يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا لِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْۚ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ
وَقَلْبِهٖ وَاَنَّهٗٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan Rasul (Nabi Muhammad) jika dia menyerumu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu. Ketahuilah, sungguh Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sungguh kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (QS. Al Anfal [8]: 24)
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memerintah kita untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Ia juga melarang kita berpura-pura tuli ketika mendengar perintah-Nya. Sebagai kelanjutan, ayat ini memerintah kita untuk merespon dengan cepat perintah Allah, tanpa menunda sedikit pun. Sebab, perintah Allah itulah yang “menghidupkan kamu.”
Hal-hal yang menghidupkan kita bisa diwujudkan dalam banyak tindakan. Pertama, menjadi pejuang atau pegiat syiar Islam. Hanya dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, ajaran Islam akan tetap hidup, dan itulah yang menghidupkan keharuman nama kita, meskipun kita telah berada di alam baka. Kedua, memberi sumbangsih berupa materi atau non-materi untuk menolong orang yang membutuhkannya atau menambah kebahagiaan hidup orang. Ada orang yang hidup seratus tahun, tapi antara hidup dan matinya sama sekali tidak memengaruhi lingkungannya. Ia hidup, tapi sebenarnya telah mati.
Ketiga, mati dalam perjuangan Islam. Orang yang mati syahid akan hidup selamanya, meskipun jasad telah hancur bercampur tanah. Ia dihidupkan sepanjang masa dengan fasilitas yang istimewa, sebab ia telah mengurbankan hidupnya di dunia demi kehidupan yang sejati di akhirat. Allah berfirman,
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup (di alam lain) dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya (dengan mendapatkan berbagai kenikmatan di sisi Allah SWT) (QS. Ali Imran [3]: 169)
Keempat, sedekah jariyah, yaitu sedekah yang bisa dinikmati manusia secara individu atau masyarakat, meskipun ia telah wafat. Inilah sedekah yang terus menerus mengalirkan pahala untuknya, meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Misalnya, menulis buku yang menjadi rujukan orang, menghasilkan karya yang menambah kesejahteraan manusia, menyekolahkan anak-anak miskin, membangun masjid atau sekolah atau jalan raya, dan sebagainya. Dalam Al Qur’an disebutkan, Allah SWT Maha Kuasa menghidupkan orang yang sudah mati, juga menghidupkan keharuman nama orang yang sudah mati, atau menghidupkan hati yang telah mati.
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ
“Sungguh Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami (pulalah) yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauhulmahfudh). (QS. Yasin [36]: 12).
Kelima, menambah ilmu pengetahuan. Sebab, orang bodoh sejatinya telah mati sebelum kamatian yang sesungguhnya. Dr. ‘Aidh Al Qarni mengatakan, “Kebodohan adalah tanda kematian jiwa, kematian kehidupan, dan kebusukan umur manusia.” Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan, “Andaikan kebodohan dan kemiskinan itu musuh yang tampak, maka aku akan menggempurnya sampai habis.”
Keenam, mengisi otak dan hati dengan cahaya Allah, sehingga ia tumbuh menjadi muslim yang semakin sempurna keimanan dan akhlaknya. Salah satu tanda kehidupan adalah pertumbuhan dan perubahan. Orang yang indera dan hatinya mati disamakan dengan kehidupan binatang, bahkan lebih buruk daripada binatang.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ
وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah (QS. Al A’raf [7]: 179).
Mengapa Allah menyuruh merespon perintah Allah dengan cepat? Sebab, hati manusia berubah-ubah sangat cepat, dan banyak keinginan yang baik gagal terlaksana, bahkan kadangkala berbelok kepada dosa akibat menunda pelaksanaannya. Itulah kekuasaan dan pengetahuan Allah tentang gerak hati manusia dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sesudahnya.
Sa’id bin Mu’la, r.a pernah dipanggil Nabi, tapi tidak segera menghadapnya, sebab ia sedang shalat. Ketika menghadap, Nabi SAW menegurnya, “Tidakkah Allah sudah memerintah untuk merespon panggilan Allah dan Rasul-Nya (QS. Al Anfal ayat 24)?”
Mukmin yang hidup hatinya ditandai dengan kesadaran akan pengawasan Allah dan proses pengadilan sesudah kematian terhadap apa pun yang diucapkan atau dilakukan. Oleh karenanya, ia sangat berhati-hati dalam berkata dan bertindak. Itulah yang membedakan antara orang mukmin dan orang kafir, dan antara mukin dan hewan. Sekali lagi, hidupkan hidupmu, dan jangan mati sebelum kematianmu. ( Surabaya, 29-10-2023)
Sumber: (1) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 4, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 495-504, (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 9, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 280-281.