Berita

Blitar, 30 Juni 2024 — Di balik julukan Tanah Para Raja, Blitar menyimpan kisah monumental tentang salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia: Ir. Soekarno. Kota ini bukan hanya tempat peristirahatan terakhir sang proklamator, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi generasi muda yang ingin menyelami warisan pemikiran dan spiritualitas Bung Karno.

Saya, Novan Dwi Fathur Rohman, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya, bersama rekan-rekan, berkesempatan melakukan perjalanan intelektual dan emosional ke kompleks Makam Bung Karno. Kunjungan ini bukan semata ziarah, tapi juga upaya untuk memaknai jejak perjuangan dan gagasan sang Bapak Bangsa.

Langkah pertama membawa kami ke pusara Bung Karno yang berada di ujung kompleks, tepat di jalur utama yang seolah mengarahkan pengunjung untuk menyimak narasi besar seorang tokoh bangsa. Suasana hening dan khidmat menyelimuti area makam yang dibangun dengan konsep arsitektur penuh simbol. Kami terkagum melihat bagaimana bangunan itu dirancang—megah namun tetap sederhana, sakral namun tetap terbuka bagi publik.

Kompleks makam Bung Karno telah menjadi salah satu situs sejarah dan budaya yang penting. Sejak dibuka untuk umum pada 1979, MBK (Makam Bung Karno) menjadi magnet ziarah nasional. Tak sedikit yang berkata, “Belum sah menjadi orang Indonesia kalau belum berziarah ke Blitar.”

Namun pengalaman tak berhenti di sana. Menuju sisi perpustakaan, kami melewati deretan mural batu yang memvisualisasikan perjalanan hidup Kusno muda—nama kecil Soekarno—hingga menjadi tokoh sentral dalam kemerdekaan Indonesia. Mural ini tidak hanya menjadi dekorasi, tetapi narasi visual yang menggugah.

Di antara perpustakaan dan museum berdiri patung Bung Karno yang sedang duduk membaca. Pose itu seakan menyapa setiap pengunjung dan mengajak untuk ikut membaca serta merenungi: “Hai anak muda, bacalah buku ini. Pelajarilah perjuangan dan cita-cita yang kuwariskan untukmu.”

Dorongan itu pun membawa saya memasuki museum. Di dalamnya tersaji biografi, koleksi benda-benda peninggalan Bung Karno seperti koper, baju, uang seri lama, hingga lukisan dan foto-foto perjalanan hidup beliau—dari masa kecil hingga menjabat Presiden Republik Indonesia.

Fadhilah Maulana Bondan Arzaky, mahasiswa Manajemen dari UPN Veteran Jawa Timur, turut menyampaikan kesan mendalam. “Makamnya sangat tertata, memberikan penghormatan tinggi kepada seorang pahlawan. Museumnya simpel namun informatif. Meski sisi kontroversial Bung Karno tidak ditampilkan, mungkin itu pilihan naratif yang bisa diperdebatkan,” ujarnya.

Perpustakaan Bung Karno pun tak kalah berkesan. Diresmikan oleh Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri, pada 3 Juli 2004, perpustakaan ini menjadi pusat dokumentasi pemikiran Bung Karno yang berskala internasional. Sekitar 6.000 eksemplar buku dan lebih dari 2.500 judul tentang Bung Karno menghuni rak-raknya. Tak hanya buku, perpustakaan ini juga menyimpan memorabilia, lukisan, serta dokumentasi audiovisual sang tokoh bangsa.

Perpustakaan ini bukan sekadar ruang arsip, tapi medan literasi yang hidup. Di sinilah cita-cita Bung Karno untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dihidupkan kembali. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan—antara gagasan dan aksi nyata generasi penerus.

Kunjungan ke Blitar ini meninggalkan kesan mendalam. Makam, museum, dan perpustakaan Bung Karno bukan hanya tempat bersejarah, melainkan ruang pembelajaran—tentang perjuangan, keteladanan, dan cita-cita besar membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan berkepribadian dalam kebudayaan.