang akan cenderung termotivasi untuk mencari berita yang tidak biasa. Prinsip anti-mainstream itu menandai hal yang tidak biasa itu. Karena itu, setiap kali ada kejadian buruk, apalagi yang mencederai nurani publik, akan langsung menjadi atensi publik pula. Karena itulah, kasus tindak pidana penggandaan uang di atas langsung viral.
Praktik buruk tak ada kaitannya dengan gelar akademik. Kedewasaan berperilaku tak selalu identik dengan indeks akademik. Bukan berarti bahwa semakin tinggi indeks dan atau gelar akademik seseorang, semakin dewasa dia dalam berperilaku di ruang publik. Bisa saja gelar akademiknya telah mencapai puncak atas, tapi saat tak ada kedewasaan diri, perilaku yang lahir justru akan membunuh masa depan diri dan sekaligus lembaganya. Mungkin dampak ke lembaganya tak selalu langsung. Tapi tetap saja bahwa karena dirinya menjadi bagian dari lembaga itu, maka dampak buruknya tetap akan mengenai lembaga. Kasus penggandaan uang palsu, seperti yang diulas di atas, cukup menjadi bukti konkret dan sekaligus pembenar atas argumentasi ini.
Di sinilah kuingat betul pesan Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nazaruddin Umar, MA. Pesan itu disampaikan pada Wisuda Sarjana X Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo (STIT-UW) Jombang, Ahad (22 Desember 2024). Ku hadir kala itu selaku Koordinator Kopertais Wilayah IV Surabaya dan sekaligus rektor UINSA yang sedang berkhidmat kepada Menteri Agama selama kunjungan kerjanya di Jawa Timur hari itu. Dalam orasinya, seperti bisa dilihat kembali tayangannya di kanal STIT-UW Jombang TV pada URL: https://www.youtube.com/watch?v=9cO_r6djqds, Menteri Agama itu berpesan agar para sarjana yang baru diwisuda tak hanya mampu menjadi orang pintar tapi juga sekaligus menjadi orang arif.
Menteri Agama itu lalu memberi penjelasan lebih detail mengenai identifikasi atas orang pintar dan orang arif. Begini penjelasannya: “Semua orang pintar mulia. Tapi sehebat apapun seorang ilmuwan, [atau] orang pintar, belum tentu menjadi seorang arif. Semua orang arif itu pintar. Tapi tidak semua orang pintar itu arif.” Tak hanya berhenti dengan identifikasi ini. Menteri Agama kemudian menjelaskan lebih detail tentang orang pintar dan orang arif itu. Begini pernyataannya: “Orang yang pintar ialah menguasai keilmuan, [atau] disiplin ilmu, tertentu. Sudah ada ijazahnya. Sudah diwisuda seperti Ananda semua di sini. Akan tetapi, tidak semua orang pintar yang sudah diwisuda itu adalah arif.” Berdasarkan pemaknaan ini, pesan Menteri Agama jelas. Bahwa pintar itu bukan segalanya. Masih ada arif yang harus juga dimiliki.
Lalu, apa bahayanya saat orang pintar belum sampai kepada derajat orang arif? Menteri Agama yang pada masa-masa sebelumnya pernah menjadi Wakil Menteri Agama itu menguraikan gagasan cemerlangnya sebagaimana berikut: “Orang pintar tapi tidak menjadi orang arif seringkali menjadi problem dalam masyarakat kita.” Artinya, tidak otomatis pintar berarti solusi. Justru bisa berubah menjadi problem saat tidak arif. Kalimat hikmah Menteri Agama inilah yang memiliki relevansi dengan prinsip “jangan membunuh masa depan”.
Hanya, penjelasan Menteri Agama ini bikin tambah penasaran saja. Pintar tapi menjadi problem? Bener nih? Kok bisa? Tentu itu semua menjadi pertanyaan menarik. Bagaimana bisa orang pintar lalu menjadi problem? Bagaimana itu bisa terjadi? Menteri Agama yang sekaligus kyai itu pun menguraikan pemikirannya seperti ini: “Biasanya orang pintar itu, semua [dianggap] salah kecuali dirinya sendiri. Jadi, kalau ada orang kerjaannya hanya mencari kesalahan orang lain, ya.. itu sebetulnya menandakan diri mereka masih harus belajar.”
Menteri Agama itu pun memberikan analisis bandingan. Begini katanya: “Kalau ada orang sudah mulai menyalahkan dirinya sendiri, orang seperti ini sudah sedang belajar.” Frase “menyalahkan diri sendiri” ini maksudnya adalah menyadari kesalahan atas apa yang telah diperbuat. Kesadaran ini memang muncul belakangan. Tapi itu tetap bagus untuk terjadinya proses pembelajaran diri. Karena itu, Menteri Agama menilai orang yang telah menyadari telah berbuat kesalahan itu sama dengan “sudah sedang belajar”. Karena sejatinya, menyadari kesalahan adalah awal dari perubahan diri ke arah yang lebih baik.
Menteri Agama pun memberikan contoh konkret atas praktik menyadari kesalahan sendiri di atas. Ditirukanlah oleh Menteri Agama ungkapan yang dikeluarkan oleh orang yang menyadari telah berbuat kesalahan dalam hidup seperti contoh berikut: “Masya Allah ternyata saya yang keliru, saya tidak sadar kalau saya [telah] menggunakan kacamata Rayban.” Akibat penggunaan kacamata Rayban itu, dalam penjelasan lanjutan Menteri Agama itu, pelakunya melihat kemana-mana, yang terlihat semua serba hitam. Nah, dalam cerita Menteri Agama itu, saat “begitu dia buka kacamatanya,” dia pun lalu mengakui seperti ini: “ternyata aku yang salah.” Namun, begitu menyadari bahwa kesalahannya telah membutakan diri atas selainnya, dia pun akhirnya mengakui telah berbuat salah dalam hidup.
Lalu, mana yang ideal? Prof Nazaruddin Umar itu menguraikan pendapatnya. Begini bunyinya: “Tapi kalau ada orang [yang] kerjaannya tidak menyalahkan orang lain tapi juga tidak menyalahkan dirinya sendiri, tetapi diam-diam menyelesaikan persoalan tanpa menepuk dada, maka orang itu sudah menjadi arif.” Menteri Agama itu pun lalu menguraikan ciri-ciri orang arif. “Orang arif tidak pernah mencari kambing hitam atau kambing putih, tapi betul-betul diam-diam menyelesaikan setiap persoalan yang disuguhkan terhadapnya tanpa harus membanggakan dirinya sendiri.”
Hanya orang arif yang tak akan membunuh masa depannya. Apalagi, membunuh masa depan lembaga tempatnya bekerja. Kepintaran yang tak dilengkapi dengan kearifan hanya akan berujung pada keburukan. Bisa saja kepintaran itu menimbulkan kepuasan emosional personal saat diekspresikan. Tapi jika itu dilakukan tanpa kearifan, potensi untuk terjauh dari kebajikan sungguh sangat besar terhamparkan. Karena itu, menjadi orang arif adalah keharusan. Agar hidup semakin lebih baik dan bermanfaat untuk orang kebanyakan. Ruang publik pun semakin kondusif untuk eksperimentasi dan realisasi kebajikan. Maka, jangan bunuh masa depan. Hanya karena kearifan tak pernah menjadi kepribadian.