UIN Sunan Ampel Surabaya
October 17, 2025

TAWADLU’ MANAJERIAL

TAWADLU’ MANAJERIAL

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pagi itu di Hari Kamis (04 September 2025), sidang pleno hasil uji pendalaman kompetensi sedang berlangsung hangat-hangatnya. Membahas satu persatu usulan. Untuk kenaikan jabatan fungsional akademik. Dari lektor kepala ke Guru Besar. Untuk dosen di lingkungan perguruan tinggi di Kementerian Agama RI. Satu demi satu dokumen ditelaah secara cermat. Untuk memastikan bahwa semua usulan baik-baik saja. Bahasa lainnya valid. Nah yang tidak, berarti tentu saja harus dikembalikan untuk perbaikan. Semua ditelaah seteliti mungkin. Serinci itu. Agar hasilnya betul-betul valid dan berkeadilan.

Hadirlah Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Sesdirjen Pendis) Kemenag RI. Prof. Arskal, itulah nama panggilan akrabnya. Arskal Salim, nama lengkapnya. Sebagai seorang sekretaris direktorat jenderal, maka dia berarti orang yang paling bertanggung jawab terhadap urusan administrasi di lingkup bidang jabatan itu. Namun, lepas dari jabatan manajerial yang sedang diemban, dia adalah seorang Guru Besar. Patut juga dimintai arahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat struktural dan pemangku jabatan fungsional akademik tertinggi. Latar belakang studi dan pengalaman akademiknya di luar negeri semakin melengkapi tebalnya profil akademik dia sebagai pejabat penting di Kementerian Agama RI di atas.

“Disilakan kepada Pak Sesdirjen untuk berkenan memberikan arahan kepada kami semua,” kata Pak Muhammad Aziz Hakim mengawali pembicaraan pada rapat kala itu. Kasubdit Ketenagaan kala itu memohonkan arahan kepadanya. Diserahkanlah microphone kepada beliau. Usai menyapa semua peserta sidang pleno hasil uji pendalaman kompetensi calon guru besar dan menyampaikan sejumlah catatan, Prof. Arskal lalu menyampaikan begini: “Soal PAK, saya nggak mau mengajari ikan berenang.” Sesdirjen itu men-spill istilah PAK untuk menunjuk ke penilaian angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional dosen.

Aku pun yang duduk tak jauh dari sisi sebelah kirinya terperanjat mendengar kalimat yang diucapkan Sesdirjen itu. Dia tak mau memberikan arahan terkait materi PAK dan substansi uji pendalaman kompetensi calon Guru Besar itu. Kalimat yang berbunyi “saya nggak mau mengajari ikan berenang” di atas menandakan bahwa dia menyerahkan sepenuhnya urusan penilaian usulan PAK itu kepada tim penilai ahli. Tak ada arahan khusus darinya. Apalagi yang cenderung menggurui. Lebih-lebih menekan. Tak ada. Juga tak ada permintaan tertentu yang dia sampaikan. Kecuali menyerahkan semuanya kepada tim kecil penilai ahli PAK Diktis itu.

(Foto: Serdirjen [Tengah Kiri] dan Kasubdit Ketenagaan [Tengah Kanan], 04 Sept 2025)

Yang justeru disampaikan dalam arahannya tak lepas dari persoalan administrasi kepegawaian dosen. Juga isu sentral tentang bagaimana meningkatkan kualitas layanan uji pendalaman kompetensi calon Guru Besar. Soal materi PAK dan substansi uji pendalaman kompetensi calon Guru Besar itu diserahkan sepenuhnya kepada tim penilai ahli. Bagiku dan mungkin banyak di antara kami yang hadir kala itu, kalimat yang dia sampaikan “saya nggak mau mengajari ikan berenang” di atas menunjukkan tingkat tawadlu’-nya kepada rekan sejawat yang sedang diberi tugas untuk melakukan uji pendalaman kompetensi salon Guru Besar itu.

Kisah ini kuulas bukan untuk kepentingan apa-apa. Persis seperti tulisan-tulisan ringanku sebelumnya. Semua kejadian yang kualami atau kudapati selalu kutulis untuk sebuah pembelajaran. Kejadian apa saja kuulik dan kuserap untuk kuambil hikmahnya. Kadang tentang pelaku bisnis busana dan ikutannya (lihat URL: https://uinsa.ac.id/blog/custom-culture). Kadang juga tentang pengalaman seorang sopir (lihat URL: https://uinsa.ac.id/?s=disiplin+waktu). Bahkan kadang pula tentang tukang parkir (lihat URL: https://uinsa.ac.id/?s=parkir). Kebetulan untuk kali ini, kejadian yang bagiku penting diulas berasal dari pengalamanku mendapati pejabat manajerial yang Guru Besar namun tetap menunjukkan praktik tawadlu’ itu. Dia adalah Sesdirjen Pendis, Prof. Arskal.  

Tawadlu’ Spiritual, Akademik, dan Manajerial

Dalam tindak lakunya di atas, bukan lagi tawadlu’ spiritual yang dipertunjukkan oleh pemangku jabatan manajerial yang bernama Sesdirjen itu. Juga bukan terbatas kategori tawadlu’ akademik yang dipertontonkan Prof. Arskal itu. Tapi tindak lakunya sudah mencakup dan sampai pada derajat tawadlu’ manajerial. Apa itu tawadlu’ manajerial? Mengapa aku menyebut tindak tanduk itu sebagai tawadlu’ manajerial?  Istilah ini penting kumunculkan untuk melukiskan betapa jabatan manajerial tak harus mengalahkan kesantunan dalam praktik pelaksanaan kewenangan jabatan. Keberadannya lahir dari prinsip “kesantunan di atas jabatan”.   

Memang keberadaan tawadlu’ spiritual, tawadlu’ akademik, dan tawadlu’ manajerial bukan untuk dipertentangkan. Melainkan untuk ditarik ke dalam garis lurus yang menghubungkan satu sama lain. Penarikan garis lurus ini penting karena tiga rangkai tindak laku di atas terjadi di lingkungan jabatan yang nomenklaturnya ada agamanya. Maka, penerjemahannya bisa begini: tawadlu’ manajerial bisa lahir karena kematangan akademik. Istilah yang disebut terakhir ini melahirkan apa yang bisa disebut dengan tawadlu’ akademik. Dan, tawadlu’ yang disebut terakhir ini tak lahir begitu saja, melainkan didasari oleh keyakinan keagamaan yang melahirkan apa yang disebut dengan tawadlu’ spiritual.

Hanya, yang membedakan ketiganya sangat jelas. Setiap diri bisa memiliki tawadlu’ spiritual. Itu karena untuk memilikinya sangat bergantung pada kehendak diri masing-masing. Tak perlu variabel lain untuk bisa memilikinya. Artinya, setiap diri bisa memiliki tawadlu’ spiritual selama dia berada dan terkondisikan dalam situasi yang dibutuhkan untuk lahirnya tawadlu’ jenis ini. Tapi tak semua tawadlu’ jenis ini bisa mengantarkan seseorang untuk mencapai derajat tawadlu akademik. Ada prasyaratnya. Yakni, adanya kepemilikan atas derajat akademik atau keilmuan tertentu. Itu meskipun dengan catatan bahwa tak semua kepemilikan atas derajat akademik atau keilmuan tertentu itu mengantarkan pemiliknya bergerak naik ke kematangan akademik.

Apalagi dengan tawadlu’ manajerial. Tak setiap orang dapat mencapainya. Kematangan akademik saja tak bisa dicapai oleh setiap mereka yang memiliki derajat akademik atau keilmuan tertentu, apalagi dengan tawadlu’ manajerial. Mengapa begitu? Karena, derajat tawadlu’ manajerial hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sedang memegang amanah jabatan publik di tangannya. Tentu, tak setiap orang bisa berada dalam posisi itu. Sebab, ada prasyarat mutlak di situ. Yakni, keterpercayaan atas amanah jabatan.

Maka, saat amanah jabatan di tangan, semua keluhuran yang berasal dari tawadlu’ spiritual dan tawadlu’ akademik bisa diwujudkan. Dengan kuasa jabatan yang ada di tangan, semua keluhuran itu bisa mewujud melalui kebijakan dan praktik diri yang dilakukan dalam menunaikan jabatan itu. Sebaliknya juga bisa saja terjadi. Saat jabatan membuat pemangkunya congkak, maka keluhuran tak akan bisa mewujud. Apalagi saat jabatan disalahgunakan, maka yang semula bernilai keluhuran bisa bergeser menjadi keburukan. Karena itu, tawadlu’ manajerial sungguh eksklusif. Dalam beberapa derajat malah strategis untuk mewujudkan keluhuran dalam ranah publik.

Ukuran Tawadlu’ Manajerial

Lalu, apa ukuran partikular dari tawadlu’ manajerial di atas? Ada dua ukuran yang bisa dikenakan. Pertama,tak serba menggurui. Prinsip ini bukan berarti pemegang kuasa manajerial tidak pintar. Bukan. Bukan soal itu. Bahkan, dalam derajat tertentu kecakapan akademiknya bisa melebihi yang lain. Namun kecakapan itu tak lalu membuatnya merasa di atas semuanya. Sebab, perasaan yang disebut terakhir ini bisa membuatnya memandang selainnya di bawah kecakapannya. Akibatnya, dia cenderung menggurui atas selainnya.

Kisah yang kuceritakan dari praktik Sesdirjen Pendis, Prof. Arskal, di atas patut menjadi bahan renungan bersama.  Pernyataannya “Soal PAK, saya nggak mau mengajari ikan berenang” memberi pelajaran kepada kita bersama bahwa meskipun dia dalam posisi orang yang paling bertanggung jawab terhadap administrasi kebijakan dalam urusan pendidikan Islam di negeri ini, termasuk dalam urusannya dengan perguruan tinggi, jabatan manajerialnya itu tak membuatnya kemudian mengatasi kecakapan selainnya. Ujung-ujungnya lalu menggurui selainnya. Tidak begitu yang dia praktikkan. Justru, kutipan kalimat di atas menunjukkan bahwa sikap tak serba menggurui sedang dipertunjukkan oleh Sesdirjen di atas. 

Dalam derajat paling minimal, sikap tak serba menggurui tersebut mewujud dalam bentuk praktik tak serba sok tahu. Dari praktik yang dimunculkan oleh Sesdirjen Pendis, Prof. Arskal, kepada kita semua pada kisah yang kuceritakan di atas, jelas sekali bahwa sikap tak serba menggurui diawali dari sikap dan perilaku tak serba sok tahu. Padahal, dalam pengalaman hidup di tengah masyarakat kerap ditemukan bahwa, saat sikap sok tahu itu beririsan dengan jabatan yang sedang diemban, hasilnya adalah sikap serba menggurui. Apa yang dipraktikkan oleh Sesdirjen di atas justru mengajarkan sebaliknya: tawadlu’ manajerial tak pernah menonjolkan jabatan di atas kemanusiaannya. Jabatan manajerialnya tetap menjaganya dari praktik birokrasi yang serba sok tahu. Tentu saja keteguhannya menjaga marwah jabatannya membuatnya tak terjatuh ke dalam jebakan kecongkakan manajerial.

Ukuran tawadlu’ manajerial yang kedua adalah, menunjukkan penghormatan dan penghargaan atas sesamanya. Orang yang tak serba menggurui sejatinya dalam dirinya juga tersimpan sikap dan praktik yang menghormati sesamanya. Dia tak congkak dalam menjalani amanah jabatannya. Itu utamanya karena dalam dirinya ada kesadaran untuk selalu menghormati sesamanya. Bagian dari bentuk penghormatan dimaksud adalah sikap dan praktik yang menunjuk kepada penghargaan kepada sesamanya itu. Tawadlu’ manajerial, karena itu, bisa diukur secara langsung dari prinsip penghormatan dan penghargaan atas sesama ini.

Dua ukuran di atas sejatinya tidak jauh-jauh dari indikator yang disebutkan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim sebagaimana berikut:  الْـكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ. “Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama,” begitu terjemahannya. Cakupan kesombongan ini tak terbatas pada urusan privat-personal, melainkan juga bersentuhan dengan urusan publik-bersama. Ada dua indikator pula atas kecongkakan dimaksud. Yakni, menolak kebenaran dan merendahkan sesama.

Orang yang terjangkiti kecongkakan pasti dia akan sulit untuk menerima masukan atau gagasan orang lain. Frase “sulit menerima” di sini sama dengan menolak. Artinya, kecongkakan akan membawa seseorang untuk cenderung menolak masukan sesama walaupun masukan sesama itu mengandung kebenaran. Juga, orang yang terpapar kesombongan diri cenderung pula untuk merendahkan sesama. Itu di antaranya karena merendahkan sesama diawali dari sikap menggunggulkan dirinya sendiri di atas segalanya.

Lalu Apa Pelajarannya?

Ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari kisah tawadlu’ manajerial yang kuceritakan atas perilaku kerja Sesdirjen Pendis, Prof. Arskal, di atas. Pertama, perkuatlah diri dengan tawadlu’ spiritual. Mengapa begitu? Karena tawadlu’ spiritual menjadi modal dasar dalam menjalani kehidupan profesional. Apakah kehidupan profesional itu dalam kaitannya dengan akademik ataukah lebih-lebih manajerial. Saat tawadlu’ spiritual jauh dari kehidupan seseorang, di sana tak akan ada modal awal untuk lahirnya tawadlu’ lanjutan dalam kehidupan profesional, apakah terkait dengan ranah akademik ataukah manajerial seperti diuraikan sebelumnya.

Dalam situasi seperti itu, dari awalnya saja sudah muncul kondisi minus dalam neraca karakter diri. Yakni, kondisi diri tanpa modal karakter tawadlu’ dan atau kesantunan dari sejak awal sekali. Maka wajar saja jika tak ada lagi tawadlu’ dalam kehidupan profesional. Semakin bertambahnya ilmu, semakin congkaklah kecenderungan diri. Semakin naik indeks akademik, semakin turun indeks kesantunan ―untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Akibatnya, tak muncul tawadlu’ akademik pada diri orang seperti ini. Kecenderungan diri semacam ini akan makin menguat saat jabatan melekat pada diri. Bukan kesantunan jabatan yang muncul, melainkan sebaliknya, kecongkakan yang lahir karena jabatan yang di tangan.

Kalau sudah begitu, tawadlu’ manajerial hanya ada di angan-angan. Tak pernah hadir dalam kenyataan. Yakni, dalam praktik penunaian jabatan. Padahal, semakin tinggi jabatan, berarti semakin sedikit orang yang bisa mendudukinya. Karena semakin sedikit orang yang bisa menduduki jabatan ini, maka sudah semestinya orang yang sedang diamanahi untuk mengemban amanah dimaksud hadir dengan segala karakter yang dibutuhkan olehnya untuk bisa menjadi role model. Kesantunan manajerial adalah bagian sentral dari pembentuk karakter diri menuju terciptanya role model dimaksud. Dengan begitu, transformasi kelembagaan sebuah institusi bisa dimulai dari lahirnya role model pemangku jabatan publik dengan kekuatan karakter diri yang dibentuk oleh tawadlu’ manajerial itu.

Maka, untuk kepentingan penciptaan peradaban kemanusiaan ke depan: siapapun kita orang dewasa wajib memupuk tawadlu’ spiritual di kalangan anak-anak di lingkungan terdekat. Apa yang kumaksud dengan “kalangan anak-anak di lingkungan terdekat” di sini adalah anak-anak sendiri dalam pengertian biologis maupun anak-anak dalam pengertian edukasi yang muncul akibat adanya hubungan individual dan sosial dalam proses pendidikan. Menanamkan tawadlu’ spiritual untuk anak-anak dalam pengertian-pengertian dimaksud adalah investasi untuk peradaban masa depan. Sebab, jika itu berhasil kita lakukan, maka sejatinya kita sedang membangun peradaban masa depan yang lebih baik.

Kedua, janganlah silau dengan jabatan, lalu membuat kesantunan diri terkesampingkan. Kata “silau” di sini menandakan hilangnya kewajaran dalam pandangan dan sekaligus kesadaran. Saat jabatan sudah menyilaukan diri, hilanglah kesadaran tentang jati diri. Padahal, jabatan bisa datang dan pergi. Sedangkan kesejatian diri harus tetap bersemayam dalam diri. Karena itu, tetaplah santun dalam menunaikan jabatan. Tak patut jabatan membuat diri makin terjebak ke dalam kecongkakan. Alih-alih, jabatan harus ditunaikan dengan segala prinsip kebajikan. Dan kesantunan adalah salah satu di antara yang bisa diutamakan.

Kisah yang kuceritakan dari perilaku kerja Sesdirjen Pendis, Prof. Arskal, di atas memberi pelajaran berharga tentang betapa mulianya tawadlu‘ manajerial. Tak ada sikap sok menggurui. Juga tak muncul sikap serba sok tahu. Semua itu adalah semangat yang bisa dijadikan pedoman dan arahan praktik penunaian jabatan dari kisah yang kuceritakan di atas. Intinya, ada nilai dari perilaku kerja kepemimpinan yang sedang ditanamkan: Semakin tingginya indeks akademik dan jabatan manajerial tak boleh menghilangkan tawadlu’ manajerial. Dan, jenis tawadlu’ yang disebut terakhir ini lahir karena kedalaman dan ketinggian tawadlu’ spiritual dan akademik.  

Tawadlu’ itu tak ada jelek-jeleknya. Karena itu, sudah sepantasnya masing-masing diri memberi perhatian penuh kepadanya. Tips konkretnya bisa begini: Mulailah penguatan diri dari dan dengan tawadlu’ spiritual. Lengkapilah kemudian dengan tawadlu’ akademik. Itu semua agar spiritualitas yang tinggi bisa berseiring dengan indeks akademik yang tinggi pula. Lalu, sempurnakanlah diri lebih lanjut dengan tawadlu’ manajerial. Jika siklus itu berlangsung baik nan efektif, maka tawadlu’ akan menjadi ruh kehidupan. Sebab, untuk bisa sampai ke derajat tawadlu’ manajerial, seseorang perlu memperkuat diri dengan tawadlu’ akademik yang kuat dengan didasari oleh tawadlu’ spiritual yang mapan.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA