Column UINSA

HARGA MURAH VS MUTU UNGGULAN

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Bejibun orang. Mulai anak-anak hingga usia matang. Ada yang datang. Dan ada yang pergi. Semua memadati. Silih berganti. Tak pernah sepi. Orang wira-wiri. Hingga yang lewat pun harus berhenti. Terstimulasi untuk mengamati. Apa yang sedang terjadi. Di toko kelontong yang ramai sekali. Baru buka sudah memikat hati. Orang mencoba untuk membeli. Mereka memilah dan memilih. Makanan dan minuman yang mereka sukai. Untuk konsumsi sehari-hari. Demi memanjakan diri.

Boom! Toko kelontong itu pun menjadi buah bibir saking ramainya. Orang-orang pun sibuk membicarakannya. “Murah lho! Bener murah!” Begitu sejumlah mereka membuka pembicaraannya kepada yang lainnya. Yang lainnya pun menyahuti: “Ya bener!” Sahutan itu tanda setuju. Seakan terhipnotis, warga yang lainnya juga mengiyakan harga murah itu. “Aku sudah nyobain,” ucap mereka untuk meyakinkan satu sama lain. Ya, tentang harga murah yang ditawarkan toko kelontong itu. Atas barang dagangan yang mereka jual di situ.

Harga murah pun menjadi perbincangan banyak orang di lingkungan sekitar. Itu yang membuat mereka memadati toko kelontong itu. Mereka terpesona dibuatnya. Soal barang dagangan, pasti sama dengan yang dijual di toko lain. Tak ada beda. Karena semua toko yang ada hanya menjual saja. Bukan memproduksi sendiri. Tapi, sama barang dagangan bukan berarti sama perlakuan. Mereka justeru terpesona dengan toko kelontong itu karena soal harga. Ya, harganya murah. Itu dibandingkan dengan toko-toko penjual barang yang sama di kanan kirinya.

Kakak kandung saya lalu suatu hari datang ke rumah. Saya pun bercerita kepadanya. “Mas, itu lho ada warung kelontong anyar. Jual murah. Semua barang dagangan yang dijual dihargai murah.” Begitu uraian saya mengawali pembicaraan dengan kakak saya yang bekerja sebagai sales supervisor sebuah perusahaan nasional nan besar yang bergerak di bidang penjualan produk harian. Mulai makanan dan minuman hingga barang rumahan dengan berbagai variannya. “Apa aja yang dijual di situ?” tanya kakak saya. “Banyak sekali macemnya, Mas,” timpal saya. “Ada ciki, susu, mie instan, minuman ringan, bahkan juga kecap dan minyak goreng.” Begitu jelas saya lebih jauh untuk memerinci jenis produk yang dijual di toko kelontong itu.  

Kakak saya pun lalu bertanya, “Untuk tokonya, dia menyewa ya?” Saya pun mengiyakan. Tentu saja saya bisa memastikan iya. Karena saya tahu toko itu milik tetangga sebelah. Dia bangun sejumlah toko kecil. Hingga lima biji. Di lahan kosong miliknya. Kebetulan, lahan dan rumahnya berada persis pinggir jalan. Nilai bisnisnya tentu sangat tinggi. Setiap jengkal tanah punya nilai bisnis. Apalagi lalu tanah kosong itu dibangun menjadi serangkaian toko kecil. Lalu disewakan kepada siapa saja yang berkehendak untuk berbisnis. Bisa untuk jualan makanan. Bisa juga minuman. Bisa pula untuk layanan barbershop. Dan bisa juga untuk lainnya. Apa saja. Seperti buah-buahan. Termasuk juga untuk jualan produk dagangan seperti toko kelontong di atas.

Padahal, hanya berjarak 20 meter, berdiri minimarket berjejaring nasional. Ada Alfamart. Ada juga Indomaret. Yang pasti keduanya menjual barang yang sama. Dan bahkan lebih lengkap. Apa saja ada. Orang juga bisa milih-milih. Sesuka hati. Sesuai keinginan. Mereka pun bisa membanding-bandingkan. Satu jenis makanan banyak ragamnya. Satu jenis minuman juga banyak variannya. Pengunjung pun dimanjakan. Apalagi, ruangannya juga dingin. Karena ber-AC. Sehingga pengunjung masuk pun pasti merasakan kenyamanan. Setiap membuka pintu masuk selalu disambut dengan pelayan yang ramah. “Selamat datang. Selamat berbelanja.” Begitulah sapaan pelayaan minimarket-minimarket itu.

Atas cerita saya pada toko kelontong yang serba jual murah di atas, kakak saya kontan berkomentar: “Ah, nggak mungkin bertahan lama! Perkiraan saya, tiga bulan toko kelontong itu akan tutup.” Aku pun terperanjat. Logika dasar saya sederhana. Laris kok malah cepat tutup usia. “Lho kok bisa, Mas?” tanya saya. “Bukannya kalau laris, itu artinya dagangannya laku keras?” imbuh saya selanjutnya. Saya pun lalu membombardir kakak saya ini dengan sejumlah pertanyaan investigatif lainnya: “Bukannya jika ramai pembeli, maka pasti akan banyak keuntungan? Bukannya kalau banyak pengunjung, itu artinya sirkulasi barang akan cepat, dan itu artinya keuntungan akan mengalir deras?”

Semua pertanyaan dan logika saya di atas ditolak kakak saya. Dia justeru menjelaskan dengan logika lain yang membuatku terperangah. “Gini lho! Tidak mungkin harga yang dijual di toko kelontong itu lebih murah dari minimarket berjejaring nasional yang ada di sekitarnya. Itu pasti tidak mungkin. Tidak masuk akal.” Begitu serangkaian kalimat yang keluar dari kakak saya untuk menjelaskan logika pasar kepada saya. Dia pun lalu menambahkan begini: “Mereka para minimarket itu ngambil barangnya langsung dari pabrik. Jadi, harga yang mereka dapatkan itu harga pabrikan.” “Sementara, normalnya, toko kelontong ngambil barang dagangannya dari agen. Dan agen ngambil barang dagangannya dari grosir. Grosir ngambil barang dagangannya dari pabrik,” imbuh kakak saya menjelaskan mata rantai distribusi barang dagangan pada umumnya sebagai bandingan.

Jadi, harga yang didapat toko kelontong dari serangkaian distribusi barang dagangan adalah harga tangan keempat. Bukan harga tangan pertama yang langsung diberikan oleh pabrikan. Itu bedanya dengan minimarket jejaring nasional seperti yang kini makin mudah ditemui di ujung-ujung jalan strategis di tengah masyarakat. Pada unit bisnis yang disebut terakhir, mereka mendapatkan barang dagangan langsung dari pabrik. Lalu mereka lakukan stock opname di distribution centre (DC; pusat distribusi) yang mereka miliki.

Mereka sengaja mendirikan DC untuk mengelola keluar-masuknya barang dari pabrikan ke minimarket. Dengan adanya DC itu, mereka sekaligus bisa memutus mata rantai harga yang panjang. Ya, sebelum harga diterima konsumen. Karena itu, harga yang mereka jual di minimarket hampir bisa dipastikan lebih murah daripada yang bisa dijumpai di toko kelontong. Karena, ada minimal dua level dari jejaring distribusi yang terpangkas oleh model pengelolaan barang dari pabrik sebelum bisa sampai ke konsumen.

“Toko kelontong bisa menjual harga lebih murah, asal…” komentar kakak saya mengajak saya untuk lebih mendetil dalam mengerti dan memahami dunia bisnis makanan, minuman dan konsumsi harian lainnya. “Asal apa, Mas?” sergah saya langsung. “Ya, asal unit bisnis seperti toko kelontong itu punya jejaring black market.” “Lho, kok black market?” tanya saya. “Ngajari jelek nih? Ngajari main belakang dalam bisnis? Ngajari bisnis haram?” imbuh saya selanjutnya. “Bukan. Bukan begitu maknanya,”  koreksi kakak saya.

Dia pun lalu menjelaskan panjang lebar cakupan black market tersebut. Begini yang dia bilang: “Black market di sini maksudnya begini. Pengusaha atau pedagang seperti toko kelontong itu harus punya jaringan tukang sales atau sales supervisor. Itu penting untuk menjaga harga jual tetap kompetitif. Mereka para tukang sales atau sales supervisor itu pasti memiliki kapat-paket promo. Mereka juga diberi target penjualan oleh perusahaannya perbulan. Dan, itu harus terpenuhi. Itu jika mereka ingin sukses di mata perusahaan. Dan, pasti mereka bekerja keras untuk memenuhi target itu.”

Nah selain mengejar paket promo, para pedagang lapangan itu bisa juga bekerjasama dengan para tukang sales atau sales supervisor itu melalui skema lian. Yaitu, penggantian penjualan dari konsinyasi ke jual putus. Basisnya cash and carry. Jika menggunakan skema konsinyasi, harga satuan untuk sampai ke pedagang di sebuah tempat mencapai Rp. 1.000,- sebagai misal, dia bisa lakukan tawar-menawar ke para tukang sales atau sales supervisor dengan harga Rp. 900,-. Selisihnya hingga mencapai Rp. 100,-  Tentu angka ini kecil jika menghitungnya satuan. Namun, jika ditotal secara keseluruhan, selesih angka itu akan menunjuk ke besaran jumlah yang sangat banyak.

Bagi para tukang sales atau sales supervisor, selisih harga yang totalnya bisa mencapai angka yang cukup tinggi tak masalah. Sebab, mereka bisa mendapatkan uang cash yang bisa langsung disetorkan ke perusahaan tanpa nunggu lama. Tanpa nunggu nasib penjualan untuk sekian lama seperti pada model konsinyasi. Tanpa nunggu akhir cerita penjualan produk dagangan itu. Mereka mikir begini: Lho iya kalau laku semua? Kalau tidak? Pasti Perusahaan rugi. Waktu pembayaran lama. Barang tidak habis. Bahkan ada yang harus di-recall. Dan itu semua, tentunya, untuk hitungan yang lebih besar tidak menguntungkan bagi perusahaan. Sebab, perusahaan juga pasti mikirin cash flow. Perusahaan juga ingin memastikan neraca aman dan stabil dalam babakan panjang.

Beda dengan jual putus berbasis cash and carry, bukan? Barang laku. Uang langsung diterima. Tanpa mikir bagaimana nasib penjualannya. Tanpa perlu waktu lama untuk urusan penjaminan angka penjualan barang hasil produksi. Urusan penjualan sudah bukan lagi tanggung jawab pabrik. Bukan tanggung jawab perusahaan produksi lagi. Pedagang mengambil alih penjualan secara keseluruhan. Maka, jika ada penawaran skema beli barang dagangan dengan jual putus berbasis cash and carry, tukang sales atau sales supervisor tentu lebih senang. Dan perusahaan pun juga tentu lebih tenang. Semua jadi lebih happy karenanya.

“Tanpa adanya jejaring black market seperti ini,” kata kakak kandung saya lebih jauh, “jangan pernah berharap toko kelontong bisa bertahan lama.”  “Sebab,” ujarnya mengingatkan, “toko kelontong tidak akan bisa mengalahkan harga yang dijual oleh minimarket berjejaring nasional.” Semua kelebihan minimarket berjejaring nasional seperti diuraikan di atas menjadi latar belakangnya. Mulai dari sisi jaringan distribusi yang pendek hingga implikasi pemotongan rangkaian mata rantai harga yang panjang. Semua itu tidak akan bisa disaingi oleh toko kelontong. Kecuali mereka memiliki jaringan black market di atas. Sehingga, jaringan distribusi dan harga jual barang dagangan bisa membuatnya kompetitif dibanding dengan minimarket berjejaring nasional.

Saudaraku yang budiman,

Cerita di atas penting saya uraikan. Saya merasa, cerita yang terjadi pada kira-kira tigabelas tahun lalu itu perlu saya kisahkan ulang. Agar bisa menjadi ilustrasi.  Kepentingannya untuk menjadi inspirasi. Khususnya bagi pengelola perguruan tinggi hari ini. Saya mendengar dan dicurhati oleh sejumlah pengelola pendidikan tinggi milik pemerintah di sejumlah daerah di Jawa Timur. Angka pendaftaran untuk kelas magister S2 khususnya mengalami penurunan cukup signifikan. Beda dengan periode sebelum-sebelumnya. “Mulai banyaknya kampus Islam swasta mendirikan program magister S2 membuat pasar kami menciut,” ujar salah seorang rekan pengajar-pengelola kampus Islam negeri menjelaskan fenomena penurunan pendaftar program magister S2. “Calon mahasiswa banyak yang lebih memilih kampus Islam swasta itu,” tambahnya.

Dalam hati aku pun bergumam, “Hemmmm… itu karena sampeyan hanya menjual harga murah untuk layanan pendidikan pascasarjana.” Andalannya adalah harga murah. Ya, harga murah dijadikan sebagai kebanggaan. Cenderung tidak ada distingsi yang lebih ditonjolkan. Kecuali ya harga murah itu. Yang dijadikan sebagai bandingan adalah layanan pascasarjana beserta biaya kuliahnya di kampus milik pemerintah lainnya di kota besar. Lalu, di kampusnya biaya kuliahnya dibuat murah. Lalu itu dijadikan sebagai alat kebanggaan. Untuk memikat hati calon mahasiswa. Bahkan, dari lintas wilayah sekalipun.

Begitu bermunculan kampus lain dengan tawaran biaya kuliah program magister yang juga tidak kalah murahnya, maka pasar menjadi menyempit. Terkoreksi dengan sendirinya. Sederhana sekali alasannya. Menyempit dan terkoreksi karena banyak pelaku layanan bisnis pendidikan program magister menjadikan harga murah sebagai jualan utama komoditasnya. Hampir tidak ada distingsi lain yang diandalkan. Termasuk mutu akademik yang khas. Andalannya hanya biaya murah.

Begitu ceruk pasar atas harga murah itu dikejar dan diperebutkan oleh para pendatang baru dari bisnis layanan pendidikan itu, pendapatan pun terkoreksi. Ya, melalui penurunan jumlah angka pendaftar calon mahasiswa. Semakin sempitlah akhirnya pasar pendidikan magister itu. Pasar mengalami titik jenuh. Tidak bisa diekspansi atau diperluas.  Alih-alih pasar makin menyempit. Impitan kampus lainnya yang menjual harga murah makin mempersempit ruang gerak pasar program magister oleh kampus-kampus negeri itu.

Kampus Islam swasta, pada sisi lain, memiliki kelebihan. Ya, mereka memiliki suwuk sosial. Wujudnya adalah kharisma kyai pengasuh pesantren. Kharisma itu terkapitalisasi ke dalam restu untuk kuliah di dalamnya. Apalagi jika sang kyai memanggil para alumni dan atau santrinya dan menasehati agar kuliah di kampus milik pesantren almamater sendiri. Dan, ditambah dengan ijazah wirid dan doa kesuksesan oleh sang kyai. Tentu, semua itu akan menjadi suwuk sosial bagi para alumni dan atau santri dimaksud. Dan itu yang akan memantapkan ketetapan hati mereka untuk memutuskan kuliah di kampus milik pesantren almamater sendiri.

Saudaraku yang budiman,

Kampus negeri pasti tidak memiliki suwuk sosial di atas. Tidak ada seorang pun yang bisa memainkan peran sebagaimana kyai sepuh di pesantren di atas. Lalu, apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Menerjemahkan suwuk sosial itu ke dalam sistem. Mewujudkan nilai suwuk sosial ke dalam tata kelola penyelenggaraan pendidikan yang ada di dalamnya. Itulah jawabannya. Sistem manajemen mutu, karena itu, adalah kata kuncinya. Semua bagian dari layanan pendidikan harus dijaminmutukan semaksimal mungkin.

Dibuatkan standar mutu pada setiap aspek layanan. Lalu, standar itu diterapkan dan dijadikan sebagai ukuran. Ujungnya, setiap aspek layanan pendidikan tersebut dievaluasi secara berkesinambungan melalui mekanisme audit rutin yang terjaga. Tak perlu nunggu momen akreditasi untuk terjadinya audit. Baik akreditasi program studi maupun institusi perguruan tinggi. Audit sudah harus menjadi bagian dari nafas hidup perguruan tinggi. Setiap langkah selalu dihitung dalam kepentingan audit. Tidak hanya dari sisi akademik, tapi juga nonakademik. Termasuk keuangan sekalipun. Itulah tahapan pelaksanaan penjaminmutuan dari sistem manajemen mutu yang harus menjadi ruh penyelenggaraan perguruan tinggi.

Jika sudah ada penerjemahan sistemik seperti di atas, kampus akan bisa melahirkan dua prestasi utama: keunggulan dan distingsi. Keunggulan berarti mutu yang terjaga. Distingsi bermakna  kekhasan yang menjadi penanda. Keduanya akan mengangkat marwah lembaga. Keunggulan yang diperkuat dengan ciri pembeda dan atau kekhasan tertentu yang sulit atau bahkan tidak ditemukan di kampus lainnya akan menjadikan kampus berwibawa. Karena itu, bukan harga murah yang dijual oleh kampus-kampus yang baik itu. Tapi keunggulan dan distingsi yang ditonjolkan.

Saat harga murah yang dijual, sedangkan penjaminmutuan diabaikan, maka pasar harga murah itu akan segera menyempit. Sebab, pelaku pasar lainnya akan segera turun dengan jualan harga murah yang sama. Jumlah mereka pun juga tidak bisa diprediksi banyaknya jika hanya harga murah yang menjadi komoditas. Mengapa? Karena model jualan seperti ini akan mudah ditiru. Cara jualan seperti akan akan sangat gampang untuk direplikasi. Mengapa begitu? Sebab, praktik bisnis semacam itu tak butuh kecakapan yang mapan. Tak perlu inovasi yang distingtif. Akhirnya, siapapun bisa meniru, mereplikasi, dan bahkan memodifikasinya. Tentu untuk tujuan dan kepentingan yang serupa. Yakni, berebut pasar.

Apalagi, harga murah atau tidak, itu urusan teknis keuangan. Dasarnya adalah analisis keseimbangan logistik kampus. Bahkan teknis pengelolaannya pun juga tak rumit. Bisa modelnya gelondongan. Atau dalam bahasa sales and marketing, grosiran. Dan bisa pula modelnya adalah eceran. Jika grosiran, teknisnya adalah bahwa semua kebutuhan pembiayaan kegiatan dan tahapan perkuliahan dihitung total. Lalu biaya total itu dibagi ke dalam delapan semester. Maka, ketemulah angka biaya kuliah persemesternya. Di luar itu, sudah tidak ada biaya-biaya lagi. Tak ada lagi Bisaya tambahan ini itu. Khalash! Semakin cepat selesai kuliah, berarti mahasisiwa makin bisa segera menghemat biaya. Makin lama lulus, maka dia makin boros biaya.

Kalau eceran, seluruh kebutuhan pembiayaan perkuliahan tidak ditotal secara keseluruhan untuk dibagi ke dalam persemester. Melainkan, hitungannya dipecah-pecah. Dengan pertimbangan waktu singkat. Dan berbasis semester berjalan. Tidak dilakukan perencanaan jangka panjang yang baik. Dengan memprediksi dan menghitung komponen biaya yang mungkin dan akan timbul dalam penyelenggaraan pendidikan seanjang masa studi. Yang dihitung hanya yang sedang berjalan saja. Komponen biayanya pun juga yang rutin saja. Akhirnya, model eceran ini membawa kesan seakan-akan harga murah. Seakan-akan biaya kuliah murah. Namun, ujungnya sebetulnya justeru bisa lebih mahal. Itu kalau ditotal seluruhnya sepanjang masa studi.

Mengapa jatuhnya bisa lebih mahal daripada model grosiran? Itu karena, di luar yang tampak persemester berjalan itu, akan ada banyak tambahan biaya yang harus dibayar mahasiswa. Dan mereka pun tak akan pernah bisa memprediksi besaran dan frekuensinya. Kampus bisa menentukan besaran dan frekuensinya pada standar yang sedang berjalan pada saat berlangsung. Jika harga sedang naik dan tuntutannya juga semakin variatif, maka besaran dan frekuensi pembiayaan juga makin tinggi. Bahkan, biaya dan atau harga tambahan itu bisa saja diserahkan ke mekanisme pasar yang sedang terjadi. Persemester biaya bisa naik. Jatuhnya bisa mahal juga di akhirnya daripada harga grosiran yang harus dibayar.  

Untuk model eceran ini, semua bisa meniru. Siapapun bisa melakukan praktik ATM. Ya, ATM sebagai kepanjangan dari amati, tiru, dan modifikasi. Bahkan, kata “modifikasi” di sini hadir dalam makna yang sederhana sekali. Tak butuh kreasi lebih lanjut. Tak perlu inovasi yang lahir dari proses panjang nan berliku. Asal tahu, bisa ditiru. Asal mendengar, bisa disebar. Asal melihat, bisa diembat. Itu karena, tidak perlu ada perencanaan yang baik. Tak butuh prediksi yang cakap. Tak harus menghitung komponen biaya sedetil mungkin. Atas kebutuhan pendidikan sepanjang masa studi.

Harusnya, berikut ini yang menjadi pertimbangan utama: keunggulan dan distingsi. Semua layanan pendidikan yang diselenggarakan dijaminmutukan dengan maksimal. Orientasinya adalah keunggulan dibanding selainnya. Dan nilai keunggulan ini yang akan menjadi distingsi. Mulai dari desain akademik penyelenggaraan layanan perkuliahan. Hingga unsur penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Semuanya diorientasikan pada keunggulan dan distingsi itu. Maka, bukan harga murah yang jadi komoditas, tapi unggulan yang menjadi jualan utama. Apalagi di kampus negeri. Semua masih ada komponen subsidi dari pemerintah. Tidak akan pernah muncul harga mahal sebagaimana kampus di luarnya dengan ukuran standar mutu yang serupa. Apalagi lebih tinggi akibat unggulan.

Untuk mencapai derajat unggulan ini, maka dibutuhkan inovasi tanpa henti. Diperlukan kreasi tanpa letih. Perlu ikhtiar tinggi yang dinanti. Itu semua wajib dilakukan untuk mengejar nilai unggulan itu. Mutu unggulan tak akan dapat dicapai hanya sekadar dengan jual harga murah. Pasti banyak komponen yang dinegosiasikan. Pasti banyak unsur layanan yang ditekan. Pasti banyak item layanan yang disesuaikan. Itu semua dilakukan untuk menjaga harga murah.

Maka, kuliah S2 dan S3 jangan hanya berhenti pada promosi harga murah. Jangan terbuai olehnya. Jangan terbahagiakan hanya dengan harga murah itu. Lihatlah jaminan mutu unggulannya. Apalagi di kampus negeri. Pasti asas keadilan menjadi ruh mekanisme pembiayaan perkuliahan. Karena itu, memahami persoalan politik biaya kuliah menjadi penting. Mau memilih harga grosiran atau eceran, itu sepenuhnya pilihan. Tapi, bagaimanapun, nilai unggulan harus diprioritaskan.

Pertimbangkan nilai unggulan daripada sekadar harga murah. Dalam kisah warung kelontong di atas, harga murah menjadi sebab kebangkrutan. Kampus pun juga penting belajar agar tidak terancam merosot jika hanya menjual harga murah semata. Karena itu, prioritaskan nilai unggulan. Apalagi, pembiayaan model grosiran sudah mempertimbangkan perencanaan pendanaan sepanjang masa studi yang tak lagi ada pembiayaan apapun selainnya. Yang kelihatan mata tak berarti yang nyata sesungguhnya. Yang tercantum tak selalu menunjukkan harga akhir sebenarnya.  

Lepas dari itu, paket beasiswa dan atau bantuan biaya kuliah adalah program-program pendampingan yang kerap disediakan untuk memperkuat asas keadilan itu. Bisa saja basisnya kondisi ekonomi. Bisa pula basisnya adalah prestasi akademik. Atau bahkan nonakademik. Dan, program-program pendampingan pembiayaan itu biasanya disediakan atas kerjasama dengan para pemangku kepentingan internal dan eksternal. Atau, dalam kisah bisnis makanan-minuman di atas disebut dengan istilah black market dalam makna spesifik. Dan kampus pun memang harus memikirkan secara serius perihal kerjasama lintas institusi ini. Kepentingannya untuk membantu skema besar penjaminan mutu layanan pendidikan di dalamnya. Jalinan kerjasama lintas itu termasuk dengan dunia usaha dan dunia industri lebih luas.