Column UINSA

GELORA KEMERDEKAAN

Oleh: Sirajul Arifin*

Indonesia telah merdeka sejak 78 tahun lalu. Tapi kemerdekaannya terasa baru tahun kemaren, bahkan terasa baru kemaren. Entah, “mengapa terasa baru saja merdeka?” Mungkin jawaban atas pertanyaan ini mudah ditebak. Tebakannya bisa saja berbeda karena berangkat dari perspektif yang berbeda. Terlepas dari berbagai varian jawaban, maka saya akan coba mengisi sebagian di antara sekian banyak jawaban.
Indonesia cukup lama dijajah. Banyak orang yang menjadi korban penjajahan. Banyak nyawa yang melayang. Banyak orang terdekat tak kembali pulang. Semuanya akibat ulah para penjajah. Penjajah silih berganti. Ada lima negara yang lama menjajah Indonesia, yaitu Belanda, Jepang, Inggris, Portugis, dan Spanyol. Dari 5 negara, Belandalah yang paling lama menjajahnya. Belanda menjajah mulai awal abad ke-17 dan berlangsung hingga Indonesia mendapati kemerdekaannya di tahun 1945.
Kemerdekan Indonesia tidak diperoleh melalui pemberian, hadiah, warisan, atau kemudahan semacamnya, tapi dilaluinya dengan perjuangan panjang. Perjuangan anak bangsa, perjuangan seluruh komponen bangsa, dan perjuangan para pahlawan. Mereka berjuang siang dan malam. Mereka berjuang tanpa lelah. Berjuang tanpa takut mati. Berjuang antara “hidup” atau “mati” adalah pilihan perjuangan menghadapi para penjajah. Berjuang dengan semangat yang menggelora.

Gelora perjuangan tidak hanya dikumandangkan tetapi lebih pada tindakan nyata. Berbagai senjata pun digunakan. Bukan saja senjata api, senjata tajam, dan bambu runcing, tetapi senjata lain pun mereka gunakan. Mereka menggelorakan diri untuk mengenyahkan penjajah dari bumi pertiwi. Penjajah tampak sudah terenyah dari bumi kita tempat berpijak, tempat kita tinggal, tempat kita bersama keluarga, tempat kita bersenda gurau, tempat kita menghirup udara segar. Itu tampak secara de facto sejak 78 tahun silam.

Betulkah kita benar-benar merdeka? Merdeka seutuhnya atau kemerdekaan yang masih menyisakan keterjajahan? Pertanyaan lanjutan ini terkesan merefleksikan “keraguan” atau “kesiagaan.” Refleksi yang mengesankan pertanyaan menggelitik hakekatnya untuk memantik suara anak bangsa. Apakah kalian benar-benar telah merdeka? Apakah kalian berpura-pura merdeka? Jika kalian benar-benar merdeka dan akan terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka mari kita hiasi kemerdekaan ini dengan “Gelora Kemerdekaan”.

Gelora kemerdekaan tidak saja menggema di sini dan saat ini tetapi suasana kemerdekaan menggelora di seluruh belahan jagad. Masyarakat Indonesia di manapun merayakannya setiap tahun dan puncaknya pada setiap 17 Agustus. Pada 17 Agustus 2018, misalnya, saya bersama kawan-kawan delegasi UINSA Surabaya berkesempatan mengikuti upacara kemerdekaan yang digelar Perwakilan (atau Kedutaan) Republik Indonesia di Taiwan. Saya tidak menyangka jika ternyata semangat merayakan hari kemerdekan di Negeri Cina tidak kalah meriah dengan di Indonesia. Bahkan mungkin lebih meriah karena selain mereka rindu akan negaranya juga merasa terpanggil sebagai warga yang harus mensyukuri hasil perjuangan para pejuang.
Rasa syukur yang mereka ejawantahkan berbentuk resepsi malam tujuh belasan yang kalau di Indonesia dikenal dengan “tirakatan”. Malam tirakatan terselenggara secara “hidmah” dan “mewah”. Dua kondisi yang terkesan berbeda justeru menyatu dalam acara malam tirakatan. Acaranya memang didesain dengan konsep hidmah dan mewah. Kegiatan tampak hidmah melalui ritual tirakatan seperti yang selalu kita adakan di tanah air, mulai sambutan, prosesi tirakatan, hingga doa bersama yang menggambarkan wujud syukur kita kepada Sang Pencipta.

Doa yang dipimpin oleh sesepuh dan dianggap sebagai orang yang ahli agama mengakhiri rangkaian upacara tirakatan. Sesi ritual-tirakatan telah usai dan bukan mengakhiri seluruh rangkaian malam tirakatan, justeru mengawali acara selanjutnya. Acara berikutnya dikemas dengan model resepsi yang menggambarkan kemewahan. Resepsi identik dengan mewah. Kemewahan terlihat dari kemasan acaranya dan sajian hidangannya. Acara disetting seperti pesta perkawinan bahkan lebih dari itu, semua yang hadir menggunakan pakaian adat kecuali saya dan teman-teman saya. Saya beserta tim, bagaimana pun, tetap disediakan blankon oleh panitia. Blankonnya diberikan secara gratis dan karenanya saya abadikan hingga sekarang sebagai bukti bahwa saudara-saudara kita di Taiwan dan mungkin juga di negara-negara lainnya merayakan kemerdekaan Indonesia dengan penuh hidmah dan meriah.

Kemewahan dan kemeriahan tidak hanya dintujukkan dengan sajian hidangan yang serba ada dengan berbagai menu khas Indonesia tetapi juga dimeriahkan dengan lagu-lagu daerah. Talenta nyanyi ditampilkan dan lagu-lagu yang dinyanyikan banyak menggambarkan kerinduan pada Negara. Lagu yang mengisahkan kerinduan, mentriger nilai kebangsaan, dan mempererat tali persaudaraan sungguh sangat menyentuh semua masyarakat yang hadir dalam acara resepsi kemerdekaan saat itu. Itulah nuasa kemerdekaan yang pertama kali saya rasakan dari jauh nan di sana. Bagaimana dengan di Indonesia, dan bagaimana pula di UINSA? Tentu hipotesis yang akan muncul adalah “pasti di Indonesia lebih meriah”. Ini baru dugaan sementara, dan jawabannya perlu kita buktikan!
Masyarakat Indonesia, di sini, dulu-hingga kini, tidak pernah surut bahkan terus menggelorakan semangat kemerdekaan. Pekik merdeka, atribut kemerdekaan, serial resepsi kemerdekaan, dan edukasi kemerdekaan, hingga upacara nasional merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki semangat yang membara dalam mensykuri kemerdekaan negaranya. Semua komponen bangsa, tanpa terkecuali, dari pusat hingga daerah, bahkan seluruh pelosok tanah air bersama-sama merayakan kemenangan dan sekaligus sebagai bentuk penyemaian rasa nasionalisme bangsa yang harus menjaga kemerdekaan dan kesatuan bangsa, “NKRI Harga Mati”.

Komponen bangsa, tanpa kecuali pergurun tinggi, tidak tertinggal dari gelora kemerdekaan. UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai bagian dari institusi anak bangsa, turut ambil peran dalam menggelorakan kemerdekaan Indonesia. Geloranya tidak terbatas dan membatasi diri hanya dalam format serimonial upacara yang lazim diselenggarakan setiap tanggal 17 Agustus, tetapi UINSA mengisinya dalam bentuk penguatan tri dharma bagi anak bangsa sepanjang tahun dari tahun ke tahun. Sisi inilah merupakan hal yang sangat esensial dan substantif untuk merawat kemerdekaan dari keterjajahan bangsa-bangsa lain sekalipun tanpa menafikan eksibisi tahunan. Esensi dan eksibisi adalah dua konteks yang saling melekapi.

Eksibisi yang saya maksud adalah gelaran seremonial yang juga penting dilakukan untuk memperkuat substansi. Upacara dan berbagai kegiatan pendukungnya merupakan gambaran eksibisi dari sebuah seremoni kemerdekaan. UINSA hari ini, Kamis 17 Agustus 2023, mengadakan upcara bendera guna menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. Peringatan hari ini disemarakkan dengan aneka kegiatan, mulai dari upacara sampai dengan lomba-lomba. Upacara kali ini tidak jauh berbeda dengan tahun kemaren. Pesertanya memakai pakaian adat, pakaian yang menggambarkan khas kedaerahan dari seluruh penjuru Nusantara. Pakaian memang berbeda, namun perbedaannya merefleksikan kebhinnekaan untuk satu tujuan. Tujuannya adalah bersatu dalam bingkai NKRI. Hal yang berbeda hari ini adalah pesertanya yang lebih banyak, lombanya yang lebih meriah, tingkat kekompakannya yang semakin tinggi.
Suasana yang terus berubah, berubah lebih meriah, dan lebih semangat menunjukkan semangat warga UINSA dalam menggelorakan kemenangan negara kebanggaannya, INDONESIA. “Merdeka, Merdeka, Merdeka!”

*Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya