Articles

Dunia ini, jika diibaratkan hamparan yang luas, mirip sekali dengan sebuah ladang di mana benih-benih dari segala jenis tumbuhan ditabur dengan bebasnya. Ada yang tumbuh menjadi pohon besar nan kokoh, ada pula yang hanya menjelma rumput liar. Di ladang yang sama, tak ada satu pohon pun yang tahu apakah ia tumbuh dari biji yang dijatuhkan oleh burung, dibawa angin, atau bahkan karena kesepak  kaki seorang pejalan. Begitu juga globalisasi spiritual di tengah era digital ini, tak ubahnya ladang subur tempat bertemunya berbagai benih kepercayaan, gagasan, dan doa-doa yang terlepas dari mulut umat manusia.

Globalisasi spiritual bukanlah hasil rancangan manusia. Ia tak ubahnya sebuah sungai yang mengalir, menyusuri lembah-lembah dan gunung-gunung, menembus batu-batu cadas, mengaliri sawah-sawah, dan bahkan kadang merusak apapun yang dilewatinya. Namun, sungai ini tidak bisa dibendung oleh batasan-batasan administrasi, keyakinan dogmatis, atau garis-garis imajiner yang kita sebut negara atau pseudo-kuasa lainnya. Spiritualitas menjelma sifat air yang mengalir tanpa mengenal sekat; ia mencari muaranya sendiri. Dalam dunia yang terlanjur terbungkus kabel-kabel dan sinyal satelit, globalisasi spiritual menemukan jalannya untuk “dengan perasaannya” menyentuh lebih banyak jiwa.

Hari ini, seorang sufi Maroko bisa mendengarkan khotbah seorang pendeta di New York. Seorang biksu Tibet dapat berdialog dengan seorang pemuda Muslim di Yogyakarta. Apa yang dulu terhalang oleh samudra luas kini dipersempit oleh jaringan digital, apa yang dulu terbatas pada ruang-ruang fisik kini terbuka lebar dalam ruang virtual. Dunia maya menjadi panggung raksasa tempat semua bisa berdiri, bersuara, dan mengembara makna hidup yang lebih dalam. Platform-platform digital menjadi seperti pasar malam tempat beragam warna-warni agama dan spiritualitas saling bersanding tanpa perlu mengklaim satu sama lain. Di sini, Tuhan tak lagi hadir dalam bangunan-bangunan besar dan megah saja, tetapi juga di dalam kode-kode program, algoritma, dan server-server yang bergetar menyimpan doa-doa manusia modern.

Dialog antar agama semacam benih yang selalu hidup dalam ketegangan, namun juga dalam kerinduan untuk menemukan kedamaian bersama. Dalam arus globalisasi spiritual, dialog menjadi bukan sekadar pertukaran kata-kata atau pemikiran. Ia laksana percumbuan yang ikhlas, perjumpaan manusia dengan manusia yang berbeda tapi sama-sama sedang mencari Tuhan dalam ragam bahasanya masing-masing. Seperti sebuah perkumpulan wayang kulit yang saling berbagi lakon dan tokoh. Kita bisa melihat bagaimana Arjuna bisa bertukar bicara dengan Samson, atau bagaimana Siddharta Gautama berbincang dengan Nabi Khidir. Pertemuan semacam ini melahirkan kesadaran bahwa mungkin saja, jalan yang kita tempuh berbeda, namun (semua akan bermuara pada) lautan yang kita tuju tetap satu.

Saat teknologi informasi melingkupi hidup kita hari ini, dialog antar agama dapat menjelma dengan lebih spontan dan egaliter. Dulu, dialog antar agama sering dikontrol oleh lembaga-lembaga resmi atau pemuka agama yang punya wewenang tertentu. Sekarang, dialog itu bisa lahir dari cuitan di Twitter, dari sebuah komentar di YouTube, atau bahkan dari percakapan santai di grup WhatsApp. Seorang ateis Eropa bisa bertanya dengan lugas kepada seorang ustadz dari Madura mengenai makna shalat lima waktu, dan seorang pendeta dari Solo bisa mendengarkan pengalaman spiritual seorang seniman Hindu dari Bali. Pertemuan ini terjadi bukan lagi karena formalitas, melainkan karena rasa ingin tahu yang tulus, karena keinginan untuk memahami dan menemukan persaudaraan baru yang mungkin terpendam di balik perbedaan-perbedaan yang terus dibangun di atas tafsir kebencian.

Tetapi, layaknya sifat sungai yang mengalir, globalisasi spiritual juga membawa serta tanah dan lumpur dari hilir ke hulu. Ada risiko komodifikasi yang mengancam kedalaman spiritualitas itu sendiri. Meditasi, yang dalam ajaran Buddha adalah jalan panjang menuju pencerahan, sering kali menjadi sekadar kelas latihan pernapasan di studio yoga yang mahal. Ajaran-ajaran sufi yang berbicara tentang fana dan baqa, tentang tenggelamnya diri untuk menemukan Tuhan, dijadikan buku motivasi yang dijual di rak-rak toko buku modern. Teknologi informasi, dengan segala kecanggihannya, bisa menjadi pisau bermata dua. Ia bisa mempertemukan kita dengan hakikat kebenaran, atau justru membuat kita terjebak dalam ilusi-ilusi kebenaran itu sendiri.

Dalam kekhawatiran ini, berharap ada asa yang membuncah. Ketika sebuah diskusi lintas agama bisa diikuti oleh puluhan ribu orang di seluruh dunia dalam waktu yang bersamaan, kita melihat adanya potensi untuk membangun jembatan-jembatan baru. Potensi ini terletak pada bagaimana kita memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk mencari Tuhan yang lebih universal, bukan untuk memperkuat dinding-dinding dogma yang sudah ada. Di sinilah gerakan harmoni umat beragama di muka bumi ini menemukan momentumnya. Teknologi menjadi tangan panjang yang bisa menyentuh lebih banyak orang, mengajak lebih banyak hati untuk ikut dalam tarian dan ritmis spiritualitas yang lebih bernada.

Zawiyah digital tidak menggelorakan ekumenisme denominasi-denominasi, madzhab-madzhab, atau ordo apapun dalam satu konvergensi keyakinan, tetapi lebih pada soal mewujudkan semangat kenabian yang dikonversi menjadi praktik-praktik nyata kemanusiaan. Ini adalah gerakan untuk mengenali kehadiran Tuhan dalam setiap tetes hujan yang jatuh, di setiap daun yang berguguran, di setiap desah napas yang keluar dari manusia—apapun agama atau keyakinannya. Teknologi digital memberi kita peluang mewujudkan visi ini. Konferensi virtual, webinar, podcast, dan platform diskusi online menjadi alat yang efektif untuk menghubungkan umat manusia di tengah perbedaan.

Namun, kita harus ingat bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Dialog antar agama dan atau gerakan ekumenis harus berakar pada keikhlasan dan keberanian untuk mengakui bahwa kita belum sepenuhnya memahami, bahwa mungkin saja, Tuhan yang selalu kita hadirkan memiliki wajah yang tak pernah kita bayangkan. Seorang bijak pernah berkata bahwa manusia adalah cermin bagi manusia lain. Dalam konteks ini, dialog antar agama adalah kesempatan untuk membersihkan cermin-cermin itu, agar kita bisa melihat kelembutan Tuhan dengan tatapan batin yang lebih bening, di dalam diri kita sendiri maupun diri orang lain.

Kita hidup di zaman di mana, alih-alih membangun benteng-benteng keyakinan yang semakin tinggi, kita justru diajak menggali sumur-sumur pengertian yang semakin dalam. Dalam sumur ini, kita menemukan air kehidupan itu ternyata bersumber dari mata air yang sama, meski mengalir ke ladang-ladang yang berbeda. Dan di akhir kelana, mungkin akan ada waktu untuk kita menyadari bahwa bukan sekadar keyakinan yang dibicarakan, melainkan keberanian untuk menerima bahwa cinta dan kasih sayang adalah bahasa universal yang bisa dipahami oleh semua. Di sinilah, globalisasi spiritual menemukan makna sejatinya. Ia bukanlah penyeragaman, bukan pula dominasi satu atas yang lain. Ia adalah tentang merayakan perbedaan dengan penuh keakraban, tentang menyadari bahwa setiap pertemuan adalah peluang untuk belajar, untuk tumbuh, dan untuk bersama-sama mencari Dia yang menjadi asal muasal segala. Dalam arus deras teknologi informasi, kita tidak punya pilihan selain menavigasi dengan kebijaksanaan, mengarungi sungai ini dengan kesadaran bahwa perbedaan adalah anugerah, bukan penghalang. Dan, pada akhirnya, bukankah setiap jalan akan bermuara pada keheningan yang sama? Keheningan yang setia menyenandungkan rahman-rahim Tuhan. Allahu A’lam bi al Shawab

[Haqqul Yaqin; Dosen Fakultas Ushluddin dan Filsafat]