Moh. Bagus, M.H
Dosen dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi
Fakultas Syariah dan Hukum – UIN Sunan Ampel Surabaya
Naskah ini ditulis dalam rangka memeringati Hari Buruh pada 1 Mei 2025. Semoga setiap elemen buruh dimanapun berada mendapatkan hak yang ideal dan ketercukupan.
Beberapa hari yang lalu ramai di media sosial terkait pemberitaan #janganjadiDosen. Isu tersebut muncul lantaran banyaknya dosen yang keterima CPNS tahun 2024 mengundurkan diri. Berdasarkan data dari Kompas, setidaknya terdapat 714 peserta tes pada formasi tahun 2024 yang mengundurkan diri. Rinciannya adalah 653 peserta mengundurkan diri dan 61 peserta tidak mengisi daftar riwayat hidup.
Padahal di waktu yang bersamaan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi mengumumkan tentang rencana pemberian tunjangan kinerja bagi dosen. Rencana tersebut diumumkan setelah Presiden menandatangani Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Terlepas dari disahkanya ketentuan tersebut, isu Dosen sebagai kluster terendah pekerja intelektual sudah berhembus beberapa tahun terakhir. Tak sedikit para Dosen dari berbagai kampus menyuarakan hak yang tidak sebanding dengan tuntutan. Bahkan, jika banyak mahasiswa yang mengeluh karena Dosen sulit ditemui dan jarang di kampus, jangan salahkan Dosenya, wajar kalau Dosen harus mencari pendapatan lain diluar kampus. Kenapa? Karena untuk menghidupi keluarga saja tidak cukup.
Tuntutan Segunung Vs Gaji Secuil
Bukan rahasia umum kerjaan sebagai Dosen merupakan bentuk pengabdian dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak awal dan bertahun-tahun dipromosikan bahwa kerja sebagai Dosen bukan untuk mencari uang, tapi pengabdian. Tapi apakah sesuai dengan kenyataan di dunia nyata? Tentu tidak. Sebagai manusia biasa Dosen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Keluarga, istri dan anak juga bagian dari kewajiban yang harus dihidupi.
Disisi lain tugas Dosen tidak secuil. Mengutip Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Dosen diwajibkan untuk melakukan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Tidak berhenti sampai disitu. Di kampus Dosen dengan tanpa tugas tambahan masih dibebeni dengan ragam kerjaan administrasi kampus. Seperti menumpuknya kegiatan, akreditasi, magang mahasiswa, review kurikulum ataupun kegiatan-kegaiatan lainya. Bahkan tidak sedikit Dosen yang multi dimensi tugasnya di sektor unit lainya.
Selain rutinan aktifitas di kampus Dosen juga diharuskan melakukan penelitian. Setiap semester Dosen diwajibkan untuk publikasi karya ilmiah dalam bentuk jurnal. Tak heran kalau diluar sana terdapat satu dua Dosen yang tertangkap basah melakukan plagiasi. Tak sedikit juga Dosen yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat tugas perkuliahan dalam bentuk artikel, yang muaranya harus di submit ke jurnal, tentu dengan mengikutsertakan nama Dosen yang bersangkutan. Kenapa ? tentu jawabanya ialah sistem Pendidikan di Indonesia ya seperti ini. Hidup segan mati tak mau.
Selain pendidikan dan penelitian, terdapat satu kewajiban Dosen lainya yang cukup menyenangkan. Yaa… pengabdian kepada masyarakat. Kenapa menyenangkan? Tak sedikit Dosen yang menganggap aktifitas pengabdian kepada masyarakat layaknya sambil berenang minum air. Misalnya menjadi pengurus di pesantren, menjadi penceramah di masyarakat, dll. Kegiatan demikian dapat dilaporkan sebagai aktifitas pengabdian kepada masyarakat. Enak bukan? Kewajiban terpenuhi, kantong juga tidak kosong.
Sayangnya lagi-lagi yang ditumbalkan adalah mahasiswa. Dengan kewajiban dan kesibukan yang luar biasa akhirnya menuntut Dosen untuk beraktifitas diluar kampus. Mahasiswa sulit menemui Dosen, boro-boro menemui, terkadang mengirimkan pesan hari ini jawabanya bisa beberapa hari mendatang. Jangan disalahkan Dosenya, salahkan sistem pendidikanya. Dosen hanya memenuhi kewajiban. Baik kewajiban sebagai pegawai dan kewajiban sebagai manusia yang membutuhkan kehidupan.
Apakah setumpuk tugas di atas sebanding dengan hak Dosen? Tentu jawabannya adalah tidak. Diawal naskah ini, saya coba memberikan ilustrasi data. Kenapa banyak CPNS 2024 yang telah dinyatakan diterima mengundurkan diri? Jawabanya adalah 1, yaa… gaji tidak sesuai dengan ralita. Perlu diketahui, hari ini dunia Pendidikan kita terbagi menjadi 3 kluster istimewa. Pertama ialah perguruan tinggi dengan status satuan kerja. Perguruan tinggi yang seperti ini biasanya pendapatan Dosenya berdasakan gaji pokok dan tunjangan kinerja, tentu diluar sertifikasi dosen karena tidak semuanya langsung mendapatkan sertifikasi. Kedua, ialah perguruan tinggi berbasi Badan Layanan Umum, perguruan tinggi yang seperti ini biasanya diberikan gaji pokok, remunerasi dan sertifikasi dosen. Dan Ketiga, ialah perguruan tinggi dengan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, perguruan tinggi ini biasanya dihuni oleh kampus-kampus top di Indonesia yang pendapatan kampusnya sudah lebih dari cukup.
Namun sayang seribu sayang. Fakta sampai hari ini Dosen yang bekerja di kampus Satker (Kemendiktisaintek) belum pernah mendapatkan tunjangan kinerja. Sebagian Dosen di kampus Badan Layanan Umum pun demikian, belum pernah menerima yang namanya tunjangan kinerja. Mereka hanya menerima gaji pokok saja. Coba bayangkan, selama 1 bulan mereka hanya mendapatkan upah kurang lebih Rp. 3.000.000, bahkan untuk CPNS hanya 80%. Apakah cukup untuk menghidupi anak dan istri? Gaji tersebut bahkan lebih kecil dengan pekerja serabutan dengan gaji UMK dibeberapa kota di Indonesia. Kenapa Dosen tidak bersyukur? Bukan masalah bersyukur atau tidak. Seorang yang hendak menjadi Dosen harus melalui jalur yang panjang. Selain Pendidikan minimal Magister, saat seleksi pun diberikan mekanisme yang cukup panjang dibandingkan dengan formasi pegawai lainya. Tidak salah kalau tagar #janganjadiDosen menjadi tranding di X beberap hari terakhir. Karena Pendidikan di Indonesia belum mengakui kaum intelektual dengan sepenuh hati.
Bagaimana Respon Pemerintah ke Depan?
Yaa… sekali lagi perlu disampaikan. Naskah ini ditulis dengan penuh kesadaran melalui kacamata secara komprehensif kehidupan Dosen di Indonesia. Meskipun fakta di atas tidak bisa disamaratakan. Di Kementerian Agama, baik Dosen yang bekerja di perguruan tinggi dengan status satuan kenierja ataupun Badan Layanan Umum telah mendapatkan hak tunjangan kinerja atau remunerasi. Namun orientasi tulisan ini bukan membandingkan, tentu yang diperlukan adalah kesetaraan dan kesejahteraan bagi kaum intelektual.
Hari ini hal yang dibutuhkan Dosen adalah kebijakan yang berorientasi pada penghargaan untuk iklim intelektual yang sehat. Selain tuntutan yang segunung, pemerintah juga harus memberikan self rewards bagi para kaum intelektual. Tidak perlu muluk-muluk seperti negara maju lainya, pemerintah cukup menengok negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk memberikan kebijakan yang layak bagi kaum intelektual.
Mungkin dampaknya akan luar biasa. Yaa… mungkin. Mungkin para Bapak/Ibu Dosen akan lebih kerasan di kampus dan memberikan pembelajaran serta pembimbingan kepada mahasiswa dengan sepenuh hati. Tidak ada tanggungan kanan dan kiri sehingga pekerjaan sebagai Dosen yang seharusnya adalah melayani mahasiswa dengan mendidik keilmian justru ditempatkan sebagai pekerjaan sampingan. Semoga.