Articles

Oleh: Auliya Ridwan
Alumnus Prodi PAI IAIN Sunan Ampel Surabaya – Angkatan 2003

Perjalanan di dunia akademis terkadang menguras mental. Jatuh bangun diantara reruntuhan duka dan luka pasti pernah dialami oleh setiap akademisi. Lalu bagaimana kita terus bertahan diantara badai-badai yang mendera? Saya ingin berbagi suatu pengalaman pribadi yang membuat saya terus bertahan untuk terus menghadapi tantangan baru. Saya belajar dari olahraga. Ya, dari olahraga. Hal yang nampaknya tidak berkorelasi dengan perjalanan sunyi di relung-relung masa para akademisi.

Kembali pada tahun 2011, saya menemui kebuntuan harapan. Seharusnya saya sudah di Amerika Serikat (AS) untuk menempuh master saya yang kedua. Namun, implementer beasiswa saya ditutup oleh pemerintah AS. Dengar-dengar sih karena ada masalah fatal di cabangnya di negeri Stan sana yang membuat jatuhnya sanksi penutupan seluruh cabangnya di dunia, termasuk di Indonesia. Banyak orang meledek, bahwa seakan-akan saya tidak akan pernah berangkat ke sana. Ya maklumlah, saat orang berjuang pasti banyak yang nyinyir. Sudah sering saya lalui hal itu.

Terakhir saya mendaki gunung tahun 2007. Pernah juga saya berjalan 80 km dalam 3 hari mengikuti track yang melewati 2 kabupaten dan berakhir di pendakian. Dalam kebuntuan yang saya alami, beberapa teman mengajak saya untuk mendaki lagi. Tanpa persiapan fisik yang matang, spontan saya ikut saja dengan mereka. Saya pun mendaki Gunung Penanggungan untuk kelima kalinya pada tahun 2011. Saat itu situasinya berbeda bagi saya. Fisik yang beberapa tahun terakhir digunakan untuk membaca harus dihadapkan pada alam yang tak mau kompromi. Cuacanya dingin, berkabut, dan hujan. Nafaspun tersengal.

Hampir saja saya menyerah di tengah jalan. Seorang kawan berkata, “kita lanjutkan, tapi pelan-pelan saja, fisikmu sudah berubah, tapi mentalmu jangan ikutan berubah.” Baiklah saya turuti perkataan kawan itu. Di setiap Langkah yang saya tapaki, saya selalu dihadapkan pada bisikan-bisikan untuk menyerah. Namun, saya terus melangkah sambil berbicara dengan hati sendiri bahwa saya akan menyelesaikan perjalanan itu. Benar saja, saya mencapai puncaknya, sholat subuh di sana, dan menatap matahari yang merah tembaga dibalut kabut yang mengasap.

Bagi saya, alam tidak hanya simbol tantangan fisik tetapi juga representasi dari rintangan dalam hidup. Setiap langkah mendaki, layaknya setiap halaman buku tebal yang dibalik, menuntun saya pada pemahaman bahwa perjuangan terbesar adalah melawan keraguan dan ketakutan diri sendiri.

Di tengah perjalanan mendaki, saya merenungkan konsep antropologi olahraga, dimana olahraga tidak hanya sebagai aktivitas fisik semata, tetapi juga sebagai sarana pemahaman budaya, sosial, dan personal. Saya menyadari bahwa keterampilan, ketekunan, dan ketahanan yang saya pelajari melalui alam telah memberi saya perspektif baru dalam mengejar prestasi akademik.

Kepada saya terbuka wawasan bahwa menaklukkan alam, seperti halnya dalam kehidupan akademis, kemenangan sejati bukanlah saat berdiri di puncak, melainkan saat mampu mengatasi hambatan internal – ketakutan, keraguan, dan kelelahan. Saya belajar bahwa prestasi akademik tidak hanya diukur dari nilai atau publikasi, tetapi dari perjalanan mengatasi tantangan dan apa yang dipelajari di sepanjang jalan.

Ketika akhirnya saya mencapai puncak Gunung Penanggungan, saya tidak hanya menemukan keindahan alam yang tiada banding, tetapi juga kepuasan batin yang mendalam. Dari puncak, melihat ke bawah pada jalan yang telah saya tempuh, saya menyadari bahwa yang sebenarnya saya taklukkan adalah diri saya sendiri, batasan yang saya buat dan dinding mental yang saya runtuhkan.

Cerita saya bukan hanya tentang keberhasilan mendaki gunung atau prestasi akademis yang dicapai, melainkan tentang perjalanan internal menemukan kekuatan dan kemampuan diri. Ini adalah perjalanan yang mengajarkan kita bahwa dalam setiap usaha, baik fisik maupun intelektual, kemenangan sejati adalah ketika kita mampu mengatasi keraguan diri sendiri dan bergerak maju dengan keyakinan dan keberanian.

Melalui cerita saya, kita diajak untuk merenungkan hubungan antara olahraga dan pencapaian akademis dalam bingkai antropologis, bahwa kedua aspek kehidupan ini tidak terpisahkan. Mereka saling melengkapi, di mana olahraga menjadi sarana untuk meningkatkan disiplin, fokus, dan ketahanan yang semua itu penting dalam mencapai kesuksesan akademis. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam perjuangan mencapai mimpi, kita tidak hanya menaklukkan dunia luar, tetapi yang lebih penting, menaklukkan diri kita sendiri.

Anyway, saya hari ini sudah tidak mendaki lagi. Tetapi masih melangkah di udara di bawah bentangan sayap yang membawa saya terbang pertama kali di 2005. Ada yang mau ikut dengan saya? (spau)