Berita

Saat ini sekitar seperempat jenis hiu dan pari berstatus terancam punah menurut IUCN/ International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (Uni Internasional untuk Konservasi Alam). Hal ini menjadi salah satu hal yang membuat Nur Maulidah, mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya, tertarik untuk mengikuti internship enumerator hiu dan pari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar dan Yayasan WWF Indonesia, sebuah program penelitian hiu-pari untuk mendukung pengelolaan spesies laut di Indonesia. Program ini merupakan program magang kedua bagi Lida, panggilan akrab Nur Maulidah, karena sebelumnya telah melakukan magang di UPT TPI Sendang Biru, Malang. Ya, kebanyakan mahasiswa melakukan magang hanya karena tuntutan perguruan tinggi, sedikit sekali yang melakukannya atas inisiatif pribadi dan Lida termasuk salah satunya.

Lida membuat usulan penelitian sebagai syarat pendaftaran enumerator mengenai status konservasi dan spesies terkait ekologi. “Pada magang sebelumnya, meskipun fokus pada perikanan tuna tapi saya juga membahas hasil tangkapan samping hiu yang didapat oleh nelayan Sendang Biru. Kondisi di lapangan tersebut membuat saya ingin mencari tahu keterkaitan antar kedua perikanan artisanal ini”, ujar Lida. “Ditambah lagi saat ini di Indonesia sendiri masih sedikit yang membahas mengenai pendataan spesies terkait ekologi atau lebih dikenal sebagai Ecologically Related Species (ERS)”, tambahnya. Beberapa minggu setelah mengirimkan usulan penelitian tersebut, Lida melakukan interview dengan Ranny, specialist Shark and Rays di WWF Indonesia. Lida berhasil lolos seleksi bersama mahasiswa lainnya dari Universitas Sriwijaya, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Padjajaran, dan Universitas Briwijaya. 

“Saya mulai melakukan pendataan pada tanggal 3 Maret 2021 di Muncar, Banyuwangi, sementara teman-teman enumerator lain di lokasi dan periode waktu pendataan yang berbeda”, jelas Lida. Pendataan dilakukan setiap hari mulai dari jam 6 pagi hingga waktu yang tidak menentu setiap harinya. Bahkan beberapa kali pendataan juga dilakukan di malam hari. “Biasanya saya melakukan identifikasi jenis hiu dan pari bersama teman-teman dari MPI (Mobula Project Indonesia). Karena biasanya hiu dan mobula sering mendarat bersama jadi kami berkerjasama di lapang untuk melakukan pendataan agar lebih efisien, tapi dengan logbook pendataan yang berbeda” ujar Lida menjelaskan.

Banyak sekali pengalaman berkesan yang diperoleh Lida selama menjadi enumerator hiu dan pari. Mulai dari banyak belajar dari para nelayan yang sangat berteman dengan kehidupan laut, ikut melaut selama 3 hari hingga menuju ke selat Makassar untuk tagging mobula, melakukan operasi bersama staf UPT Muncar terkait adanya laporan nelayan yang menggunakan trawl dan bersembunyi di Selat Bali, hingga melakukan pendataan skala besar (atau biasa disebut landing) yang mengharuskan bekerja secara cepat tapi tetap harus teliti. Lida juga pernah mendapatkan jenis hiu yang cukup “aneh” ketika melakukan pendataan, hingga diminta untuk mengambil sampel dagingnya untuk diuji di lab LIPI. Menurut penuturan pak Fahmi dari LIPI hiu tersebut merupakan hiu purba laut dalam, namun karena identifikasi hiu laut dalam sangat sulit jadi perlu dilakukan uji lebih lanjut melalui DNA barcoding di lab. “Hal berkesan lainnya adalah kami juga harus berdampingan dengan bau hiu yang ternyata lebih amis dibanding ikan-ikan biasanya”, ujar Lida sambil tertawa kecil. “Sejauh ini bau hiu yang paling menyengat menurut saya adalah hiu jenis Galeocerdo cuvier atau hiu macan”, tambahnya.

Menjelang akhir pendataan, tepatnya di awal bulan Juni 2021, Lida mengikuti diseminasi mengenai hiu Alopidae dari Thresher Shark Indonesia dan pelatihan enumerator dari LIPI yang dilakukan di kantor BPSPL Denpasar Bali. Banyak kajian yang disampaikan pada kegiatan tersebut, mulai dari rehabilitation cites di Alor, tagging shark untuk mendeteksi pergerakan hiu di laut, serta rekomendasi kebijakan pengelolaan konservasi hiu di Indonesia. “Di akhir kegiatan ada makan malam bersama dengan kak Rafid dan pak Fahmi yang merupakan peneliti hiu di Indonesia. Pada kesempatan itu saya bisa bertukar cerita dan belajar banyak dari beliau-beliau. Sungguh pengalaman yang sangat mahal menurut saya”, ungkap Lida di akhir wawancara.