Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara/Sekretaris Komisi Etis Senat UIN Sunan Ampel Surabaya
Belakangan ini isu tentang ‘ijazah palsu’ Presiden RI ke-7 (2014-2024) begitu santer mewarnai semua media masa. Tidak hanya sekedar debat dilayar kaca maupun medsos, dan atau pun ‘demo terbatas’, tetapi juga sudah masuk dalam ranah hukum (peradilan). Bahkan komunitas tertentu secara berani, menyuarakan dan memakai jersey bertuliskan ‘Tim Pemburu Ijazah Palsu’. Perburuan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang nota bene kurang berpendidikan, tetapi juga oleh mereka yang telah memioliki gelar akademik tertunggi yaitu doktor, bahkan juga para profesor yang nota bene mereka pernah menjadi pimpinan pejabat negara dan cukup berpengaruh. Mereka ‘berasumsi’, kalau ijazah yang diperoleh dan juga tugas akhir (skripsi) Presiden RI 2014-2024 adalah ‘palsu’. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang benar bahwa ijazah dan/atau skripsi tersebut palsu? Padahal telah ada klarifikasi dari pihak UGM tentang keaslian ijazah yang bersangkutan. Tetapi rupanya pihak yang sudah terlanjur ‘kebakaran obsesi’ tersebut tak kunjung mundur, malah semakin on fire.
Agak cukup menggelitik? Karena jika mengikuti debat antara para pihak di channel ‘Aiman Wicaksono’, khususnya pada pihak yang meragukan keabsahan ijazah terdapat keraguan tentang kebenaran dugaan mereka sendiri, artinya ‘apakah ijazah itu benar-benar palsu ataupun tidak’. Mengapa? Karena mereka sendiri pada dasarnya belum tahu betul wujud asli dari ijazah yang diperdebatkan. Mereka hanya meganalisis dari unggahan ijazah yang diunggah seseorang. Kedua, ada pelanggaran etika kampus. Kampus secara etis tidak mungkin mengeluarkan sesuatu, semisal surat keterangan atau sejenisnya – apalagi ijazah seseorang untuk disebarluaskan. Tetapi mengapa ada orang yang mendapatkannya (jika memang itu benar-benar ijazah yang bersangkutan). Ketiga, pelanggaran terhadap UU ITE yang pada hakekatnya bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan teknologi informasi (hak atas data pribadi). Kita semua paham, bahwa ijazah adalah sesuatu yang privasi bagaimana sesorang bisa ‘mencuri dan meng-upload’ ijazah seseorang tanpa ijin pada yang bersangkutan. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap siapa saja yang yang mengakses dan mengupload terhadap hal-hal yang bersifat privasi.
Satu catatan hukum yang perlu diberikan penekanan adalah nota bene para pihak yang menuntut keabsahan ijazah tersebut adalah para pakar dan orang-orang hubat bahkan pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan. Tetapi yang menjadi pertanyaan ketika mereka menuduhkan hal itu atas alasan dasar teknologi dan ITE, serta keilmuan yang mereka miliki – dipihak lain mereka tidak menyadari jika telah melakukan pelanggaran etika kampus dan juga pelanggaran terhadap UU ITE itu sendiri yaitu membuka akses dokumen privasi seseorang tanpa minta ijin yang bersangkutan.
Ranah Pengadilan
Merasa sebagai pihak yang dirugikan dari serangkaian peristiwa terjadi mulai dari tahun 2023, dan sudah beberapa kali diuji atau masuk dalam peradilan dan juga sudah terdalilkan bahwa gugatan para pihak yang menyangsikan keabsahan ijazah kalah. Artinya tuduhan itu pun tidak dapat diterima – tetapi senyatanya masih saja ada pihak yang tidak merasa belum puas. Dan terbukti masih saja isu ‘ijazah palu’ terus bergulir.
Atas dasar itulah pihak yang ‘dituduh memalsukan ijazah dan/atau pemilik ijazah’ melaporkan para pihak tersebut ke pengadilan. Jika sudah demikian, mediasi pun rasanya sulit dilakukan. Lalu bagaimana gambaran berperkara selanjutnya di pengadilan?
Menurut asas dalam hukum acara perdata khususnya, dikenal istilah Actori In Cumbit Probatio atau “Actori Onus Probandi yang secara harfiah berarti siapa yang menggugat (mendakwakan) dialah yang wajib membuktikan, Asas ini dikenal dalam hukum acara perdata dan secara eksplisit diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut menetapkan bahwa yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa.
Meski demikian senyatanya, istilah tersebut juga dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Dalam hukum pidana, asas ini berarti penuntut umum (pihak yang menuntut terdakwa) berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas tuduhan yang diajukan. Asas ini menekankan bahwa tidak cukup hanya mendalilkan sesuatu, tetapi pihak yang mendalilkan harus memberikan bukti yang cukup untuk mendukung dalil tersebut. Meski dalam beberapa kasus khusus dalam dalam hukum pidana, ada asas pembalikan beban pembuktian. Asas ini memungkinkan beban pembuktian beralih dari pihak penuntut umum ke terdakwa (reversal of burden of proof).
Pembalikan beban pembuktian ini bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana korupsi, dengan membebani terdakwa untuk membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari hasil korupsi. Meskipun beban pembuktian terbalik diterapkan, penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya, terutama jika terdakwa tidak mampu membuktikan asal kekayaannya.
Penerapan pembuktian terbalik tetap harus memperhatikan asas praduga tak bersalah, sehingga terdakwa harus tetap diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Pembuktian terbalik ini sering diterapkan dalam tindak pidana korupsi, khususnya dalam kasus penerimaan gratifikasi yang nilainya di atas 10 juta rupiah. Begitu pun dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), pembuktian terbalik juga diterapkan, di mana terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan kasus TPPU bukan berasal dari hasil tindak pidana.
Tetapi dalam kasus pidana umum beban pembutktian tetap berada pada pihak yang menuntut (mendakwakan) dan ini gambaran yanga akan terjadi pada kasus ijazah palsu. Artinya, para pihak yang dilaporkan (pihak yang menyangsikan keabsahan ijazah) karena mendakwakan ijazah palsu harus membuktikannya. Beberapa hal yang akan membebani pihak yang menyangsikan keaslian ijazah adalah: Pertama, dari menana dan bagimana mereka mendapat (memproleh) bukti ijazah yanag sebenarnya nmerupakan data pribadi yang bersifat privasi. Kedua, atas dasar apa mereka mendalilkan jika ijazah tersebut palsu – karena yang memiliki kewenagan untuk menyatakan sesuatu dokumen itu asli atau palsu adalah pihak pengadilan sendiri. Ketiga, akibat dari itu semua para pihak tersebut dapat dijerat pasal berlapis, yaitu pelanggaran etika kampus, pelanggaran ITE, dan juga pelanggaran tindak pidana pencemaran nama baik secara terstruktur. Belum lagi jika ada aktor intelektual dibalik itu semua – hal ini tentunya semakin panjang ceritanya. wallahu a’lam bishawab.