Column

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Setiap kali melihat pemandangan itu, hati ini tertawa. Dan setiap ketemu lagi, masih saja tetap ingin tertawa. Karena ada lucunya. Ada gelinya. Tapi juga ada ironinya. Semua bercampur jadi satu. Dan kejadiannya pun mesti pagi hari sekali. Begitulah yang biasa kutemui. Di jalanan. Bahkan di tengah kota. Termasuk di kota sebesar Surabaya sekalipun. Seperti yang ku dapati kembali pagi itu. Sekitar jam 06:10 WIB. Hari Jumat, 7 Februari 2025. Di sepanjang perjalanan memasuki kota Surabaya. Dari arah sisi selatan. Hingga menuju tengah kota. Dalam perjalananku ke kampus.

Pemandangan itu berasal dari sebuah kendaraan bermotor. Melaju dengan yakinnya. Lempeng dan tak ada zig-zagnya. Lurus sekali jalannya. Sama sekali begitu adanya. Dari arah belakang, tampak seakan itu bukan motor. Alih-alih, terlihat semua itu seolah-olah tumpukan sejumlah onggokan barang berwarna putih. Ya, semua berwarna putih sama sekali. Dan semua dikemas dan diletakkan dalam kantong plastik berukuran jumbo. Lebar dan tingginya persis seukuran bujur orang dewasa. Namun, saat didekati, terutama dari sisi samping, segera terlihat bahwa semua yang berwarna putih itu adalah krupuk. Ya, krupuk yang biasa disantap warga masyarakat untuk pelengkap kebutuhan sehari-hari.   

“Coba lihat tukang krupuk bermotor itu! Itu satu-satunya pengendara motor yang selalu baik-baik saja di jalan, he heeee…,” begitu ujarku membuka perbincangan ringan bersama sahabatku, Mas Ribut, dan anak lanangku. “Padahal ODOL ya?” sahut Mas Ribut kontan. Tertawalah kami semua pagi itu. Sebab, penyebutan singkatan ODOL itu menunjukkan bahwa kendaraan motor yang dikemudikan tukang krupuk itu sudah termasuk melebihi kapasitas. Sesuai nama ODOL. Kependekan dari over dimension over loading. Melebihi dimensi kendaraan. Juga melebihi daya tampung kendaraan itu. Bagaimana tidak ODOL, fisik kendaraan itu tertutup sama sekali oleh rangkaian tumpukan krupuk dalam kantong plastik jumbo, seperti ku uraikan sebelumnya.

Entoh begitu, lancar-lancar saja motor tukang krupuk itu melaju selama ini. Aman-aman saja tukang krupuk itu mengantarkan dagangan krupuk yang dia produksi. Kesana-kemari. Tak pernah ada kendala yang berarti. Di luar kondisi kendaraan motor itu sendiri. Artinya, tukang krupuk berkendara motor ODOL itu baik-baik saja selama ini. Apalagi, tukang krupuk bermotor yang ODOL itu pasti beredar pagi-pagi sekali. Entah apa yang melatarbelakangi. Tapi yang pasti, konsumen sudah membutuhkan santapan krupuk sejak pagi hari. Dan beredarnya tukang krupuk bermotor itu sudah pasti pula di antaranya untuk merespon kebutuhan pasar yang dimiliki dan atau dihadapi.  

Tulisan ini kubuat tanpa ada muatan untuk membahas boleh-tidaknya motor ODOL seperti itu melintasi jalanan. Ya, artikel ini tak menyinggung soal apakah motor ODOL itu melanggar atau tidak atas aturan berkendara yang diberlakukan. Sama sekali tidak. Sama sekali tak ada pembahasan soal itu. Tulisan ini kubuat jauh dari pembahasan mengenai semua itu. Memang bisa saja ada perspektif yang mengaitkan motor ODOL tukang krupuk di atas dengan persoalan itu. Tapi fokus tulisan ini lebih tertarik membahas tukang krupuk berkendara motor ODOL tersebut dari sisi sebuah fenomena spesifik yang terjadi di tengah kehidupan warga masyarakat.   

Lebih konkret lagi, begini: tulisan ini kubuat hanya untuk menjelaskan dan memaknai sebuah fenomena menarik tertentu yang terjadi di tengah keseharian hidup masyarakat. Yakni, adanya tukang krupuk bermotor dengan muatan barang dagangan yang masuk kategori ODOL, dan bagaimana respon warga masyarakat pengendara motor lainnya terhadapnya. Lalu, fenomena tersebut ku jadikan sebagai ilustrasi untuk sebuah pelajaran hidup. Itu kususun dan kutelaah sedemikian rupa untuk sebuah pelajaran hidup itu walaupun aku sendiri juga tak menutup mata ada diskusi dengan fokus lain mengenai soal itu.

(Sumber URL: https://reviewsatu.com/2022/01/03/beban-hidup-seberat-kerupuk/)

Simaklah, sebagai contoh, komentar seorang pengunggah atas sebuah foto tukang krupuk bermotor dengan muatan barang dagangan yang masuk kategori ODOL di atas. Foto itu kudapatkan dari portal Review Satu. Kebetulan kejadiannya di kota lain. Yakni, Samarinda, Kalimantan Timur. Dan begini komentar pengunggah itu atas foto dimaksud: “Demi mencari penghidupan, lupa akan keselamatan. Praktis si pengendara tidak bisa menoleh ke belakang. Sepion pun tidak berfungsi. Pertanyaannya, apakah ini melanggar lalu lintas tidak ya?” Aku sendiri tak menutup mata ada diskusi dengan fokus lain seperti ini. Tapi lagi-lagi, tulisanku lebih tertarik mengambil pembahasan dari sisi fenomena spesifik dalam keseharian warga masyarakat.

Lalu, apa yang bisa dipelajari dari kisah pengendara motor ODOL bermuatan krupuk di atas? Pertama, mengabdilah pada kepentingan umum. Kemudahan pun akan selalu hadir. Dalam kasus kendaraan motor bermuatan krupuk di atas, apapun alasannya ia sejatinya sudah masuk kategori ODOL. Melebihi dimensi kendaraan dan kapasitas muatan. Seperti dalam pengertian yang diuraikan di atas. Siapapun pasti tahu soal itu. Sang tukang krupuk juga memahami soal itu. Warga masyarakat pengendara motor di sepanjang jalanan yang dilewati oleh tukang krupuk bermotor itu juga mengetahui perihal itu. Bahwa motor krupuk itu melebihi dimensi kendaraan dan kapasitas muatan.

Namun, kemudahan selalu dialami oleh tukang krupuk bermotor itu. Khususnya dari pengendara lain di sepanjang jalan. Aku mencatat, di sepanjang perjalanan yang kuikuti, tak ada satupun pengendara lain yang ngomelin pengendara motor bermuatan krupuk itu. Tak ada satu pun yang memberikan umpatan dan cemoohan kepada tukang krupuk dengan motor yang ODOL itu. Bahkan untuk sekadar gangguan dan halangan perjalanan, tak ada satu pun yang melakukannya kepada pengendara motor penjual krupuk itu. Pemandangan itu kudapatkan di sepanjang perjalananku dari titik masuk Surabaya dari arah selatan hingga ke arah tengah kota.

Alih, alih, setiap dari pengendara lain itu tampak memberikan ruang yang sangat leluasa kepada pengendara motor bermuatan krupuk yang ODOL itu untuk berjalan lempeng ke depan. Bahkan, tampak bahwa semua pengendara lain itu seakan “kompak” memfasilitasi pengendara motor bermuatan krupuk itu untuk melaju dengan baiknya. Minimal, semua itu terjadi karena para pengendara lain menjaga jarak dari pengendara motor bermuatan krupuk itu. Hal itu dilakukan agar laju pengendara motor bermuatan krupuk itu bisa bergerak ke depan tanpa adanya rintangan yang berarti. Meskipun bisa jadi ada di antaranya yang justru menjaga jarak, mereka semua seakan telah bersepakat untuk memahami kondisi yang dihadapi pengendara motor bermuatan krupuk yang ODOL itu.   

Kutangkap adanya perasaan yang seakan-akan serupa pada para pengendara di sepanjang jalan bersama dengan tukang krupuk itu. Perasaan yang seakan-akan serupa itu mewujud seperti ini: sama-sama butuh krupuk, sehingga mereka pun juga memahami tantangan tukang krupuk itu. Berdasarkan pemahaman seperti ini, mereka pun seakan bisa memaklumi situasi yang dihadapi tukang krupuk itu. Jika tidak melakukan praktik ODOL itu, maka dia tak akan bisa melayani konsumen atas krupuk yang menjadi barang dagangannya. Sebab, dia tak akan bisa mengambil untung jika muatannya tidak ODOL. Biaya transportasinya tak sebanding dengan harga krupuk per bungkusnya.

Maka, muatan ODOL oleh tukang krupuk itu bisa dipahami sebagai “seolah-olah” hasil negosiasi tinggi atas harga krupuk yang murah meriah dan biaya transportasi yang mahal. Jika tak ada negosiasi itu, maka bisnis tukang krupuk itu pun akan gulung tikar dari sejak awal. Nah, praktik negosiasi yang tinggi ini bertemu dengan kepentingan publik secara luas atas krupuk sebagai makanan pendamping keseharian bagi mereka. “No krupuk, No afdlol,” begitulah kira-kira kalimat yang bisa dibaca dari basis konsumsi warga masyarakat terhadap produk krupuk untuk keseharian makanan mereka.

Bertemunya dua kepentingan, yakni bisnis tukang krupuk dan konsumsi keseharian warga masyarakat, menjadi faktor utama di balik “pemakluman” banyak orang atas muatan krupuk yang ODOL pada kendaraan motor tukang krupuk di atas. Artinya, ada ruang yang memfasilitasi (enabling room) munculnya praktik “pemakluman” di atas. Karena itu, “pemakluman” ini muncul sebagai konsekuensi logis dari  adanya irisan kepentingan yang riil antara tukang krupuk sebagai produsen dan warga masyarakat sebagai konsumen. Irisan kepentingan inilah yang tidak meninggalkan ruang resistensi bagi warga masyarakat terhadap tukang krupuk bermotor ODOL di atas.

Semua itu menjadi bukti bahwa prinsip “mengabdilah pada kepentingan umum” akan selalu mengantarkan seseorang untuk menemukan jalan kemudahan hidupnya. Walau hidup yang dihadapi selalu penuh tantangan, kesulitan, dan bahkan risiko besar, akan selalu pula ada jalan pemudahan yang diberikan oleh sesama. Dalam kasus tukang krupuk yang bermotor ODOL di atas, tantangan dalam melangsungkan usaha ekonominya tentu sudah pasti dia hadapi. Harga krupuk tak seberapa. Jika tak melakukan praktik ODOL, ongkos produksi dan keuntungan jelas tak seimbang. Yang disebut pertama akan pasti jauh lebih besar daripada potensi keuntungan. Jika itu terjadi terus-menerus, tak akan mungkin dia bisa bertahan hidup. Apalagi meraih keuntungan dalam usaha ekonominya.

Tapi, karena ada kebutuhan riil yang dimiliki warga masyarakat atas konsumsi krupuk dalam keseharian mereka, maka praktik ODIOL dalam berkendara motor oleh tukang krupuk itu seakan-akan bisa dimaklumi oleh warga masyarakat. Bagaimana bentuk pemaklumannya? Beberapa di antaranya bisa ditemukan. Seperti tidak menghalangi jalannya kendaraan sang tukang krupuk itu. Atau menjaga jarak dari laju kendaraan motor tukang krupuk yang ODOL itu. Bentuk-bentuk praktik pemakluman ini dilakukan oleh warga masyarakat dengan melepaskan isu mengenai boleh-tidaknya berkendara ODOL di tengah keramaian jalanan.

Sebagai pelajaran kedua, jangan salah gunakan kepercayaan umum. Saat publik sudah memberi kepercayaan, gunakan secara bijak. Jangan sembarangan atasnya. Jangan pula pernah semena-mena atas kepercayaan yang telah diberikan oleh mereka. Belajarlah dari tukang krupuk berkendara motor ODOL di atas. Praktik pemakluman yang diberikan oleh warga masyarakat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas, adalah bagian dari perwujudan lanjutan atas amanah kepercayaan yang mereka berikan. Tukang krupuk berkendara motor ODOL di atas tak menyalahgunakan amanah kepercayaan itu sedikitpun.

Contoh penyalahgunaan yang mungkin timbul bisa diwujudkan oleh sejumlah kasus. Di antaranya berbentuk seperti ini: pengiriman barang dagangan krupuk yang tak kenal waktu. Seperti menjalankan pengiriman krupuk ke pelanggan, atau ke warung, rumah makan dan toko langganan di luar jam pagi sekali. Ku tak pernah menemukan ada tukang krupuk berkendara ODOL di tengah keramaian jalanan di siang hari. Aku juga tak pernah mendapati mereka melakukan praktik pengiriman krupuk itu di sore hari. Tentu, siang dan sore itu menandai jam-jam supersibuk jalanan. Dan, tukang krupuk berkendara ODOL tak pernah kutemukan di tengah keramaian jalanan di siang atau sore hari itu. 

Tentu, berangkatnya tukang krupuk berkendara ODOL untuk pendistribusian produk krupuknya ke pelanggan, atau ke warung, rumah makan dan toko langganan pagi hari sekali. Dan saat hari sudah siang, muatan kendaraan motor tukang krupuk itu tak lagi masuk kategori ODOL. Sebab, hampir semua sudah terdistribusi atau terkirim ke konsumen langganannya. Baik perseorangan atau pelaku bisnis UKM yang menjalankan usaha ekonomi warung, rumah makan dan toko dimaksud. Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada satu sisi. Namun pada sisi lainnya, praktik itu juga menandai bahwa tukang krupuk berkendara motor ODOL itu tak semena-mena menggunakan kepercayaan masyarakat dalam mendistribusikan produknya.       

Praktik baik tukang krupuk berkendara ODOL di atas adalah contoh kecil betapa amanah kepercayaan publik itu tak boleh digunakan semena-mena. Apalagi diselewengkan. Tentu itu tidak boleh. Dan tukang krupuk berkendara ODOL di atas telah memberi pelajaran penting bagaimana kepercayaan publik harus ditunaikan sebaik mungkin. Semena-semena berarti mengkhianati kepercayaan publik. Apalagi menyalahgunakan, akan pasti segera mematikan langkah dirinya. Dan praktik berkendara motor ODOL pun malah akan segera diteriaki oleh warga masyarakat. Akibat kesemena-menaan dan atau penyalahgunaan yang dilakukan.   

Menyalahgunakan kepercayaan adalah awal keburukan. Membuat publik tak lagi bisa percaya atas diri pelakunya. Atau minimal memaklumi kesulitannya. Bahkan, saat penyalahgunaan kepercayaan itu dilakukan berketerusan, praktik itu akan segera membuat langkah pelakunya tak bisa bertahan lama. Alih-alih, bahkan, bisa berhenti sama sekali. Sebab, publik seakan sudah merasa tercederai. Karena kepercayaan yang diberikan dinilai telah dinodai. Oleh praktik buruk penerimanya yang tak lagi mengindahkan prinsip amanah kepercayaan yang diberikan secara memadai. Atau bahkan meninggalkannya sama sekali.   

Prinsipnya, saat semua dalam kehendak baik, semesta seakan turut menjaga kehendak baik itu. Bahkan, semua lalu cenderung menjaga agar kehendak baik itu terfasilitasi. Memang pekerjaan teknis lanjutannya adalah melabuhkan kehendak baik itu agar terealisasi dengan baik pula. Karena itulah, tata kelola dibutuhkan. Minimal, agar kehendak baik bertemu dengan kehendak baik lainnya dari sesamanya. Jika sudah demikian, maka alam raya menjadi saksi dan bahkan turut menjaga kehendak baik itu. Semua itu baru akan terancam jika kehendak baik itu ternodai oleh praktik buruk satu-dua orang yang mungkin tak pernah terharapkan sebelumnya.