Column UINSA

Oleh: Dr. Mirwan Akhmad Taufiq, MA.
Kajur Adab dan Humaniora

***

*Disarikan dari paparan yang disampaikan pada Apel Pagi, Senin, 20 November 2023 di Kampus Gunung Anyar Surabaya

_*_

Saya teringat dengan viralnya berita di lingkungan UIN Sunan Ampel Surabaya, beberapa minggu yang lalu. Yaitu postingan tentang ungkapan Dr. H. Achmad Zaini, MA., yang berbunyi, ‘Jika anda malas dalam bekerja, bayangkanlah ketika anda tidak memiliki pekerjaan.’ Guyonan kami itu sangat santun sekali, yang lebih mengena adalah ‘Kalau anda sedang malas bekerja, bayangkanlah kalau anda tidak memiliki gaji dan remun.”

Kita ini, pegawai UINSA baik dosen atau tenaga kependidikan memiliki dua gaji yang itu dobel. Satu yang disebut dengan gaji pokok atau rotib, yang kedua remunerasi atau ujroh. Maka, teman-teman saya kadang mengejek, ‘Itu kerja model apa? Di depan dapat, di belakang dapat?”

Artinya Rotib itu memang hal yang dapat mengatur ketertiban kerja yang akan dilaksanakan. Maka diberi lebih dulu. Bahkan bersifat setiap bulan. Sehingga introspeksi kita, muhasabah kita adalah kita bekerja itu sebenarnya hanya untuk menghalalkan gaji. Menghalalkan salary, menghalalkan rotib yang sudah kita terima di awal bulan. Maka sungguh kita mungkin memakan yang syubhat atau haram kalau kita tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugas kita.

Adapun kemudian kita mendapat remunerasi, itu bisa disebut dengan ujroh, pekerjaan lebih yang kita laporkan. Maka, sesungguhnya kita sebagai pegawai ini sedang bertugas menghalalkan gaji yang dibayar di awal bulan.

Yang kedua, maka dengan menghalalkan itu mungkin banyak tugas yang harus kita lakukan, yang bisa kita lakukan. Kalau capaian pembelajaran yang bersifat nyata mungkin kelihatan. Tapi kalau capaian pembelajaran yang bersifat sikap, itu mungkin kita tidak bisa sampaikan hanya di dalam kelas. Bisa jadi di luar kelas.

Kita menunjukkan ibadah kita kepada mahasiswa menurut saya, itu bukan riya’ tapi proses pembelajaran kita kepada mahasiswa. Mengingatkan, hal-hal kecil seperti shalat misalnya. Kalau kita tidak mengingatkan hal-hal yang kecil itu apa bedanya kita dengan orang sekuler.

Maka saya kira, kita sebagai dosen atau tenaga kependidikan menunjukkan sikap ibadah kita baik itu ibadah wajib atau sunnah tidak dapat dihukumi riya’ tapi dalam proses memberikan contoh kepada anak-anak didik kita. Karena kalau mereka tidak mendapat percontohan itu kepada siapa mereka akan mengambil percontohan? Wong hidupnya disini? Apalagi jargon bapak Rektor kemarin, rumah kedua para mahasiswa adalah di UIN Sunan Ampel Surabaya sejak jam 08.00-16.00 bahkan sampai jam 18.00.

Maka semoga, walaupun tidak tertulis untuk menunjukkan sikap yang terbaik di dalam hidup beragama mari kita tunjukkan kepada putra-putri anak didik kita. Walaupun kita tidak ada remunerasinya disana, tetapi saya yakin untuk bisa menghalalkan gaji kita bisa dilakukan dengan hal-hal yang demikian.

Semoga apa yang sedikit ini bermanfaat, mohon maaf atas segala kekurangan.