
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Siang di Hari Kamis (24 Juli 2025) itu, udara di luar panas sekali. Namun hawa di ruangan amphitheatre UINSA Kampus A. Yani terasa sejuk tak terperi. Wajah yang hadir pun tampak berseri-seri. Bersinar penuh arti. Pertanda bahagia di hati. Berkembang dan bersemi pada setiap diri. Itu kesan yang kuat kutangkap dari setiap orang yang mengikuti. Acaranya adalah penutupan Program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) Batch 1 yang mengawali. Program itu setiap tahun memang selalu dinanti. Disiapkan untuk membekali para dosen muda di kampus Islam di seluruh pelosok negeri.
“Hati-hati dengan empat kata yang lagi happening: Rojali, Rohana, dan Rohalus!” kataku kepada para peserta PKDP itu. Mereka tampak terdiam saat mendengar tiga kata itu. Sebagian malah berbisik. Lalu bertanya apa maksud tiga kata itu. Tentu karena aku hanya menyebut tiga kata yang dekat dengan nama orang, mereka pun tampaknya bertanya-tanya dalam hati. “Siapa nih yang sedang menjadi atensi?” begitu kira-kira pertanyaan yang muncul dalam benak mereka. Munculnya kemungkinan pertanyaan seperti ini dilatarbelakangi oleh alasan yang sederhana sekali. Posisiku sebagai rektor kampus penyelenggara PKDP, yang memiliki kewenangan tertentu dalam kaitannya dengan kelulusan peserta, menjadi penyebabnya.
Aku pun tak mau mereka terjebak dalam ketidakpastian jawaban. Ku tak mau mereka terperangkap dalam tebak-menebak kata. Kontan lalu kuuraikan istilah-istilah itu. Satu demi satu. Sambil memberi penjelasan kontekstualnya. Begini kataku kala itu: “Rojali itu kependekan dari rombongan jarang beli. Rohana kependekan dari rombongan hanya nanya. Dan Rohalus kependekan dari rombongan hanya mengelus.” Aku pun menimpali uraian itu dengan penjelasan begini: “Istilah-istilah itu muncul karena banyaknya orang yang pergi ke mal hanya untuk ngadem. Atau sekadar jalan-jalan. Itu yang memunculkan istilah Rojali.”
“Terus kalau Rohana apa?” tanya seorang peserta acara PKDP itu. Pertanyaan itu tampak dia lontarkan untuk menandakan bahwa peserta acara itu mulai penasaran dengan apa yang ada di balik istilah-istilah baru itu. Aku pun lalu memberikan penjelasan yang dia dan mungkin yang lainnya butuhkan. “Ooh, istilah Rohana itu muncul karena banyaknya orang yang ke pusat perbelanjaan hanya untuk nanya-nanya, namun beli sih tidak!” begitu kataku menjelaskan latar belakang munculnya istilah itu. Begitu pula dengan Rohalus. Orang datang ke toko dan pusat perbelanjaan hanya sekadar ingin tahu saja. Hanya untuk memuaskan rasa penasaran saja. Beli sih tidak! Cara yang dilakukan hanya mengelus atau memegang barang yang dipajang.
“Munculnya Rojali, Rohana dan Rohalus itu karena Rojaki,” begitu jelasku. Lalu, apaan tuh “Rojaki”? Begini uraiku: “Rojaki itu kependekan dari rombongan jarang asah kurang inovasi.” Ini istilah tambahan buatanku sendiri. Beda dengan tiga istilah sebelumnya yang sudah jamak beredar. Istilah “Rojaki” itu kubuat untuk menjawab mengapa muncul Rojali, Rohana, dan Rohalus. Para peserta PKDP yang berada di ruangan amphitheatre UINSA Kampus A. Yani itu lalu riuh. Bagi banyak orang, termasuk para peserta PKDP itu, mungkin istilah-istilah itu bisa dibilang remeh-temeh. Mungkin ada yang bilang, ada-ada saja! Tapi, ada makna yang mendalam sejatinya. Nah, tulisan ini kubuat untuk mengulas apa di balik istilah-istilah itu.
Perubahan Pola Konsumsi
Istilah Rojali, Rohana dan Rohalus di atas belakangan menyeruak kuat. Menandai fenomena ramainya orang datang ke pusat perbelanjaan. Tapi, ramainya kunjungan mereka tak berdampak serius, untuk tidak mengatakan tak berpengaruh apa-apa, pada profil penjualan sejumlah pelaku usaha ekonomi dan bisnis di dalamnya. Mengapa begitu? Karena mereka berkunjung tanpa ada transaksi. Ramai dalam kunjungan memang berarti sama dengan padat dalam kedatangan. Hanya, ramai dan padat di sini tak berarti tingginya transaksi. Munculnya istilah-istilah di atas menjadi bukti atas analisis ini. Istilah-istilah itu dimunculkan untuk melukiskan kondisi yang dihadapi oleh sejumlah pelaku usaha di atas. Jika dulu ramai dan padat identik dengan tingginya transaksi, kini argumen itu harus diberi catatan kritis atasnya.
Di mana catatan kritis itu diletakkan? Rendahnya tingkat transaksi di atas memang sangat dirasakan betul oleh sejumlah pelaku usaha. Hanya, ada sejumlah lainnya yang justru mendapat berkah positif: peningkatan penjualan. Lalu siapakah yang merasakan rendahnya dampak positif kunjungan pada transaksi dan siapa pula yang mendapatkan berkah dalam bentuk meningkatnya transaksi? Pelaku usaha nonmakanan dan minuman merasakan hadirnya Rojali, Rohana dan Rohalus di atas pada komoditas dagangan mereka. Usaha bisnis fashion salah satunya. Kehadiran pengunjung hanya berakhir pada nanya-nanya semata. Atau mengelus-elus saja. Atau menyentuh-nyentuh saja. Tak berujung pada transaksi dan aksi beli.
Namun, pemandangan di atas tak terjadi pada usaha layanan bisnis makanan dan minuman. Bahasa ngepopnya, food and beverage. Disingkat F&B. Justru, di bisnis ini, terdapat kenaikan transaksi yang cukup memadai. Bahkan disinyalir oleh ketua umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo, terdapat kenaikan penjualan sektor retail F&B hingga menembus angka 5% hingga 10% (lihat UR: Hippindo Blak-blakan Dampak Fenomena Rojali & Rohana di Mal). Artinya, tak semua pelaku usaha mengeluhkan pola kunjungan konsumen ke pusat perbelanjaan yang tak berujung pada transaksi pembelian. Pelaku bisnis retail makanan dan minuman justru mendapati fakta sebaliknya pada tingkat penjualan mereka.
Fakta-fakta kontradiktif di atas menjelaskan tentang perubahan pola konsumsi warga masyarakat. Kini istilah “pasar” sebagai tempat transaksi harus diberi penjelasan lebih detail lagi. Fisik pasar tak lagi menjadi dominasi atas transaksi. Sebab, ada bentuk pasar lain. Yakni, pasar online. Bisa saja namanya online shops. Atau marketplace. Di jenis pasar baru ini, transaksi dilakukan dengan menggunakan platform digital. Tak lagi dilakukan di pasar dalam arti fisik sebagaimana regular terpahami sebelumnya. Di jenis pasar digital itu, antara penjual dan pembeli bisa melakukan transaksi secara digital. Pertemuan mereka tak terjadi secara fisik-manual, melainkan secara digital melalui platform bisnis digital yang tersedia.
Memang,daya beli menjadi sasaran tudingan atas perubahan pola konsumsi di atas. Menurunnya daya beli masyarakat kerap dianggap sebagai faktor pengaruh. Dampaknya disinyalir berimbas secara langsung pada menurunnya tingkat konsumsi. Namun, meskipun demikian, tak bisa dinafikan bahwa memang telah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat. Hal itu terlepas dari soal daya beli. Datangnya individu warga masyarakat ke mal atau pusat perbelanjaan yang terbukti hanya untuk melihat-lihat komoditas dagangan tapi lalu membelinya di pasar online adalah salah satu buktinya.
Fenomena yang disebut terakhir di atas menjadi bukti pergeseran pola konsumsi di tengah masyarakat. Perubahan dimaksud menyusul, di antaranya, meningkatnya kecenderungan belanja online. Diperparah lagi, mal bukan menjadi medan transaksi atas komoditas konsumsi. Melainkan berubah menjadi semacam ruang pamer. Orang hanya ingin melihat secara dekat sebuah produk komoditas. Itu mereka lakukan sebagai bahan pemberi informasi awal tentang produk serupa yang bisa ditemui sebelumnya secara online. Kehadiran individu ke pusat perbelanjaan hanya untuk melakukan konfirmasi hingga validasi atas produk yang sebelumnya ditemukan di marketplace.
Pada saat yang sama, fungsi mal di perkotaan mulai bergeser menjadi area healing. Bentuk aktivitas healing paling menyolok adalah digunakannya mal untuk tempat nongkrong dan makan-minum. Bukan sebagai tempat berbelanja barang sebagaimana pada era perkembangan sebelumnya. Karena itu, sangat bisa dipahami jika terjadi kenaikan konsumsi warga masyarakat atas produk makanan dan minuman. Apalagi, bagaimanapun memang, pengalaman pandemi Covid-19 membuat perubahan pola konsumsi masyarakat terasa sekali. Selama tiga tahun semasa pandemi, kegiatan keluar rumah sangat dibatasi. Pola konsumsi warga masyarakat pun akhirnya berubah dari belanja regular-fisik ke belanja online.
“Rojaki” Memperparah
Fenomena “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” di atas memang baru. Dampaknya memang secara langsung mengenai para pelaku usaha bisnis dan ekonomi di pusat-pusat perbelanjaan modern. Mengapa pusat perbelanjaan modern? Karena di pusat perbelanjaan modern, orang terfasilitasi untuk tidak langsung membeli dan atau mengkonsumsi komoditas yang diinginkan. Ada ruang dan kesempatan untuk melakukan praktik sightseeing. Melihat-lihat semata. Karena itu, proses untuk hanya sekadar untuk mengetahui, atau bahkan membandingkan satu produk dengan lainnya, terbuka lebar.
Apalagi, jenis usaha yang bisa ditampung di mal atau pusat perbelanjaan tidak hanya berkaitan dengan komoditas fashion beserta segala aksesorisnya. Berbagai usaha retail makanan dan minuman bertebaran. Yang lama masih eksis, yang baru mulai membuka konter. Ragam pelaku usahanya pun macam-macam. Mulai yang internasional, nasional, hingga yang lokal. Sebut saja produk kopi sebagai misal. Bukan hanya kopi internasional seperti Starbuck saja yang bisa dinikmati pengunjung. Kini muncul berbagai macam produk kopi nasional. Sebut saja Excelso,Kopi Kenangan, Janji Jiwa, hingga Fore. Belum lagi usaha kopi lokal yang dijalankan oleh para pelaku usaha setempat.
Semua itu membuat komoditas yang diperdagangkan dan disajikan di mal atau pusat perbelanjaan itu makin variatif dibanding pada perkembangan sebelumnya. Karena itu, munculnya istilah-istilah seperti “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” di atas adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan fenomena berubahnya pola konsumsi warga masyarakat di mal atau pusat perbelanjaan dimaksud. Tentu, bagi sejumlah pelaku usaha yang terdampak buruk beserta komoditas yang diperjualbelikan, fenomena itu memukul tingkat penjualan mereka. Tapi, bagi sejumlah lainnya yang tak terdampak, fenomena itu hanya menandai perubahan pola konsumsi yang harus diwaspadai. Bagi yang mendapatkan berkah peningkatan penjualan, fenomena itu justru diamini keberadaannya.
Tak jauh-jauh dari tiga istilah yang kusebut di atas, terdapat istilah “Rojaki” yang sejatinya juga berkaitan langsung dengan urusan jual-beli. Kalau “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” beririsan langsung dengan profil pengunjung yang tak berarti langsung menjadi konsumen yang membeli barang dagangan, “Rojaki” justru berkaitan dengan profil pedagang atau pelaku bisnis yang justru gagal membaca kecenderungan baru para. Frase “jarang asah” menandakan kurang sensitifnya mereka dalam membaca dan memahami fenomena baru yang menghinggapi para pengunjung pusat perbelanjaan. Sedangkan frase “kurang inovasi” menyiratkan tak kuatnya terobosan baru dalam menyikapi kecenderungan baru perilaku pengunjung.

Dibukanya konter dengan komoditas pendamping memang menjadi contoh strategi dan jawaban terhadap fenomena “Rojaki” di atas. Sejumlah pelaku usaha melakukan proses bundling produk utama usaha yang dijalankan dengan komoditas pendamping. Kita pun kini bisa dengan mudah mendapatkan sejumlah pelaku bisnis dan ekonomi dengan komoditas utama tertentu namun juga membuka konter lain yang ditempatkan di bagian yang menyatu dengan display produk komoditas utama. Konter lain itu menjual komoditas tambahan sebagai pendamping atas komoditas utama.
Seperti yang pernah kutulis sebelumnya (lihat “Pasarku Dirawat, Pasarku Melesat,” URL: https://uinsa.ac.id/blog/pasarku-dirawat-pasarku-melesat), pelaku usaha kacamata Saturdays di Mal Galaxy Surabaya, sebagai misal, membuka konter yang menyatu dengan ruang produk kacamata yang menjadi komoditas utamanya. Barang yang dijual adalah produk retail makanan dan minuman. Dengan strategi ini, perubahan pola konsumsi masyarakat tak harus menyebabkan menguatnya fenomena “Rojali, “Rohana”, dan “Rohalus” secara tak terkendali. Sebagai gantinya, fenomena “Rojaki” direspon oleh sejumlah pelaku usaha bisnis dan ekonomi melalui inovasi strategis di dalamnya.
Lalu Apa Pelajarannya?
Rasanya terlalu sayang melewatkan begitu juga empat istilah yang dibahas di atas. Sebagai gantinya, penting untuk mengambil inspirasi atas menyeruaknya empat istilah ngepop di atas. Kepentingannya agar ada nilai positif yang bisa dipetik. Aku mengemas aksi ambil inspirasi ini dengan rumusan “Awas Ada Rojaki! Juga Rojali, Rohana, dan Rohalus.” Karena itu, dalam kaitan ini, aku mencatat tiga pelajaran penting. Pertama, perubahan perilaku konsumsi warga masyarakat adalah hal biasa, namun pelaku usaha bisnis-ekonomi dan layanan apapun tak boleh mengesampingkannya begitu saja. Perubahan pola konsumsi itu harus direspon secara baik agar tak sampai menimbulkan kerugian apapun pada pelaku usaha bisnis dan layanan itu.
Bertemunya “jarang asah” dan “kurang inovasi” dalam istilah “Rojaki” di atas melengkapi gagapnya pelaku usaha bisnis-ekonomi dan layanan dalam membaca pola konsumsi yang berubah di kalangan individu warga masyarakat sebagai konsumen potensial. Munculnya “jarang asah” secara partikular, sebagai misal, merupakan akibat dari lemahnya praktik pengembangan kapasitas diri pegawai dan pimpinan manajemen dari usaha bisnis dan ekonomi itu. Akibat dari praktik “jarang asah” ini adalah lemahnya daya inovasi di kalangan pegawai dan pimpinan manajemen bisnis dan layanan itu untuk melahirkan serangkaian langkah terobosan dalam mendekatkan komoditas yang diperjualbelikan kepada konsumen.
Kedua, saat perubahan pola konsumsi cenderung cepat, maka tak ada cara lain bagi penyelenggara layanan dan atau pelaku usaha bisnis-ekonomi kecuali melakukan praktik berpikir dan bertindak yang tidak biasa-biasa aja (thinking and acting out of the box). Istilah “Rojaki”, sejatinya, memberi inspirasi dan sekaligus pesan kuat agar setiap pelaku usaha bisnis-ekonomi dan atau penyelenggara layanan responsif terhadap setiap perubahan pola konsumsi yang ada di pasar atau tengah masyarakat konsumen. Jangan dibiarkan perubahan yang cepat dalam pola konsumsi warga masyarakat berlalu begitu saja tanpa ada respon aktif dan produktif.
Munculnya berbagai fenomena, mulai dari “Rojali”, “Rohana”, hingga “Rohalus” itu, pada dasarnya, merupakan fenomena yang lazim saat perubahan sosial-budaya-ekonomi terjadi dengan begitu cepatnya. Hanya, perubahan cepat apapun yang terjadi pada ranah-ranah itu dan yang dapat mengubah pola konsumsi warga masyarakat tak akan menggelisahkan jika pelaku usaha bisnis-ekonomi dan penyelenggara layanan tak kehilangan peran vital diri dalam bentuk kekuatan asah dan inovasi. Sebab, dua kekuatan yang disebut terakhir ini akan selalu membuat diri siap dan sigap dalam mengikuti setiap perubahan.
“Rojaki”, sebetulnya, bukan hanya tantangan yang membahayakan pelaku usaha bisnis dan ekonomi. Tapi juga bisa mengganggu siapa saja yang berkewenangan dalam penyelenggaraan tugas layanan kepada masyarakat umum. Termasuk ke dalam kategori ini secara partikular adalah pendidik dan atau dosen dalam tugas layanan pendidikan. Sebab, jika kurang asah, maka dosen akan ketinggalan informasi dan perkembangan keilmuan. Hal yang sama sangat mungkin terjadi jika dia terkena gejala kurang inovasi. Pasti akibatnya dia tak akan bisa update dan sekaligus mengambil langkah yang tidak biasa-biasa saja.
Disinsentif “Rojaki” Untuk Pendidikan
Disinsentif“Rojaki” di atas sebetulnya bisa pula ditarik ke dunia pendidikan. Termasuk juga pendidikan tinggi. Jika seseorang sudah tak mampu mengambil langkah yang tidak biasa-biasa saja dalam tugas pekerjaan di bidang pendidikan, maka akan muncul kecenderungan untuk mendekati tugas pekerjaannya sebagai dosen hanya dengan cara yang biasa-biasa saja. Setiap penunaian tugas dan pekerjaan pendidikan yang dijalankan akan dianggap seperti urusan biasa saja. Bahasa lainnya, business as usual. Tak ada kehendak untuk berpikir (thinking behavior) dan berperilaku mendidik (teaching behavior) di luar kelaziman atau out of the box.
Tentu, istilah “di luar kelaziman” bukan dalam konteks negatif, seperti menabrak norma umum dan standar moral, melainkan berhubungan dengan konteks dan kepentingan positif. Di antara sejumlah contoh yang bisa diturunkan dalam kaitan ini adalah kecakapan dalam menyelenggarakan pembelajaran kepada peserta didik. Lemahnya inovasi dalam praktik pembelajaran akan membuat keterlibatan aktif peserta didik ke dalamnya melemah pula. Sementara di ujung yang lain, ada kekuatan teknologi digital yang bisa menyajikan semuanya lebih hidup dan menarik. Akibatnya, praktik pembelajaran yang diselenggarakan tidak dekat dengan kebutuhan peserta didik. Proses dan hasilnya pun lalu cenderung tidak efektif.
Memang, teaching behavior tak sama dengan consuming behavior. Karena keduanya berada dalam titik gerak yang berbeda. Yang satu memproduksi pembelajaran, sedangkan yang lain mengkonsumsi. Tapi keduanya memiliki garis kontinum yang kuat. Consuming behavior yang berubah pada kalangan peserta didik harus membuat perilaku memproduksi pembelajaran (teaching behavior)pada kalangan pendidik juga ikut berubah secara signifikan. Kepentingannya agar pembelajaran yang diselenggarakan pendidik terserap baik oleh peserta didiknya.
Dunia pendidikan penting untuk belajar dari dunia usaha. Dunia usaha ekonomi dan bisnis mempraktikkan prinsip di atas secara kuat. Saat perilaku konsumsi individu dan warga masyarakat berubah, maka perilaku produksi pelaku usaha bisnis-ekonomi dan layanan juga harus berubah untuk mengikuti. Saat muncul fenomena “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus”, maka perilaku produksi barang dan jasa yang dilakukan juga berubah untuk mengikuti agar tak ada celah yang lebar antara consuming behavior dan producing behavior itu. Menguatnya fenomena “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” di sektor usaha bisnis-ekonomi dan layanan memang menggelisahkan, tapi itu semua harus direspon secara produktif.
Dunia pendidikan pun juga tak boleh jauh-jauh dari prinsip dimaksud. Itu meskipun ada standar nilai yang tetap harus diperjuangkan dan dikonservasi. Mengajar dan mendidik, meneliti, serta melakukan praktik pendampingan pada masyarakat oleh pendidik adalah perilaku produksi dalam pendidikan. Praktik menerima layanan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian oleh peserta didik adalah perilaku konsumsi. Saat sudah muncul pola konsumsi tertentu, harus ada skema untuk melakukan praktik asah dan inovasi.
Maka, fenonema “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” tak boleh semakin diperparah dengan praktik “Rojaki.” Dunia pendidikan penting mengarusutamakan prinsip ini. Apa yang bisa disebut dengan “Inspirasi Rojaki” dalam uraian di atas patut menjadi perhatian dunia pendidikan. Dasar dan inspirasinya jelas, yakni praktik produksi dan konsumsi di dunia bisnis-ekonomi dan layanan. Lalu, dasar dan inspirasi dari praktik produksi dan konsumsi di dunia bisnis tersebut ditransformasikan ke dalam praktik produksi dan konsumsi di dunia pendidikan. Semua itu agar penyedia layanan pendidikan tak gagal melakukan praktik sinkronisasi dengan perilaku konsumsi yang berubah dalam praktik pendidikan.