Diskusi sunah dan bid’ah merupakan problem klasik. Kasus dasar sunah dan bid’ah adalah ketika sahabat Umar R.A. mengusulkan kepada Abu Bakar R.A untuk mengkodifikasi al-Qur’an. Kala itu, Abu Bakar merasa keberatan dan tidak berani menyetujui dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Hingga kemudian Umar menjelaskan maslahah yang akan diperoleh umat Islam melalui langkah mengkodifikasi Al-Qur’an menjadi satu mushaf.
Dari kisah ini kemudian para cendikiawan muslim belajar untuk dapat mengidentifikasi sunah dan bid’ah. Salah kitab berjudul Risalah Ahlus Sunah wal Jamaah karya K.H. Hasyim Asy’ari yang menjadi salah satu kajian pokok di Ma’had Al Jamiah UIN Sunan Ampel Surabaya dapat dijadikan rujukan dalam mengidentifikasi bid’ah.
Dr. H. Muhammad Ghufron, Lc., M.HI selaku pemateri kajian kali ini (26/09) menjelaskan, bahwa terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bid’ah/sunah.
Pertama, Harus meneliti perkara yang baru. Jika ditinjau perkara baru tersebut terdapat landasan syariat dan landasan Usul maka perkara tersebut bukan bid’ah.
Kedua, Mempertimbangkan pendapat ulama terdahulu. Dengan catatan tidak bertentangan dalam segala aspeknya dengan dalil asal. Jika perkara baru diperselisihkan antara yg usul dan furu’ maka kembali pada yang usul. Dalam Hal ini Dosen Fakultas Syariah dan Hukum tersebut juga mencontohkan Sunan Kali Jaga yang seringkali menerapkan perkara baru dalam ruang dakwah atau dalam istilah popularnya disebut akulturasi budaya dalam ruang dakwah Islam.
Ketiga, Klarifikasi hukum. Alumnus Al-Azhar tersebut menjelaskan, pada setiap hal baru harus diklarifikasi dengan hukum. Jika terdapat landasan hukumnya maka bukanlah bid’ah. Lebih lanjut ust. Ghufron mencontohkan kegiatan Ospek/PBAK yang menjadi kegiatan awal semester bagi MaBa. Secara historis PBAK/Ospek tidak dijumpai pada masa Nabi, Sahabat atau Tabiin. Tetapi karena Ospek/PBAK merupakan langkah sosialisasi pendidikan maka hal baru tersebut bukanlah bid’ah, karena sosialisasi merupakan perbuatan baik (Salih).