Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Wednesday, 5 October 2022
Abdul Chalik[1]
Setahun terakhir lembaga survey mainstream sudah melakukan berbagai survey kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden. Di antara lembaga survey tersebut yakni SMRC, Indikator Politik Indonesia, Kompas, Poltraking dan Lembaga Survey Indonesia. Bila merujuk pada Pemilu 2019, setidaknya terdapat 40 lembaga survey yang resmi terdaftar di KPU. Ada kemungkinan pada Pemilu 2022 melebihi dari jumlah tersebut karena ada tren kenaikan dari Pemilu sebelumnya.
Hasil survey menunjukkan hasil yang nyaris sama. Jika pemilihan Presiden dilaksanakan hari ini maka responden menjawab dengan pilihan tertinggi; Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Dalam berbagai survey, pilihan tertinggi ada kalanya Ganjar Pranowo lalu diikuti Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan dalam berbagai survey di pilihan ketiga.
Selain pilihan calon Presiden, responden juga disuguhkan dengan pertanyaan calon Wakil Presiden. Nama-nama yang muncul hampir nyaris sama seperti Puan Maharani, AHY, Airlangga Hartarto, Erick Thohir dan Muhaimin Iskandar. Responden juga diberikan pilihan jika duet calon Presiden dan Wakil Presiden. Nama-nama yang sudah populer sebagai bakal calon Presiden diduetkan dengan nama-nama yang juga sama populer di bakal calon Wakil Presiden. Hasil pilihan sangat beragam, di mana nama-nama yang sudah populer sulit tergeser dari pilihan responden.
Belajar dari nama-nama yang selalu muncul dalam survey, nampaknya aspek ketokohan dan popularitas menjadi salah satu pilihan responden. Mereka adalah public figure yang sudah dikenal publik sejak lama. Prabowo Subianto misalnya, merupakan Ketua Umum Partai Gerindra, dan kontestan Pilpres 2009, 2014 dan 2019 dan saat ini menjadi Menteri Pertahanan. Ganjar Pranowo merupakan Gubernur Jawa Tengah dua periode. Sebelumnya pernah menjadi anggota DPR RI dari fraksi PDIP. Sementara Anies Baswedan merupakan Gubernur DKI Jakarta pengganti Ahok.
Begitu pula nama-nama bakal calon Wakil Presiden yang muncul di permukaan merupakan nama-nama lama yang sudah eksis sebagai public figure. Mereka adalah pimpinan partai, menteri, dan juga gubernur. Seseorang yang sudah cukup lama menjadi public figure dapat menggerek popularitas sebagai nama yang diperhitungkan dalam jagad politik nasional.
Dengan munculnya nama-nama public figure sebagai pilihan responden, lembaga survey mengalami antiklimaks untuk menawarkan nama lain sebagai ‘pilihan lain’ responden. Nampaknya lembaga survey tidak dapat berbuat banyak untuk menawarkan pilihan pertanyaan agar responden bisa memberikan pilihan nama. Responden tidak banyak mengenal tokoh-tokoh nasional selain nama-nama yang sudah populer. Responden tidak berani pasang tarif untuk menawarkan sesuatu yang lain karena belum tentu diketahui rekam jejaknya.
Karena lembaga survey memiliki tawaran terbatas, alternatif yang dapat ditawarkan hanya pada partai politik. Partai dapat melalui proses polling bakal calon Presiden maupun Wakil Presiden maupun konvensi. Keberanian partai politik untuk membuka pintu pendaftaran merupakan alternatif atas kebuntuan pilihan nama.
Bukan tidak mungkin partai politik untuk melakukan polling dan konvensi. Pengalaman tahun 2004 partai Golkar pernah melakukan konvensi secara terbuka. Di antara nama yang muncul sebagai bakal calon Presiden adalah Wiranto, Prabowo Subianto dan Surya Paloh. Mereka mereka berasal dari internal partai. Sementara bakal calon dari dari luar partai tidak masuk tiga besar.
Pilpres 2014 Partai Demokrat juga melalui pernah melakukan konvensi untuk menampilkan nama-nama baru di luar figur mainstream partai yang muncul di permukaan. Ada nama Dahlan Iskan, Mahfud MD, Anies Baswedan bahkan Dino Patti Jalal yang ikut meramaikan kontestasi para bakal calon. Konvensi dilakukan secara nasional yang memungkinkan publik dan kader partai memberikan usulan dan pilihan atas nama yang dianggap sesuai dengan kondisi bangsa.
Pilpres 2014 adalah periode terakhir konvensi bakal calon Presiden yang dilalukan oleh partai besar. Harapan terhadap adanya konvensi pada Pemilu 2024 masih terbuka. Namun tantangan yang dihadapi salah satunya adalah karena para ketua umum partai sejak awal sudah memproklamirkan diri sebagai baka calon Presiden atau Wakil Presiden. Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar, AHY, Airlangga Hartarto merupakan ketua umum yang sejak awal mempersiapkan atau dipersiapkan oleh partainya untuk menduduki posisi tersebut. Dengan demikian, tidak mungkin partai memberikan ruang kepada kader partai lain untuk mengambil posisi tersebut. Begitu pula bagi kader partai yang berada di posisi bawah.
Adapun PDIP sebagai partai penguasa saat ini tidak mungkin memberikan ruang kepada calon di luar kader karena di internal dianggap mumpuni. Nama-nama populer seperti Ganjar Pranowo dan Puan Maharani adalah sosok yang dapat mengunci terhadap kemungkinan calon lain baik dari kalangan kader maupun non-kader. Sementara Nasdem yang di awal tahun 2022 pernah melontarkan gagasan untuk melakukan konvensi, tidak memiliki kader yang cukup kuat untuk dijual, sehingga akhirnya juga memilih Anies Baswedan sebagai bakal calon Presiden yang akan diusung tahun 2024.
Melihat realitas tersebut lembaga suvey tidak banyak pilihan. Tidak ada nama baru yang dapat diendorse untuk menjadi alternatif responden. Pilihannya hanya tetap pada nama-nama yang sudah memiliki ketokohan dan sangat populer di depan publik. Tidak ada yang lain. Lembaga survey juga tidak memiliki referensi yang memadai untuk menawarkan pilihan berdasarkan hasil riset lembaga independen seperti perguruan tinggi, atau forum lain yang memiliki kredibilitas seperti forum Rektor, forum dosen/peneliti atau bahkan di tingkat forum lembaga kemahasiswaan seperti asosiasi BEM dan SEMA. Lembaga tersebut sama keringnya dengan partai politik yang tidak memberikan ruang alternatif kepada publik. Lembaga independen seharusnya berani keluar dari statuq quo dan memberikan alternatif pilihan bagi publik. Perguruan tinggi tidak cukup hanya memberikan seruan moral dan menyuarakan keprihatinan tetapi mendorong agar demokrasi tetap sehat melalui kerja-kerja praktis melalui polling dan survey.
[1] Dosen Ilmu Politik dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya