AICIS 2023 LAHIRKAN ENAM REKOMENDASI PENTING, REKTOR UINSA PIMPIN PEMBACAAN SURABAYA CHARTER
UINSA Newsroom, Kamis (04/05/2023); Perhelatan The 22th Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS) 2023 telah usai. Pembacaan‘Surabaya Charter’ menjadi rekomendasi penting dari Muktamar Ilmu-ilmu Keislaman internasional yang digagas Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama (PTKI Kemenag) RI tersebut.
Rektor UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pun mendapat kehormatan membacakan rekomendasi tersebut didampingi perwakilan panelis dan chair dalam kegiatan AICIS 2023. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan pembicara kunci asing lainnya.
Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Prof. Akh. Muzakki, Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D., dalam kegiatan Closing Ceremony yang berlangsung di Gedung Auditorium UINSA Surabaya, Kamis, 4 Mei 2023.
“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjut Rektor membacakan rekomendasi berikutnya.
Rektor menjelaskan, bahwa Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan?
Kedua, bagaimana fiqh bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fiqh harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?
Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu:
Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fiqh. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fiqh harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fiqh yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fiqh sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Prof. Muzakki. (All/Humas)