Selasa, 7 Januari 2025, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya mendapat tamu istimewa, rombongan dosen dan mahasiswa dari UKM dan IIUM, Malaysia. Forum antarbangsa ini tidak hanya menjadi ajang saling sapa ketiga institusi, tetapi sekaligus ruang silaturahim ilmiah. Bentangan hasil riset dosen dan mahasiswa yang hadir memberi kesegaran tersendiri di tengah jeda semester yang kosong dari perkuliahan. Di antara mahasiswa, salah satu yang memantik ingatan penulis tentang sebuah perbincangan lampau, presentasi tentang ‘obsesi’ Nizar Qabbani (w. 1998) terhadap ‘payudara’ (nahd) dalam karya-karyanya. Melalui lensa perspektif Feminis Radikal, mahasiswa FAH UINSA tersebut telah berusaha kritis menyoal obyektifikasi tubuh perempuan oleh penulis Khamsuun ‘Aaman fii Madiih al-Nisaa`. Ini membuka kembali diskursus tentang patriarki, dominasi maskulin dan ketidakadilan gender. Mencoba menjawabi apakah Qabbani tengah mengadvokasi hak-hak perempuan atau hanya sekedar mempermainkannya di labirin erotika.
Dulu, ketika diajak membaca ulang (muraja’ah) riwayat tentang niat, ditemani teori obyektifikasi Edmund Husserl (w. 1938) dan teori intensionalitas Franz Brentano (w. 1917), seorang kawan justru ngglambyar mempertanyakan (jika tidak dibaca sebagai memprotes) ‘eksploitasi’ perempuan yang (seolah telah) penulis lakukan. Dia menunjuk beberapa coretan mirip-puisi yang penulis unggah di sebuah blog yang dinilainya, meski tak sampai disebut cabul atau porno, tak lebih sebagai erotisme dari seorang lelaki yang menjadikan perempuan hanya sebagai obyek pemuasan libido seksual. Rangkaian kata-kata banyak disusun memuji perempuan ketika bicara tentang keindahan, keanggunan, kelembutan, kehangatan, atau tentang cinta dan kerinduan. Tetapi, untaian rima-rima itu ternyata tak menjelma menjadi pesan yang progresif, emansipatoris, atau transformatif bagi perempuan. Berhenti hanya pada ‘pemujaan’ perempuan untuk ‘kepuasan’ pribadi laki-laki. Dalam tipologi Rendra, inilah perilaku penyair salon itu, bukan penyair tulen, penyair yang kritis, penyair yang aktivis. Mendengarnya, penulis terpaku menyimak ia bicara, lalu mengangsurkan tangan untuk menjabatnya sambil berujar, “Terima kasih.” Dia hanya tersenyum, karena tahu, penulis sangat bersyukur memiliki kawan sepertinya. “Yang menulis itu peziarah. Bukan penari. Bukan penyair. Apalagi penyanyi,” kilahku. Dia tertawa seraya mengangguk, “Aku tahu.”
Dari kacamata ayat 97 surah al-Nahl, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah ajaran Tuhan. Ini senafas dengan ayat 13 surah al-Hujurat, bahwa kehidupan yang meritokratif yang Islam idealkan. Bukan kehidupan yang timpang, eksploitatif penuh ketidakadilan. Maka apapun rasionalitasnya, ketika interaksi antar manusia, tak terkecuali antara laki-laki dan perempuan, menimbulkan kezaliman atas lainnya, maka hal tersebut adalah kemungkaran. Berseberangan atau kontradiktif dengan ajaran agama. Penciptaan dan kehadiran manusia dalam ujud laki-laki dan perempuan seharusnya didekati dan dibaca dalam kerangka kebaikan (ma’ruuf) dengan mengafirmasi karakteristik masing-masing (ta’aaruf). Saling melengkapi dan menyempurnakan. Saling memahami dan mendukung untuk sama-sama bertumbuh (ihsaan). Bahwa ruang hidup secara komunal hanya akan menjadi baik jika terbangun relasi yang saling memuliakan (ikraam) antara laki-laki dan perempuan.
Bagaimana wujud saling memuliakan itu?
Yang melakukan kritik terhadap Qabbani, mungkin menilai diksi dan gaya bahasa komposisi karya-karyanya belum memenuhi ekspektasi pemuliaan yang diharapkan para feminis radikal. Andaikanlah penyebutan tubuh atau anggota tubuh perempuan itu tidak dilekati intensi yang buruk, mesum, atau merendahkan; tindakan tercela itu dipandang sudah terjadi. Bahkan sekiranya perilaku itu mengalami normalisasi. Semisal eksploitasi pasar terhadap tubuh perempuan yang massif dilakukan selama bisa dikonversi menjadi keuntungan finansial. Komodifikasi tubuh untuk tujuan monetisasi keindahan, kecantikan, sensualitas, ataupun erotika feminin melalui ragam kemasan iklan demi melariskan dagangan. Meskipun perlu juga disadari, bahwa komodifikasi mungkin pula bisa terjadi pada tubuh lelaki untuk tujuan serupa. Menjual aneka produk dengan persuasi insentif maskulinitas dan kejantanan bagi pembeli atau penggunanya. Artinya, obyektifikasi tak melulu atau monopoli perempuan, lelaki pun bisa mengalaminya.
Dengan nalar ini, praktik ‘transendensi spiritual’ yang memilih perempuan sebagai ephipany ‘ayat-ayat keindahan’ yang mampu menjembatani seseorang menemukan dan menyaksikan ‘kebesaran atau keagungan’ Tuhannya, pun menjadi problematik. Tak perlu lagi disimak dimensi niat dan keterbatasan personalnya. Siapapun lelaki yang sudah berani mengambil penyebutan tubuh atau anggota tubuh perempuan dalam aktivitas berbahasanya, haruslah manusia yang sudah suci dari nafsu libidinal. Karena perempuan adalah sakral. Jadi, alih-alih memakai diksi ‘nahd’, mengapa Qabbani tidak memakai ciptaan Tuhan lainnya yang tak terhingga sebagai opsi medium ekspresi estetiknya. Kalaupun harus anggota tubuh manusia, bukankah ia masih bisa memakai anggota tubuhnya sendiri dalam ‘obyektifikasi’. Atau mungkin dalam bingkai nalar kawan penulis, selama belum mampu menjadi penyair aktivis-kritis, hanya bisa menjadi penyair salonis yang sok romantis, alih-alih mempuisikan sepasang mata perempuan untuk memuji Tuhan, mengapa bukan sepasang kupu-kupu yang hinggap di kelopak Mawar sebagai pilihan. Karena perempuan adalah sakral. Ia tak boleh disentuh bahkan sekedar melalui sebait kata-kata oleh lelaki yang masih mempercayai bahwa eksistensi lingga yang diilustrasikan dalam bentuk phallus takkan seutuhnya berarti tanpa yoni yang digambarkan laiknya vulva. Karena perempuan adalah sakral.
….
Tuhan, maka maafkanlah huruf-Mu ini yang Engkau izinkan terbaca penuh keterbatasan
jika masih saja memandang ketelanjangan sebagai persembahan
di altar-Mu yang harusnya selalu disucikan
demi melabuhkan keangkuhan agar menginsyafi kerapuhan
sebagaimana helaan nafas yang leram dalam pejam
pun desah tertahan yang senyap dalam perjumpaan dua pengakuan
karena di titik itulah kusaksikan ayunan wajah kehambaan demikian terang
seperti syukur yang terpana rasa kekaguman
saat keindahan menyibakkan burdah keagungan
pada bebukitan yang mengundang
pada hamparan pualam yang berembun penuh kehangatan
pada lereng-lereng licin di mana jemariku merayapi tepian demi tepian
pada ceruk tersembunyi yang menggamit sapa untuk menjamah
pada kedalaman yang menenggelamkan semesta cipta
Tuhan, kini tanpanya, masih aku
tanpa keraguan, pada-Mu, berpasrah utuh
(Monolog Rindu, 2019)
________
Ditulis oleh Nyong Eka Teguh Iman Santosa,
Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya