Berita

Oleh: Dr. Abdus Salam Nawawi, MA, dan Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag

مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعٗا سُجَّدٗا يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗاۖ سِيمَاهُمۡ فِي وُجُوهِهِم مِّنۡ أَثَرِ ٱلسُّجُودِۚ

“Muhammad itu utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya tegar terhadap tekanan orang-orang kafir, dan berkasih sayang sesama mereka.Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS. Al Fath [48]:29)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, “Menjadi Sewangi Nabi.” Kali ini saya fokuskan apa maksud bekas sujud di dahi (min atsari sujud), dan bagaimana kiat menghapusnya. Menurut beberapa kitab tafsir, bekas sujud itu tidaklah fisik, melainkan non-fisk, yaitu akhlak mulia dampak dari sujud dalam shalat. Sayyid Qutb (1972) mengatakan, “Tanda keimanan bukan terletak pada bekas hitam di wajah, melainkan pada akhkal keseharian sebagai pengaruh dari ibadah (sujud) tersebut.”

Menurut Al-Maraghiy (t.th: 117), dan Wahbah al-Zuhailiy (1991: 207), “Arti bekas sujud adalah cahaya, keindahan, dan kedamaian yang terlihat pada wajah, akhlak mulia, ketundukan (khusyu’) dan kerendahan hati(khudhu’) seseorang yang terpancar pada wajahnya.”

Nabi SAW tidak suka melihat orang dengan dahi hitam bekas sujud di wajahnya itu.  Anas r.a menceritakan, Nabi SAW bersabda,

 إِنِّيْ لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ وَأَكْرَهُهُ إِذَا رَأَيْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ أَثَرَ السُّجُوْدِ

 “Sungguh aku benci dan tidak menyukai orang yang di wajahnya terlihat bekas sujudantara kedua matanya.” (al-Syarbini, t.th: 31), dan (al-Biqa’iy, 1415/1995: 216).

Ibnul Atsir menambahkan,

وَفِيْ نِهَايَةِ ابْنِ الْأَثِيْرِ فِيْ تَفْسِيْرِ الثَّفَنِ: وَمِنْهُ حَدِيْثُ أِبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: رَأَى رَجُلاً بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ ثَفَنَةِ الْبَعِيْرِ، فَقَالَ: لَوْ لَمْ يَكُنْ هذَا لَكَانَ خَيْراً – يَعْنِي كَانَ عَلَى جَبْهَتِهِ أَثَرُ السُّجُوْدِ، وَإِنَّماَ كَرِهَهَا خَوْفاً مِنَ الرِّيَاءِ بِهَا

“Di dalam kitabnya, al-Nihayah (al-Nihayah Fi Gharibil Hadits wa al-Atsar, pent), Ibnul Atsir menjelaskan arti ats-tsafan (kulit yang mengeras). Menurutnya, Abu Darda’ r.a. pernah berjumpa dengan orang yang di antara kedua matanya terdapat kulit yang menebal seperti kulit unta. Ia mengatakan, “Andaikan tidak ada bekas sujud pada dahi orang ini, tentu lebih baik.” Ia mengkhawatirkan timbulnya riya’ (pamer dan bangga) dengan kebaikannya (al-Biqa’iy, 1415/1995: 143). Menurutnya, “Bekas sujud adalah sebuah kharisma, kehormatan, dan akhlak yang mengagumkan yang menjadi magnit kebaikan bagi orang lain.”

وَعَنْ بَعْضِ الْمُتَقَدِّمِيْنَ: كُنَّا نُصَلِّيْ فَلَا يُرَى بَيْنَ أَعْيُنِنَا شَيْءٌ وَنَرَى أَحَدَنَا الْآنَ يُصَلِّيْ فَيُرَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ رُكْبَةُ الْبَعِيْرِ فَلَا نَدْرِيْ أَثَقُلَتِ الرُّؤُوْسُ أَمْ خَشُنَتِ الْأَرْضُ.

“Sebagian ulama mutaqaddimin (generasi awal/abad 1-3 H) mengatakan, “Kami telah melakukan shalat, tapi tidak ada bekas di antara kedua mata kami. Sekarang, kami melihat banyak orang dengan “lutut unta” (kulit mengeras) di antara kedua matanya. Mungkin, akibat kepala mereka yang menekan berat di lantai, atau lantainya yang keras.” (Al-Syarbini, t.th: 31).

            Bagaimana sujud Nabi SAW sehingga tanpa bekas hitam di dahi, walaupun sujudnya amat panjang. As Saa’idiy r.a berkata,

كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

Nabi SAW bersujud dengan meletakkan hidung dan dahinya ke tanah, menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi lambungnya, dan meletakkan dua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya (HR.  Al-Tirmizi, No. 270).

Menurut Imam Haramain, bahwa cara sujud Nabi dalam hadis di atas dilakukan secara biasa, yaitu menempelkan hidung dan dahi ke tanah. Sedangkan Imam Nawawi menambahkan, Nabi menempelkan dahi dan hidung ke tanah dengan tekanan. Pendapat pertama sangat rasional, sebab lebih natural dan proporsional.

Inilah pergerakan posisi badan yang harus diperhatikan ketika bersujud. Pertama, ketika kita berdiri, termasuk ketika bangkit dari rukuk, berat badan bertumpu pada dua telapak kaki. Lalu, ketika bersujud, secara natural terjadi proses pembagian peran anggota badan untuk menopangnya. Kedua, ketika dua lutut diletakkan di tanah, keduanya menopang berat badan, khususnya paha sampai kepala. Ketiga, ketika mulai bersujud, dua tangan mengambil alih tugas menopang berat badan bagian atas, sekaligus menjaga keseimbangan dengan membentangkan keduanya antara kedua bahu dan lambung (bagi pria), atau menempelkan kedua tangan di dada (bagi wanita).

Keempat, ketika KITA dalam posisi “siap merangkak” itu, berat badan ditopang secara proporsional oleh tujuh anggota badan: (1) bagian belakang: dua telapak kaki tegak dengan menekuk jari-jari kaki agar menghadap kiblat; (2) bagian tengah:  dua lutut sebagai sokoguru, (3) bagian depan: dua tangan menopang berat badan bagian atas, sekaligus menjaga keseimbangan; (4) langkah terakhir, kita turunkan dahi secara perlahan ke lantai, mendatar, sejajar dengan hidung. Dalam posisi ini, leher dan kepala tidak menjadi penopang utama. Bekas hitam di dahi atau hidung hanya timbul, jika cara sujud tidak proporsional, yaitu leher dan kepala dijadikan penopang utama. Sebaiknya, gunakan sajadah atau alas yang agak empuk, agar dahi tidak bersentuhan dengan lantai yang keras.

Mungkin Anda bertanya, “Bukankah bekas hitam di dahi itu menjadi saksi sujud kita pada hari kiamat? Mengapa dihapus?” Benar, tapi ternyata Nabi SAW tidak menyukainya. Dahi Nabi juga bersih, tanpa bekas sujud. Alasan lainnya, kita diharamkan pamer dan bangga (riya’) atas sekecil apa pun kebaikan, sebab, riya’ adalah bagian dari syirik besar (menyekutukan Allah), sebuah dosa yang tidak diampuni Allah. Bisakah kita menjamin kebersihan hati dari syirik kecil, sebagaimana dikhawatirkan oleh Adu Darda’ r.a itu?. Menjaga hati dari kotoran dosa, harus diutamakan daripada mencari pahala. Salah satu kaidah penetapan hukum Islam adalah, “Dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (Menghindari keburukan diutamakan daripada mendatangkan kebaikan)” (Dasuki Ibrahim, 2019: 84).

      Selamat berlama-lama sujud seperti Nabi, tapi usahakan tanpa bekas sujud hitam di dahi.  

Referensi: (1) Sayyid Quthb, Tafsir Fi  Dhilal Al Qur’an, Jilid 6, Dar Asy Syuruq, Beirut, Libanon, 1972; (2) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, vol 12, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 558-563; (3) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 26, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 174; (4) Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, 2015, cet. X, p. 181;  (5)  Al Tirmidzi,  Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Al Tirmidzi, Dar Al Fikr, Beirut, Lebanon, 2005, nomor hadis 270; (6) Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Syarbini, Tafsir al-Siraj al-Munir, Beirut :Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1441 H/1991M, juz, IV, h. 31; (7) Burhanuddin Abu al-Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’iy, Nuzhum al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415/1995, juz VII, h. 216; (8) Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.th, juz 26, h. 207;  (9) Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladuh, t.th, juz 26, h. 117; (10) Dasuki Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), Penerbit Noerfikri, Palembang, Cet 1, 2019, p. 84.