Moh. Fathoni Hakim

Presiden Prabowo Subianto berencana mengevakuasi masyarakat Gaza ke Indonesia. Para korban perang ini akan dievakuasi ke Indonesia untuk menjalani perawatan medis (medical evacuation). Pada gelombang pertama, Indonesia siap menjemput 1.000 warga Gaza untuk dirawat di Indonesia. Terdapat syarat yang diminta Prabowo dalam evakuasi tersebut, yakni evakuasi harus disetujui semua pihak, baik dari pemerintah Palestina maupun dari kelompok negara di Timur Tengah, serta warga Gaza tidak boleh menetap tinggal di Indonesia, jika sudah pulih mereka harus kembali ke Palestina (Kompas, 11/04/2025). Dalam keterangan tertulis, Menteri Luar Negeri RI menambahkan bahwa medical evacuation juga dilakukan oleh beberapa negara di Timur Tengah, seperti Mesir, Turki, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA). Proses evakuasi ini bukanlah relokasi warga Gaza seperti yang diinginkan oleh Israel dan Amerika Serikat.
Ambisi Israel untuk mengosongkan Gaza sejalan dengan rencana Trump untuk membangun kembali Gaza yang porak poranda akibat perang. Trump bersama Netanyahu melakukan Press Conference di Gedung Putih pada 4 Februari 2025 untuk mengungkapkan rencana “take over” dan “own” Jalur Gaza. Trump akan menjadikan Gaza yang terletak di pesisir laut dengan konsep Riviera di Italia. Pembangunan resort dan perumahan mewah di sepanjang pantai Gaza, yang dilengkapi dengan casino dan sirkuit kelas dunia adalah visi Trump dalam penataan Gaza kedepan. Ambisi Trump ini juga divisualisasikan melalui video music yang dibuat oleh AI dengan menggambarkan pembangunan Gaza yang futuristik dan gemerlap setelah mengusir paksa 2,2 juta penduduk Gaza. Video Klip surealis ini menampilkan patung Trump berwarna emas, penari perut berjanggut, sementara Trump sendiri tengah menari bersantai dengan Netanyahu. Semuanya diiringi lagu ceria seolah merayakan transformasi kemenangan atas Gaza (American Jewish Committee, March 5, 2025). Dengan fenomena ini, menjadi wajar bagi Menlu RI untuk menegaskan bahwa rencana pemerintah Indonesia untuk merelokasi warga Gaza bukan seperti yang diinginkan oleh Israel dan Amerika Serikat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa jaminan bahwa tidak ada ketersambungan dan benang merah atas dua fenomena diatas. Israel dan Amerika Serikat adalah kekuatan besar dunia, mereka bisa melakukan apa saja meskipun itu bertabrakan dengan norma global. Serangan pasukan Israel ke tenda-tenda pengungsi di Gaza dalam setahun terakhir ini terbukti melanggar hukum perang (International Humanitarian Law). Israel melanggar aturan perang dalam prinsip pembedaan dan prinsip proporsional. Hal ini juga disuarakan oleh Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, bahwa Israel melakukan genosida di Palestina. Apakah kemudian Israel diadili, justru Israel seolah tanpa dosa semakin intens dalam melakukan serangan ke tenda-tenda pengungsi di Gaza. Seolah tidak puas jika melihat muslim Palestina masih tinggal disana.
Kedua, penulis khawatir rencana RI dalam medical evacuation warga Gaza akan ditunggangi oleh kepentingan Israel dan Amerika Serikat. Sebenarnya sejak tahun kemarin, Prabowo saat menjabat Menteri Pertahanan RI sudah punya rencana untuk melakukan evakuasi warga Gaza ke Indonesia, namun kenapa rencana tersebut tidak segera dieksekusi?. Padahal Malaysia, sudah melakukan medical evacuation dengan membawa 127 warga Gaza ke Malaysia sejak Agustus 2024 tahun kemarin. Justru di tahun 2025, tepatnya bulan April, yang bersamaan dengan kebijakan Trump tentang reciprocal tariff, Indonesia kembali mengungkapkan rencana evakuasi warga Gaza. Tidak salah jika publik menduga bahwa medical evacuation yang direncanakan Indonesia bisa sebagai “alat tawar” untuk bernegosiasi dengan Trump supaya menurunkan tarif impor produk unggulan Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. Perang Dagang antara AS dan China rupanya berdampak besar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan Trump dalam tarif impor seolah mengajak seluruh dunia untuk terlibat dalam pertarungan global ini. Paska kebijakan tarif impor Trump, nilai tukar rupiah atas dollar jatuh di level terendah. Tidak ada pilihan bagi Indonesia untuk memilih jalan “negosiasi” dengan AS, alih-alih melakukan perlawanan seperti yang dilakukan China kepada AS.
Ketiga, mengukur dari aspek kekuatan finansial RI. Biaya yang akan dikeluarkan pemerintah tentu sangat besar dalam proses medical evacuation ini. Sementara disisi lain, kebijakan pemerintah sekarang sedang menggaungkan efisiensi anggaran di berbagai bidang. Belum juga efek sosial dan budaya yang berbeda dengan kultur kita, tentu akan banyak potensi permasalahan di dalamnya.
Keempat, hendaknya kita belajar dari sejarah. Peristiwa Nakba 1948 menunjukkan pengusiran warga Palestina oleh Israel, baik secara paksa maupun sukarela. Lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari rumah dan tanah mereka saat itu. Dalam konteks sekarang, Israel banyak mengeluarkan perintah evakuasi (evacuation order) ditengah serangan yang membabi buta kepada muslim Palestina. Jika Indonesia mengambil bagian dari evacuation order Israel tersebut, maka terdapat kekhawatiran bahwa Indonesia bukan sebagai pelindung muslim Palestina yang mengedepankan two-state solution, namun justru sebagai fasilitator crime against humanity.
Maka pilihan rasional yang bisa dilakukan Indonesia adalah membantu muslim Palestina dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan kesana, tidak dengan membawa keluar warga Gaza dari Palestina, sambil terus menggaungkan perdamaian dan mengutuk kejahatan kemanusiaan melalui forum-forum internasional. Niat baik harus diiringi dengan kajian, cara dan strategi yang baik, supaya hasilnya juga baik.
Penulis adalah Dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP UINSA, telusuri karya lainnya klik disini