Articles

insaf aku
bukan ini perbuatan kekasihku
tiada mungkin reka tangannya
kerana cinta tiada mendera

Kutipan sebait sanjak karya Amir Hamzah, penyair era Pujangga Baru dan sekaligus seorang pahlawan nasional itu mengingatkan seorang murid kepada pesan gurunya. “Jika yang kaubaca, yang kaulakukan, yang kauajarkan, yang kaualami, tak mengantarmu menjadi lebih dekat dengan Kekasih-mu, maka pasti ada yang keliru. Maka menepilah, menyepilah, walau sejenak, untuk menginsyafi.”

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya yang telah berpulang ke haribaan Ilahi itu juga pernah menepuk bahu si murid seraya berucap, “Di mata pecinta, kapanpun, di manapun, dan pada apapun, kamu tahu, wajah siapa yang tengah disaksikannya.”

Kemudian beliau berwasiat, jika kelak ditakdirkan menjadi guru atau dosen, maka majelis pengajian, ruang kelas, sekolah, madrasah, atau kampus, adalah masjid tempat seorang pecinta bersujud kepada Sang Maha Cinta. Kalau di sana, yang diagungkan, yang dimuliakan, yang dipuja-puji bukan Sang Kekasih, maka telah berkhianatlah si pecinta. Dan dari rahim pengkhianatan seperti itu, maka murid seperti apa, mahasiswa seperti apa, yang bisa diharapkan akan lahir nantinya dari sana. Dan bilamana suatu ketika merasa lelah, merasa diabaikan, merasa direndahkan, merasa tidak dihargai, atau merasa galau, ingatlah zikir seorang guru, Zikir Yunusiyah dan Zikir Ayyubiyah.

Ketika Nabi Yunus ‘alayhis-salam tergulung ombak, lalu tertelan dalam kegelapan perut Paus, zikirnya bukan pinta agar kembali ke terang cahaya. Keluar dari perut Paus, terselamatkan dari musibah. Tetapi Zikir Yunusiah justru berbunyi:

لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (Al-Anbiya’ ayat 87).

Beliau tidak menyoal apa yang sudah menjadi ketetapan Tuhan-nya. Sebagai seorang rasul, beliau mengimani sepenuhnya, bahwa Tuhan-nya tak mungkin keliru, tak mungkin salah, dan tak mungkin zalim kepada hamba-Nya. Dalam kacamata pecinta, pemberian dari Kekasih, adalah tanda cinta. Meski wujudnya mungkin tampak tak indah di mata manusia. Meski mungkin pahit dan berat dirasa. Namun pemberian itu tetaplah keindahan yang tak ternilai harganya. Pemberian itu tetaplah kenikmatan yang tiada duanya.

Demikian pula ketika Nabi Ayyub ‘alayhis-salam tertimpa sakit, usai kehilangan anak-anaknya yang meninggal bergantian dan kehancuran harta kekayaannya. Ketika istri-istrinya akhirnya tak kuasa menemani dan meninggalkannya, maka Zikir Ayyubiyah bukanlah pinta agar harta, keluarga, dan kesehatannya dikembalikan kepadanya. Tetapi yang membasahi hati dan lisannya adalah:

أني مسني الضر وأنت أرحم الراحمين

“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (Al-Anbiya’ ayat 83).

Beliau tidak menggugat apa yang sudah menjadi ketentuan Tuhan-nya. Sebagai seorang rasul, beliau mengimani sepenuhnya, bahwa Tuhan-nya senantiasa berbuat yang terbaik, selalu benar, dan berlaku adil kepada hamba-Nya. Dalam kacamata pecinta, pemberian dari Kekasih, adalah rengkuhan rindu. Meski wujudnya mungkin tampak tak membikin nyaman di mata manusia. Meski mungkin jauh dari kelezatan jika harus dirasa. Namun pemberian itu tetaplah kehangatan yang menenteramkan jiwa. Pemberian itu tetaplah pelipur segala resah.

Di lubuk terdalam sanubari seorang pecinta, Sang Kekasih takkan pernah mengabaikan, apalagi menelantarkannya. Keteguhan pecinta yang dibahasakan dengan begitu sangat indah oleh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari:

لا تطلب منه أن يخرجك من حالة ليستعملك فيما سواها فلو أراد لاستعملك بغير إخراج

Dalam ungkapan beliau yang lain:

فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك و في الوقت الذي يريد لا في الوقت الذي تريد

Ringkasnya, “Urip iku wis ginaris dening Gusti Allah. Mangka apa sing wis dijatah dening Allah, mesti pas.”

___

Ditulis oleh Dr. Nyong Eka Teguh Iman Santosa, M.Fil.I., Kaprodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya