Berita

Surabaya, 8 Agustus 2024 – Ruang Study Center di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya berubah menjadi arena pertarungan ide pada Kamis (8/8) kemarin. Selama dua jam, mulai pukul 11.00 hingga 13.00 WIB, ruangan itu dipenuhi dengan diskusi intelektual yang menggugah, dalam Specialized Seminar bertajuk “Global South and Decolonial Sociology.”

Dalam sambutannya yang menggunakan Bahasa Inggris dan Arab, dekan FISIP UINSA, Prof. Dr. H. Ab. Chalik, M.Ag., menekankan pentingnya forum-forum semacam ini bagi perkembangan akademis. “Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk mendengar, tapi juga untuk berdialog dan mengkritisi,” ujar beliau. “Inilah esensi dari pendidikan tinggi: mempertanyakan apa yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran.”

Dr. Ali Kassem, pakar dekolonisasi dari National University of Singapore (NUS), menjadi bintang utama dalam seminar ini. Dengan gaya bicara yang memikat, ia membongkar mitos modernitas Barat yang selama ini dianggap sebagai ‘resep kesuksesan’ universal.

“Modernitas yang kita puja itu sebenarnya cerita kelam,” ujar Dr. Kassem, membuat audiens terhenyak. “Ini adalah kisah penjajahan, eksploitasi alam dan manusia oleh Eropa sejak abad ke-15.” Ia melanjutkan dengan nada sarkastis, “Eropa unggul bukan karena peradaban mereka hebat, tapi karena mereka jago dalam dua hal: membunuh dan kebal penyakit.”

Pernyataan ini sontak memicu reaksi beragam. Beberapa mahasiswa terlihat saling berbisik, sementara para dosen mengangguk-angguk, seolah menemukan missing piece dari teka-teki yang selama ini mereka cari.

Moderator Nur Luthfi Hidayatullah, S.IP., M.Hub.Int., yang awalnya berusaha menjaga netralitas, akhirnya tak kuasa menahan ketertarikannya pada pembahasan Dr. Kassem. “Bagaimana dengan dekolonisasi dalam konteks Hubungan Internasional (HI)?” tanya beliau, membuka dimensi baru dalam diskusi. “Selama ini, disiplin Hubungan Internasional sangat didominasi oleh pemikiran-pemikiran etnosentris. Teori-teori besar seperti realisme, liberalisme, bahkan konstruktivisme, semuanya berakar dari pemikiran Barat. Bagaimana kita bisa membangun perspektif HI yang lebih inklusif dan merepresentasikan suara Global South?”

Mohammad Wahyu Diansyah, dosen Hubungan Internasional dengan semangat mengaitkan pemaparan Dr. Kassem dengan pengalamannya meneliti masyarakat adat di Malaysia. “Apa yang Anda sampaikan itu nyata. Kita selama ini menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh para ‘ahli’ adalah cara terbaik. Padahal, pengalaman saya meneliti masyarakat adat di Malaysia menunjukkan bahwa mereka yang sering dianggap terbelakang dan tidak berpendidikan ini jauh lebih ahli dan pantas untuk mengelola lingkungan hidup mereka sendiri,” ujarnya.

Suasana semakin memanas ketika Dr. Wahidah Zein Br Siregar, dosen senior, mengajukan pertanyaan kritis. “Lantas, bagaimana cara terbaik mengajar sosiologi tanpa terjebak pada pemikiran-pemikiran Barat?” tanya beliau. Pertanyaan Dr. Wahidah membuat Dr. Kassem tersenyum lebar, senang dengan tantangan intelektual yang dihadapinya.

Ridha Amaliyah, dosen yang sedang menempuh doktoral di Tiongkok, menambah dimensi baru dalam diskusi. “Bagaimana dengan kontribusi epistemik Tiongkok? Bukankah ini bisa menjadi alternatif dari dominasi Barat?” tanyanya, memicu perdebatan seru tentang hegemoni pengetahuan.

Bahkan mahasiswa pun tak mau kalah. Oktami Nur Fadila, mahasiswa Sosiologi, dengan berani mengacungkan tangan. “Sebagai generasi muda, apa yang bisa kami lakukan untuk mendekolonisasi ilmu sosial?” tanyanya, membuat Dr. Kassem mengangguk penuh apresiasi.

Dr. Kassem menanggapi setiap pertanyaan dengan antusias, sesekali diselingi humor tajam yang membuat audiens terkekeh. Ia tidak hanya menjawab, tapi juga membalikkan pertanyaan, mendorong setiap orang untuk berpikir lebih dalam.

Di penghujung seminar, Dekan FISIP UINSA Prof. Dr. H. Abd. Chalik, M.Ag. tak bisa menyembunyikan kepuasannya. “Inilah esensi dari forum akademik. Kita tidak hanya menerima pengetahuan, tapi juga mengkritisinya,” ujar beliau di akhir acara.

Ketika seminar berakhir, suasana masih riuh dengan diskusi. Banyak yang enggan meninggalkan ruangan, masih haus akan perdebatan. Specialized Seminar ini bukan hanya sekadar forum akademis biasa, tapi menjadi katalis yang memicu gelombang pemikiran kritis di kalangan akademisi FISIP UINSA dengan menghadirkan intelektual asing.

Seminar ini membuktikan bahwa spirit intelektual di UINSA masih berkobar. Dalam era di mana banyak orang lebih suka menelan mentah-mentah informasi, FISIP UINSA justru mengajarkan pentingnya mempertanyakan status quo dan melihat dunia dari berbagai perspektif. (WD)