
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
“Masih kerja di perusahaan Korea?” tanyaku. Tak ada pertanyaan awalan sebelumnya. Apalagi untuk kenalan. Karena kami sudah lama saling mengenal. Pertanyaan itu justru menandakan bahwa sudah lama sekali aku tak ketemu dengan lelaki yang kutanya itu. Dan, kata “Korea” di sini menunjuk ke negara Korea Selatan. Atas pertanyaanku itu, lelaki itu lalu menjawab pelan: “Sudah nggak lagi.” “Kenapa berhenti?” tanyaku dengan penuh penasaran. Rasa penasaranku ini sangat besar. Karena, bagi kebanyakan orang pada umumnya termasuk diriku, kerja di perusahaan asing di kota industri tentu bergaji lumayan mapan. Tentu saja untuk ukuran pekerja domestik. Apalagi tugas kerja lelaki itu adalah menjadi sopir dinas bagi bos perusahaan Korea itu.
Tentu pula, bagi lelaki itu, bekerja di perusahaan Korea memberi sejumlah pengalaman internasional yang baik. Karena itu, penasaranku itu membesar saat dia berhenti bekerja di situ. Karena itulah, pertanyaan “Kenapa berhenti?” seperti kusebut di atas sungguh mewakili rasa penasaranku yang besar itu. “Aneh saja jika berhenti sendiri, karena gaji kerja di perusahaan asing itu pasti lumayan besar,” begitu bisikku dalam hati begitu mendengar cerita lelaki itu berhenti kerja di perusahaan Korea itu. Kubisikkan kalimat itu ke dalam hatiku karena kutahu cari kerja lokalan dengan gaji yang semapan di perusahaan asing tentu saja lebih sulit.
“Saya diberhentikan,” jawab lelaki itu kontan. Duaaaarrrrrr!! Bak disambar petir saja rasanya. Kaget saja aku mendengar jawaban itu. Sejumlah pertanyaan pun langsung merangsek ke otakku. Kok bisa diberhentikan? Kenapa diberhentikan? Apa yang terjadi hingga harus diberhentikan? Apa yang membuatnya harus diberhentikan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kontan menggelayut. Aku pun makin penasaran saja. Di tengah orang sulit cari kerja, dia justru diberhentikan dari kerja. Ternyata ini jawaban lelaki itu: “Karena saya pernah telat jemput bos.” Begitu dia menjelaskan kenapa dia diberhentikan.
Wow! Lelaki itu diberhentikan kerja karena urusan disiplin waktu. Telat berarti tidak disiplin waktu. Begitu pesan dasarnya dari jawaban lelaki itu. Lebih detail dia bercerita begini: “Kala itu, jalanan lagi banjir. Karena kondisi itu, saya pun telat datang ke rumah bos Korea itu. Telatnya pun hanya sekitar hitungan menit saja. Saat ketemu itu, si bos sih santai-santai saja. Kirain nggak ada masalah. Eeeeh, petangnya, admin kantor telepon: “Anda besok tidak perlu masuk kantor lagi. Anda diberhentikan!’ Ya gimana lagi? Akhirnya saya berhenti kerja di perusahaan Korea itu.”
“Hanya telat dalam hitungan menit?” telisikku kepada lelaki itu. Dia pun menjawab dengan tegas: “Ya, hanya dua hingga lima menit telat. Tapi perusahaan nggak mau tahu. Karena si bos komplain ke perusahaan.” Tampaknya, komplain si bos membuat perusahaan memberhentikannya. Padahal, dalam cerita versinya, dia sendiri saat mendapati jalanan banjir sudah memberi tahu dan melaporkan ke staf kantor perusahaan itu tentang kondisi jalanan saat itu. Bahkan dia juga mengirimkan foto jalanan banjir bersama dengan laporan naratif atas kondisi jalanan kala itu.
Tapi, tetap saja, telat adalah telat. Mereka tidak menerima penjelasan yang lelaki itu berikan sebelumnya. Karena yang dihitung oleh si bos Korea itu adalah bahwa dia datang telat. Dan itu dianggap tidak profesional. Lelaki itu sebetulnya sangat sadar atas prinsip disiplin waktu dalam bekerja. Buktinya, dia pun secara sadar mengirimkan foto-foto kondisi jalanan saat berhadapan dengan banjir kala itu. Pengiriman foto-foto itu tentu diiringi dengan harapan bahwa perusahaan bisa mengerti kondisi dan situasi yang sedang dia hadapi. Namun, komplain si bos Korea itu membuat perusahaan mengambil keputusan untuk memberhentikannya. Karena semata-mata urusan disiplin waktu.
Cerita di atas keluar dalam perbincangan ringanku dengan lelaki itu siang itu. Selasa, 02 April 2025. Perbincangan itu terjadi saat aku bersama anak-istriku meninggalkan Bandara Soekarno-Hattta Jakarta. Kami dijemput oleh lelaki itu. Perbincangan ringan itu terjadi di dalam kendaraan tak lama dari waktu meninggalkan bandara itu. Menuju kampung halaman istriku. Maklum, hari itu masih hari ketiga lebaran. Kami sedang pulang kampung ke keluarga istri. Mudik, istilah akrabnya. Dan perbincangan itu sebetulnya untuk membicarakan kabar ringan-ringan. Maklum lama tak ketemu.
Tapi, kalimat yang dia sampaikan “Sudah nggak lagi” kerja di perusahaan Korea membuat bincang ringan itu jadi agak serius. Karena cerita itu berdasarkan pengalaman langsung. Dialami langsung oleh lelaki itu. Saat bekerja di perusahaan Korea. Tentu karena itu, ajaran tentang disiplin waktu, bagi lelaki itu, tak sekadar hanya dibincangkan. Atau dinasihatkan oleh orang tua kepadanya. Alih-alih, ajaran disiplin waktu itu telah mewujud dalam bentuk praktik langsung. Yakni, praktik yang ada dalam situasi kerja yang dia hadapi bersama pemilik pekerjaan yang berasal dari figur luar negeri. Dengan demikian, disiplin waktu telah menjadi praktik hidup. Khususnya dalam kaitannya dengan kerja.
Dua hal yang membuat perbincangan soal itu kala itu sangat menarik diulas. Pertama, memaknai ukuran profesionalisme berdasarkan pengalaman langsung. Yakni, pengalaman yang dihadapi dalam situasi kerja keseharian. Kedua, pengalaman profesionalisme itu dialami saat bekerja bersama orang dari latar belakang kultur dan peradaban yang berbeda. Yakni, figur dari Korea. Karena itu, apa yang didapatkan dari pengalaman bekerja di perusahaan milik bos Korea itu memberikan makna yang cukup mendalam. Sebab, disiplin waktu telah menjadi nilai dan praktik kerja dalam kesehariannya sebagai pekerja dari perusahaan Korea yang beroperasi di kotanya.
Iya ya…, secara kolektif, orang Korea terkenal sangat profesional. Bos perusahaan Korea itu hanya sebagai representatif kecilnya saja. Itu pelajaran hidup yang bisa diasup dari cerita di atas. Mental kerja orang Korea menunjukkan ukuran profesional yang dipraktikkan. Ukuran konkret dari kerja profesional itu adalah disiplin waktu. Makna disiplin ini adalah, datang sebelum waktu yang telah menjadi kesepakatan. Datang sebelum acara dimulai. Juga, tidak telat masuk kerja. Karena itu, telat hanya berarti tidak disiplin waktu. Telat hanya bermakna kehilangan kedisiplinan. Dan praktik itu dianggap menabrak profesionalisme.
Itu semua karena, ukuran kerja profesional ala bos Korea itu adalah disiplin waktu. Dan, ukuran disiplinnya betul-betul tak mengenal jam telat. Apalagi molor. Bahasa lainnya, jam karet. Maka, datang sebelum waktu janjian yang disepakati atau datang sebelum acara dimulai adalah bagian dari ekspresi disiplin waktu. Hal yang sama juga terjadi. Pulang tak boleh lebih awal dari jam pulang kantor, karena hal itu adalah juga wujud dari disiplin waktu. Di sinilah letak masalah yang dihadapi oleh lelaki di atas. Telat hanya dalam hitung menit bisa berakibat fatal. Karena, praktik itu menabrak kebiasaan kerja disiplin waktu oleh sang bos Korea itu. Dan perihal ini tidak bisa diperdebatkan. Termasuk disayangkan.
Pengalaman langsung nan konkret soal disiplin waktu dalam kerja di atas menarik untuk dijadikan sebagai pelajaran hidup. Sebab, lagi-lagi, lelaki itu mengalaminya secara langsung. Dalam kesehariannya bekerja di perusahaan Korea. Pertanyaannya, mengapa mengalami langsung itu penting bagi lahirnya sebuah pelajaran hidup? Rasanya untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu merujuk konsep experiential learning. Belajar dengan cara mengalami sendiri. Konsep experiential learning ini penting dipinjam untuk membahas pengalaman pelaksanaan disiplin waktu dalam situasi kerja keseharian.
Untuk memudahkan pemahaman, konsep experiential learning perlu diterjemahkan ke dalam rumusan yang aplikabel. Konkretnya sesederhana begini: belajar dengan cara mengalami sendiri akan jauh lebih efektif dibanding belajar dengan cara membaca atas pengalaman orang lain. Karena di sana akan ada pengalaman langsung. Di sana akan ada makna mendalam yang segera bisa diserap. Di sana akan muncul pelajaran hidup langsung yang segera bisa diasup. Pelajarannya didapatkan, dan maknanya pun sangat mendalam bagi perubahan kesadaran hidup sendiri ke arah yang lebih baik.
Pemaknaan mendalam dan perubahan kesadaran hidup ke arah yang lebih baik di atas sangat penting bagi perbaikan kualitas hidup. Termasuk dalam kaitannya dengan kinerja. Sebab, profesionalisme lahir dari perbaikan tiga domain penting: pengetahuan (knowledge), keterampilan atau kecakapan (skill) dan perilaku (behaviour). Pengetahuan didapatkan secara memadai melalui pemaknaan yang mendalam atas apa yang dialami. Pengalaman langsung akan membuka ruang yang lebar bagi lahirnya keterampilan dan kecakapan hidup. Saat sudah melembaga dalam diri, maka lahirnya perilaku yang baik adalah ujung dari proses panjang yang dimulai dari perbaikan pengetahuan dan kesadaran hidup di atas. Jika semua rangkaian ini berlangsung baik, maka kinerja profesional adalah buah manisnya.
Mengapa belajar dengan cara mengalami sendiri secara partikular di atas penting? Konsep experiential learning punya rumus dengan tiga pasal berikut. Pasal satu: tell me, and I may forget. Ceramahi aku, dan aku bisa jadi lupa. Pasal dua berbunyi: show me, and I may remember. Pertunjukkan kepadaku, dan aku bisa jadi ingat. Dan pasal ketiga berbunyi begini: involve me, and I may learn. Libatkan aku, dan aku bisa jadi belajar. Nah, pasal ketiga inilah yang memberikan petunjuk betapa pentingnya mengalami sendiri. Keterlibatan langsung pada pengalaman itu memberikan pengetahuan dan kesadaran langsung atas perihal tertentu yang sedang dialami itu. Di titik inilah, belajar dimulai dan berlangsung.
Lebih-lebih juga, mendapati pengalaman langsung dari bangsa yang berbeda, seperti yang dialami lelaki di atas, memiliki makna penting tersendiri. Sebab, perbedaan pasti mengandung kekhasan. Semakin menyolok perbedaan, semakin besar peluang munculnya kekhasan itu. Itu makna mendasar sekali. Tapi, siapa yang berhasil dengan cepat melakukan engagement atau pertautan secara dekat dengan perbedaan itu, dia akan memenangi tantangan global. Tentu juga sebaliknya. Siapa yang gagal melakukan engagement itu, tak akan bisa memaknai perbedaan beserta nilai-nilai yang dikandung oleh perbedaan itu. Dan, itu bisa menjadi awal kegagalan untuk memenangi tantangan global dimaksud.
Karena itu, mendapati pengalaman langsung dari individu yang berasal dari kultur dan atau peradaban yang berbeda pasti akan mengantarkan pelakunya untuk bisa mengasup nilai baru yang berbeda itu. Sebab, seseorang bisa saja akan mulai tersadar saat ada masukan luar (external inputs). Mengapa begitu? Karena pemahaman dan juga praktik hidup yang berkembang dalam lingkungan terdekatnya langsung di-challenge atau mendapatkan tantangan dari kultur dan atau peradaban lain yang berbeda. Nah, proses bekerjanya challenge ini memberi dampak yang lebih cepat nan konkret pada perubahan nilai dan praktik hidup seorang individu.
Lalu, apa pelajaran hidup yang bisa dipetik dari pengalaman langsung atas eksperimentasi disiplin waktu di atas? Ada dua pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, disiplin waktu adalah komponen penting dari profesionalisme. Prinsip ini semakin menguat dalam perkembangan terkini saat globalisasi memungkinkan terjadinya percepatan transfer dan pergerakan profesionalisme ke dalam tata nilai dan perilaku kerja. Globalisasi yang mengikat seluas-luasnya individu di seluruh kawasan di dunia ke dalam satu ikatan pertalian hidup yang satu dan homogen semakin membuka ruang bagi terjadinya pertemuan nilai dan praktik profesionalisme itu.
Kisah lelaki dan sang bos perusahaan Korea di atas memberi bukti konkret atas semua anggitan di atas. Betapa pergerakan orang kini sudah mengglobal. Bisa keluar dan masuk dari satu negara ke negara lain. Kepentingan utama di antaranya adalah ekonomi. Maka, tumbuhnya perusahaan multinasional di berbagai negara di dunia seakan menjadi fenomena sosial ekonomi yang tak terpisahkan dari perkembangan terkini dunia. Mobilitas sumber daya manusia mengikuti pertumbuhan usaha bisnis dan ekonomi dari perusahaan dan pelaku usaha multinasional.
Sebagai konsekuensi logisnya, karena itu, prinsip dan praktik disiplin waktu sebagai salah satu prinsip hidup dan nilai kerja telah menjadi tuntutan profesionalisme. Prinsip dan praktik itu mengikat seluas-luasnya individu di manapun berada ke dalamnya. Karena itu, disiplin waktu semakin terasa sebagai tuntutan yang besar dalam kerja profesional. Maka, setiap kita sudah harus menjadikan disiplin waktu sebagai bagian penting dari nilai dan sekaligus indikator profesionalisme yang harus ditunaikan.
Kedua, jangan sepelekan prinsip disiplin waktu dalam kerja profesional. Sebab, makin terbukanya ruang publik, tuntutan disiplin waktu akan semakin tinggi. Dulu, ruang publik tertentu bisa jadi didominasi oleh kelompok individu tertentu. Tapi, kini ruang publik itu sudah makin terbuka bagi individu atau kelompok individu mana saja untuk mengisi dan memainkannya. Nah, saat ruang publik sudah seterbuka itu, maka sudah otomatis akan muncul kebutuhan yang menjadi irisan kepentingan lintas individu dan atau kelompok individu itu. Kebutuhan dimaksud, sebagai salah satu bentuk konkretnya, adalah disiplin waktu. Karena, disiplin waktu itu yang akan mempertemukan profesionalisme mereka dalam pencapaian kinerja diri.
Lebih-lebih, semakin kuatnya globalisasi yang memungkinkan mobilitas kerja bergerak cepat nan luas semakin membuat tuntutan terhadap disiplin waktu membesar. Termasuk bagian dari mobilitas kerja ini adalah mobilitas individu pekerja. Pengalaman lelaki yang akhirnya diberhentikan dari perusahaan Korea di atas menjelaskan bahwa mobilitas kerja yang mengglobal di atas membuat tuntutan disiplin waktu menjadi komponen yang makin penting dan bahkan utama dalam kerja profesional. Individu-individu yang berbeda latar belakang budaya dan negara asal diikat oleh satu nilai penting dalam bekerja. Yakni, disiplin waktu.
Karena itu, disiplin waktu sekarang sudah bukan lagi dominasi kelompok individu tertentu. Melainkan sudah menjadi milik dan sekaligus indikator kinerja lintas individu, kelompok dan asal kawasan atau negara. Kinerja kini sudah bisa diukur dari penunaian atas prinsip disiplin waktu itu. Semakin tinggi disiplin waktu, semakin mudah pula pengukuran atas tingginya kinerja itu. Begitu pula sebaliknya. Semakin lemah disiplin waktu, semakin mudah pula didapatkan simpulan tentang lemahnya kinerja. Prinsip yang demikian ini kini menjadi komponen pembentuk profesionalisme. Di jenis pekerjaan apapun. Dan berlaku di kelompok sosial manapun.
Merujuk kepada uraian di atas, maka disiplin waktu sudah semestinya menjadi lelaku kita. Bukankah disiplin waktu menjadi ajaran universal? Bukankah semua peradaban di dunia menekankan disiplin waktu? Itu semua terlihat dari prinsip-prinsip dasar hidup dan kehidupan mereka. Salah satu di antaranya dirumuskan ke dalam mutiara hikmah yang berlaku di masing-masingnya. Tengoklah peradaban Barat. Ada Mutiara hikmah Time is money (waktu adalah uang). Itu salah satu contohnya. Di masyarakat Arab juga dikenal al-waqtu ka al-sayf, in lam taqta’hu yaqtha’ka (waktu ibarat pedang; jika engkau tak memotongnya, maka ia akan memotongmu).
Tak hanya mutiara hikmah yang terambil dari kehidupan sosial yang menjadi rujukan. Dalam ajaran agama pun juga demikian. Di Islam, sebagai contoh konkret, banyak konsep waktu yang digunakan sebagai pembuka surat dan ayat dalam al-Qur’an sebagai kitab suci utama. Ayat Wa al-’ashr sebagai ayat pembuka dari surat dengan nama yang sama, yakni al-’ashr, adalah contoh kecil namun sangat popular dalam ingatan pribadi Muslim. Ayat dan surat itu menekankan soal disiplin waktu. Bahkan, penekanan itu dilakukan dengan menjadikannya sebagai materi sumpah. Karena itu, menunggu apa lagi kita atas praktik berdisiplin waktu? Jangan tunda!