NASIB MAKAM MANTAN PRESIDEN
Oleh : Syarif Thayib, Dosen UINSA.

Sebagian orang meyakini bahwa indikator husnul khatimah Almarhum dan Almarhumah adalah seberapa banyak orang yang ikut me-shalatkan dan mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Juga seberapa banyak orang yang menangisi kepergiannya.
Dari 4 mantan Presiden Republik Indonesia (RI) yang sudah wafat, pembaca pasti tahu, siapa di antara mereka yang paling ditangisi rakyat di hari wafatnya. Para senior kita kelahiran 1940 – 1960 tentu menyaksikan dari televisi, perbedaan suasana berkabung bangsa ketika Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, dan BJ Habibie wafat.
Tulisan ini sekedar untuk memberi nasihat kepada kita, bahwa berbuat baik dan menyayangi sesama itu penting, karena yang akan dikenang oleh masyarakat kelak ketika kita meninggal adalah seberapa kita punya waktu memperhatikan – menyayangi mereka tanpa syarat.
Bahkan, dampak dari kebaikan atau (na’udzubillah) kejahatan semasa hidup kita akan dirasakan hingga ke anak – cucu. Lihatlah, hanya karena seorang anak kecil menyandang nama Soekarno Putra atau Soekarno Putri, masyarakat Indonesia manaruh hormat dan segan.
Tentu bukan karena si anak itu hebat atau punya prestasi internasional, tetapi karena mereka adalah anak atau keturunan Soekarno, Presiden RI pertama.
Sebaliknya, nasib anak cucu dari orang tua yang terlibat G30S/PKI selama orde baru lalu benar-benar apes. Mereka yang tak bersalah, menanggung “dosa” orang tuanya.
Memang tidak semua orang percaya hukum karma, tetapi faktanya, nyaris semua kelalaian orang tua berdampak pada nasib dan masa depan anak-anak mereka. Seorang anak divonis mengidap TBC, hanya karena sering digendong Ayahnya yang perokok berat, dan seterusnya.
Seorang pemimpin di republik ini juga pasti menuai dampak dari kebaikannya selama memimpin. Termasuk “nasib” makam mereka menjadi indikator tingkat kecintaan rakyatnya kepada mereka.
Para penziarah makam Presiden RI tentu tidak bisa di mobilisasi atau disuap untuk lebih banyak mengunjungi makam Bung Karno di Blitar, pak Harto di Astana Giribangun, Gus Dur di Jombang, maupun Profesor Habibie di makam pahlawan Kalibata Jakarta.
Rakyat dengan sendirinya akan berbondong-bondong ziarah ke makam pemimpinnya untuk sekedar meluapkan “rindu” seraya berdo’a: Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘afihi, wa’fu ‘anhu. Allahumma la tahrimna ajrahu, wa la taftinna ba’dahu waghfir lana wa lahu.
Seperti di makam Gus Dur, penziarah disana tidak hanya dari kalangan Nahdliyin atau umat Islam Indonesia saja. Banyak umat Kristiani, Konghucu, Budha, Hindu, termasuk yang tidak beragama sama sekali (Atheis) dari mancanegara duduk berkerumun, mendoakan presiden RI keempat itu.
Jumlah penziarah makam Gus Dur sebagaimana dirilis oleh iNewsMojokerto.id (10 Maret 2024) rata-rata tiap harinya 5000 sampai 6000 orang. Namun jika hari libur, tercatat bisa lebih dari 11.000 penziarah.
Berbeda dengan makam Bung Karno, menurut situs resmi Pemkot Blitar https://blitarkota.go.id/, 18 April 2024, penziarah makam Bung Karno mencapai 2000 orang.
Sedangkan dua makam mantan Presiden lainnya, khusus di hari libur tercatat ada 1000 penziarah untuk pak Harto dan ratusan penziarah untuk BJ. Habibie.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya At-Tibrul Masbuk fi Nasihati al Muluk, (1988: 44) mengingatkan kita: “Ketahuilah bahwa manusia pada hakikatnya hanyalah cerita yang tetap ada setelah mereka tiada; setiap orang akan dikenang berdasarkan apa yang ia lakukan, dan ia akan dihubungkan dengan apa yang ia kerjakan. Jika baik, maka akan dikenang dengan kebaikan, dan jika buruk, maka akan dikenang dengan keburukan.”