Berita

@Studi Agama Agama

Monday, 6 June 2022

Aliran Kepercayaan Sapta Darma: Ajaran dan Perkembangannya

Patung Semar putih langsung menyambut sesaat setelah memasuki gerbang Sanggar Candi Busana yang terletak di ujung gang Jemursari Timur VI, Wonocolo. “Semar, melambangkan Yang Maha Suci,” jelas Naen Soeryono. Pria yang mengenakan sorjan lengkap dengan blangkon di kepalanya itu adalah Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat. Ia juga sekaligus Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Duduk bersila di pendopo limasan, ia menyambut kunjungan rombongan mahasiswa Studi Agama-Agama (SAA), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya siang itu, Jumat (3/6).

Kunjungan tersebut menjadi salah satu bentuk penguatan kompetensi mahasiswa SAA khususnya untuk mata kuliah Agama Lokal, Sejarah Agama, dan Ilmu Perbandingan Agama. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Feryani Umi Rosidah, M.Fil.I dan Khalimatu Nisa, M.A. selaku pengampu mata kuliah. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 42 mahasiswa angkatan 2020 dan 2021.

Dalam kunjungan tersebut Soeryono menjelaskan, Yang Maha Suci dimaknai sebagai percikan Tuhan di tiap pribadi manusia. Ada sebelas nafsu dalam diri manusia yang perlu ditundukkan oleh Yang Maha Suci. Di antaranya jatingarang atau suka memfitnah, nogotaun atau tidak pernah bersyukur, dan bromo yang berarti suka memfitnah. Aliran kepercayaan Sapta Darma meyakini, apabila percikan Tuhan dalam bentuk naluri suci dalam diri manusia dapat meredam pelbagai nafsu tersebut, maka kesempurnaan hidup akan tercapai. Untuk senantiasa mengingat Yang Maha Suci ini, warga kepercayaan Sapta Darma mengejawantahkannya dengan ritual sujud setiap hari seraya berucap, “Yang Maha Suci, sujud Yang Maha Kuasa.”

Ajaran Sapta Darma diterima oleh Hardjosapoero, seorang juru pangkas rambut dari Pare, Kediri. Dini hari, Jumat Wage, 27 Desember 1952, ia didorong untuk bersujud ke arah timur oleh kekuatan yang tak bisa dilawannya. Pada sujud pertama terdengar kalimat “Yang Maha Suci, sujud Yang Maha Kuasa,” lalu “Yang Maha Suci nyuwun sepuro Yang Maha Kuasa,” di sujud kedua, dan “Yang Maha Suci mertobat Yang Maha Kuasa,” pada sujud ketiga. Dua tahun berikutnya, Hardjosapoero menerima Simbol Pribadi Manusia berbentuk belah ketupat sekaligus Wewarah Pitu yang kemudian menjadi tujuh ajaran dasar Sapta Darma. Sebagai pendiri Sapta Darma, Hardjosapoero mendapat gelar Bapa Panuntun Agung Sri Gutama.

                                                                         Simbol Pribadi Manusia Sapta Darma

Wewarah Pitu berorientasi pada perwujudan pribadi manusia yang asli untuk mencapai kesempurnaan hidup. Tujuh prinsip ini meliputi:
1. Setia dan tawakal kepada Pancasila Allah, yaitu bahwa Tuhan mempunyai lima sifat luhur yang mutlak.
2. Bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.
3. Turut serta membela nusa dan bangsa.
4. Menolong siapa saja tanpa pamrih.
5. Berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri.
6. Bersikap susila dan berbudi pekerti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
7. Meyakini bahwa dunia tidak abadi dan selalu berubah.

Dalam kepercayaan Sapta Darma, tidak dikenal adanya malaikat, rasul, maupun kitab suci. Bagi mereka, guru sejati adalah rohani. Oleh karenanya, pembersihan rohani melalui sujud menjadi inti ritual aliran kepercayaan ini. Di sisi lain, Sapta Darma meyakini ada kehidupan setelah mati yang terdiri dari Alam Alus dan Alam Langgeng. Alam Alus adalah ganjaran untuk perbuatan-perbuatan tidak baik semasa hidup yang terdiri dari tujuh tingkatan. Sementara itu, Alam Langgeng diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan baik di mana dharma yang dinilai paling terpuji adalah mendoakan orang lain.

Dari Kediri Hingga Luar Negeri

Sapta Darma tidak mengenal syiar atau dakwah untuk memperluas ajarannya. Namun mereka membuka diri kepada siapapun yang ingin belajar sujud atau menghayati ajaran Sapta Darma. Pada praktiknya, penghayatan kepercayaan Sapta Darma ini tidak kemudian eksklusif, melainkan saling berinteraksi dengan agama-agama lainnya. Banyak penghayat Sapta Darma yang juga merupakan penganut Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam.

Dalam perjalanannya, Sapta Darma memiliki ribuan penghayat yang tersebar tidak saja di dalam negeri tetapi juga di mancanegara seperti Suriname, Belanda, Jepang, Malaysia, dan Singapura. Meski sempat diwarnai dengan sejumlah problem perizinan, kini telah berdiri ratusan sanggar di Indonesia, di antaranya, 27 sanggar berada di Surabaya. Sanggar ini berfungsi sebagai tempat peribadatan dan perkumpulan warga Sapta Darma.

Salah satu perkembangan yang disyukuri oleh warga Sapta Darma adalah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan. Melalui peraturan ini, diatur tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada perserta didik penghayat kepercayaan. Sebelumnya, anak-anak penghayat mau tidak mau mengikuti pelajaran agama yang tersedia di sekolah lantaran tidak adanya layanan pendidikan penghayat yang menjadi hak mereka. (Khalimatu Nisa)