Ahmad Hanif Asyhar dan ChatGPT*
Perkembangan Generative Artificial Intelligence (GenAI) telah menjadi titik balik revolusioner dalam dunia pendidikan global, termasuk di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan mesin menghasilkan teks, gambar, suara, hingga kode pemrograman secara otonom berdasarkan masukan pengguna. Beberapa platform GenAI yang populer di antaranya ChatGPT dari OpenAI, Gemini dari Google, Copilot dari Microsoft, dan Grok dari xAI milik Elon Musk. ChatGPT menjadi pionir dalam mendemokratisasi penggunaan AI dengan kemampuannya menjawab pertanyaan kompleks hingga membantu pembuatan dokumen akademik. Gemini fokus pada integrasi multimodal, Copilot merambah ke dunia pemrograman, dan Grok hadir sebagai AI yang berorientasi pada narasi berbasis data real-time. Dalam waktu singkat, kehadiran teknologi ini mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berpikir. Maka, menjadi urgen bagi Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) untuk memahami sekaligus merespons kehadiran GenAI ini secara arif.
Merespons geliat perkembangan tersebut, pada Oktober 2024, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek (kini disebut Kendiktisaintek) meluncurkan sebuah buku penting berjudul “Panduan Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi”. Buku tersebut menyampaikan bahwa penggunaan GenAI dalam konteks pendidikan tidak bisa dihindari, tetapi perlu diatur secara bijaksana. Panduan ini menekankan tiga aspek utama: (1) potensi GenAI sebagai alat bantu belajar, (2) ancaman terhadap orisinalitas akademik, dan (3) pentingnya literasi digital bagi dosen dan mahasiswa. Buku tersebut menjadi dokumen awal yang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan akademik, terutama di lingkungan PTKI yang memiliki karakteristik pembelajaran berbasis nilai dan integritas keilmuan Islam.
Namun, adopsi GenAI dalam kampus tidak tanpa risiko. Studi dalam artikel jurnal ini menunjukkan bahwa penggunaan GenAI secara tidak terkontrol dapat memicu degradasi etika akademik, mendorong plagiarisme, serta melemahkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Dosen pun menghadapi dilema antara menerima kenyataan bahwa mahasiswa menggunakan GenAI atau melawannya dengan sistem pelarangan yang rentan diakali. Di sisi lain, kemampuan GenAI yang bisa menghasilkan esai, ringkasan, bahkan skripsi utuh hanya dalam hitungan detik menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Tanpa pedoman yang jelas, GenAI bisa menjadi senjata makan tuan dalam dunia pendidikan.
Maka, kurikulum PTKI harus mulai dirancang secara adaptif dan responsif terhadap era GenAI. Kurikulum yang kaku dan tidak menyertakan perkembangan teknologi hanya akan membuat kampus tertinggal. GenAI adalah fenomena jangka panjang, bukan tren sesaat. Oleh sebab itu, perlu ada integrasi teknologi ini ke dalam mata kuliah, baik dalam konteks penggunaan sebagai alat bantu belajar maupun sebagai bahan kajian etis, epistemologis, dan teologis. Mahasiswa perlu dibekali pemahaman bukan hanya soal “cara memakai” AI, tapi juga “kapan dan bagaimana menggunakan secara benar”. Di sinilah letak pentingnya kurikulum PTKI untuk menjadi lebih kontekstual dan bersifat forward-looking.
Untuk menjawab tantangan tersebut, PTKI perlu segera menyusun regulasi atau aturan main terkait penggunaan GenAI dalam pembelajaran. Perlu ada kejelasan mana yang do dan mana yang don’t. Misalnya, bolehkah mahasiswa menggunakan GenAI untuk mencari referensi? Bagaimana jika digunakan untuk menulis abstrak skripsi? Apakah diperbolehkan membuat kerangka artikel ilmiah menggunakan AI? Semua pertanyaan ini membutuhkan regulasi tegas dan proporsional. Selain itu, GenAI perlu diinsersikan ke dalam mata kuliah seperti Metodologi Penulisan Ilmiah, Skripsi, atau Publikasi Ilmiah. Dengan begitu, dosen tidak hanya melarang atau membiarkan, tapi mendampingi dan membimbing mahasiswa dalam menggunakan AI secara bertanggung jawab. Pendekatan ini akan membentuk karakter mahasiswa yang melek teknologi dan tetap menjunjung integritas ilmiah.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa GenAI adalah tantangan sekaligus peluang besar bagi kurikulum PTKI. Tantangan ini tidak bisa diabaikan, namun juga tidak bisa direspons secara reaktif. Diperlukan keberanian untuk mereformasi kurikulum, membangun regulasi, dan menciptakan ekosistem pembelajaran yang adil dan relevan. Generasi mahasiswa saat ini lahir dan tumbuh di era digital yang tidak lagi mengenal batas antara dunia nyata dan dunia virtual. Maka sudah seharusnya kita mengajarkan mereka dengan pendekatan zaman ini. Dalam hal ini, nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sangat relevan untuk menjadi landasan sikap:
“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan di zamanmu.”
Kurikulum PTKI harus berani berevolusi agar tetap relevan. Bukan untuk menanggalkan nilai-nilai keislaman, tetapi untuk menyinergikan nilai tersebut dengan tuntutan zaman. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan Islam bukanlah pada seberapa banyak yang dihafal, melainkan seberapa mampu ia membimbing manusia untuk hidup secara bermakna, kontekstual, dan bertanggung jawab di zamannya.
*Kolom ini dibuat dengan menggunakan ChatGPT dengan prompt sebagai berikuthttps://chatgpt.com/share/683a71bb-1d58-8013-91cc-e6bfad75136e