Dalam upaya memperluas cakrawala pemikiran calon guru profesional, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menyelenggarakan kegiatan Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya pada Sabtu, 25 Juni 2022. Kegiatan ini menyasar mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG), dosen pembimbing lapangan, dan guru pamong sebagai bagian dari proses pembentukan kompetensi sosial-kultural dan moderasi beragama dalam profesi pendidik.
Kegiatan yang digelar secara hybrid ini merupakan bagian dari program penguatan kompetensi global guru yang dicanangkan oleh FTK, sejalan dengan arah kebijakan nasional tentang pentingnya moderasi beragama dan pendidikan karakter di era digital dan globalisasi. Dengan mengangkat tema “Menumbuhkan Perspektif Global Guru Indonesia melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya”, kegiatan ini menghadirkan narasumber inspiratif dari kalangan dosen FTK yang memiliki pengalaman studi dan riset di luar negeri.
Dalam sambutan pembukaan kegiatan, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prof. Dr. Muhammad Thohir, M.Pd, menekankan pentingnya pembekalan literasi keagamaan lintas budaya bagi mahasiswa PPG sebagai calon guru profesional yang tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi juga menjadi agen perdamaian di masyarakat.
“Di dunia yang semakin saling terhubung, guru tidak cukup hanya menguasai materi. Guru harus memiliki sensitivitas global—kemampuan memahami keberagaman dan menyikapinya dengan bijak. Inilah yang akan membentuk guru yang moderat, bijaksana, dan tahan terhadap polarisasi,” ujar Prof. Thohir. Ia menambahkan bahwa kegiatan ini sejalan dengan arah visi UINSA sebagai kampus yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan senantiasa berkontribusi terhadap pendidikan Islam yang terbuka dan berkeadaban.
Sesi utama kegiatan ini diisi oleh Auliya Ridwan, M.Pd.I, dosen FTK yang menyelesaikan studi magister dan doktornya di Inggris. Dalam paparannya yang bertajuk “Islam dan Interfaith Dialogue: Refleksi dari Konteks Barat”, ia menceritakan pengalamannya selama berada di Inggris, mulai dari interaksi akademik lintas agama hingga aktivitas sosial bersama komunitas Muslim dan non-Muslim.
Menurutnya, belajar agama di negara mayoritas non-Muslim membuka perspektif baru dalam memahami pluralitas. Ia menggarisbawahi bahwa literasi keagamaan lintas budaya bukan sekadar kemampuan mengenali agama lain, tetapi juga membangun keterampilan komunikasi, empati, dan pemahaman kontekstual. “Saya belajar bahwa menjadi Muslim yang baik tidak bertentangan dengan keterbukaan terhadap agama lain. Justru dari keterbukaan itu, saya semakin memahami kedalaman ajaran Islam yang menekankan kedamaian, keadilan, dan kasih sayang,” tutur Auliya.
Ia juga menekankan pentingnya membekali siswa dengan ruang aman untuk bertanya dan berdialog, bukan hanya sekadar menerima ajaran secara dogmatis. Hal ini akan membentuk siswa yang berpikir kritis, terbuka, dan tidak mudah terprovokasi oleh paham-paham ekstrem. Dalam kelompok kecil, peserta berdiskusi dan menyusun solusi berbasis konteks lokal. Sebagian peserta bahkan menyarankan agar kegiatan semacam ini dilanjutkan dengan pelatihan intensif dan observasi lapangan ke sekolah-sekolah multikultural.
Rohman Hidayat, mahasiswa PPG asal Lamongan yang ikut dalam diskusi kelompok, mengungkapkan bahwa kegiatan ini sangat membuka pikirannya. “Awalnya saya berpikir tugas guru hanya mengajar. Tapi setelah kegiatan ini, saya menyadari guru punya peran besar dalam menciptakan atmosfer damai di sekolah. Apalagi kalau mengajar di daerah yang majemuk, kita harus siap mental dan wawasan,” katanya.
Salah satu capaian penting dari kegiatan ini adalah terbentuknya Forum Kolaborasi Literasi Keagamaan, sebuah forum kecil yang terdiri dari mahasiswa PPG dan dosen untuk merancang bahan ajar tematik yang berfokus pada nilai-nilai inklusif dalam pendidikan agama Islam. Modul ini rencananya akan diuji coba pada semester berikutnya melalui micro teaching dan praktik mengajar di sekolah mitra.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan FTK, Prof. Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag, yang turut mengawasi forum tersebut, menyampaikan bahwa kolaborasi mahasiswa dan dosen dalam menyusun bahan ajar ini merupakan bentuk praktik nyata moderasi dalam pendidikan Islam. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tapi juga produsen gagasan. Dengan pengalaman lapangan dan pembelajaran lintas budaya, mereka akan punya bekal lebih kaya dalam mengelola kelas yang damai dan inklusif,” jelasnya.
Dekan FTK, Prof. Muhammad Thohir, dalam penutupan acara menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan sekadar seminar, tetapi awal dari gerakan pendidikan damai yang harus terus diperluas. “Kita tidak sedang berbicara teori, tapi realitas. Dunia kita semakin kompleks. Guru yang tidak memahami realitas global akan tertinggal dan kehilangan relevansi. Kita ingin lulusan kita menjadi guru yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijak dan mendamaikan,” pungkasnya.
Melalui kegiatan Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya ini, UIN Sunan Ampel Surabaya menunjukkan komitmennya dalam membentuk guru profesional dengan jiwa global. Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tetapi juga soal membentuk manusia yang menghargai kehidupan bersama di tengah keragaman. Dengan membangun ruang-ruang dialog, memfasilitasi refleksi, dan memproduksi pengetahuan bersama, FTK UINSA telah memberikan kontribusi nyata dalam gerakan moderasi beragama dan pendidikan karakter.