UIN Sunan Ampel Surabaya
November 14, 2025

PENDIDIKAN ITU SOAL VALUE

PENDIDIKAN ITU SOAL VALUE

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Dirimu ada pada tindak-tandukmu. Lama kudengar mutiara hikmah itu dari para sesepuh. Dan kubuktikan kebenaran nilai itu pada diri mahasiswa kedokteran yang pernah kutemukan. Alkisah, pagi itu cerah sekali. Di Hari Rabu, tanggal 29 Oktober 2025. Perjalanan dari Surabaya telah membawaku sampai ke kampus Fakultas Kedokteran (FK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku dan tim kedokteran UINSA Surabaya hadir ke kampus itu dalam rangka kunjungan kerja dan pendalaman kerjasama pengampuan. Karena proses pendirian dan penyelenggaraan perkuliahan tahun pertama bagi Program Studi Kedokteran Sarjana dan Kedokteran Profesi UINSA didampingi oleh FK UIN Jakarta itu. Kini kami merasa bahwa pendampingan melalui kerja pengampuan kembali oleh FK UIN Jakarta bukan saja patut diteruskan tapi juga diperdalam lebih jauh.

Di Rabu pagi itu, begitu menginjakkan kaki di Gedung FK UIN Jakarta itu, kami disambut dengan hangat oleh Dekan dan pimpinan FK UIN Jakarta. Langkah demi langkah kuayunkan. Dan begitu memasuki gedung, kehangatan itu semakin dalam kurasakan. Hospitality-nya keren banget. Bukan saja oleh pimpinan dan dosen FK UIN Jakarta itu, melainkan juga oleh para mahasiswa. Padahal tentu saja para mahasiswa itu tak pernah tahu siapa aku dan rombongan yang membersamaiku dalam kunjungan ke FK kampus mereka. Tapi, kehangatan itu bisa ditemukan menyebar dalam aura kebersamaan selama hampir seharian kala itu.

Setiap kaki bergeser dan kami berpapasan dengan para mahasiswa FK UIN Jakarta itu, setiap kali itu pula mereka tersenyum lalu berucap: “Assalamu’alaikum.” Saat kami baru memasuki lobby gedung itu, sebagai satu misal, seorang mahasiswi FK kampus itu menyapaku dan rombongan dengan ucapan “Assalamu’alaikum” itu. Dia pun lalu tersenyum. Begitulah para mahasiswa FK UIN Jakarta itu bertindak-tanduk. Padahal mereka itu bukanlah perwakilan mahasiswa yang sedang ditugaskan sebagai duta penyambut tamu. Aku juga sangat yakin bahwa mereka tak tahu siapa aku dan rombongan yang datang. Tapi, sapaan salam dan senyum itu mereka lakukan dengan begitu santunnya. Sambil berjalan berlalu menuju aktivitas masing-masing.

Bahkan, ucapan salam dan lemparan senyum itu lalu terus kudapatkan. Lagi dan lagi. Secara bergantian. Yakni saat begitu ketemu lagi dengan sejumlah mahasiswa FK UIN Jakarta lainnya di gedung itu. Dari satu bagian ruangan ke lainnya. Dan itu terjadi secara sama. Sebagai contoh, diajaklah aku dan rombongan oleh pimpinan FK UIN Jakarta itu ke lantai 4. Kuayunkahlah langkah ke lantai itu. Dipertunjukkanlah aku sejumlah fasilitas pendidikan kedokteran yang dimiliki. “Assalamu’alaikum,” kembali kata itu kuterima langsung dari para mahasiswa yang bertemu denganku dan rombongan. Mereka mengucapkan salam itu sambil berjalan berlalu menuju ruang aktivitas yang dituju.

(Foto: Penyambutan Tim Kedokteran UINSA oleh Pimpinan FK UIN Jakarta, 29/10/2025)

Sapaan salam itu diikuti dengan senyum yang mengembang di wajah satu-persatu mahasiswa kedokteran yang menyapa kami itu. Tak berhenti di situ. Saat sahabatku Dekan FK UIN Jakarta Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT. FICS itumengajakku bergeser untuk melihat langsung sejumlah fasilitas dari lantai 4 ke lantai di bawahnya, kata “Assalamau’alaikum” itu bergantian kudengar dan kuterima dari setiap mahasiswa FK UIN Jakarta yang sedang berpapasan.  Bahkan, saat menuruni tangga dari lantai 4 ke lantai 3 itu, sapaan salam dan senyum itu kuterima juga. Padahal, mahasiswa yang sedang mengucap salam sambil tersenyum itu sedang menaiki tangga dari lantai 3 ke lantai 4. Tapi, tetap saja dalam kondisi itu, salam dan senyum itu mewarnai langkah dan wajah mereka. Duh elok nian pemandangan itu!

Daya investigasiku langsung membuncah. “Aku harus cari tahu bagaimana para mahasiswa itu bisa begitu santun, religius, dan sekaligus  ramah-hangat menyapa semua kami yang sedang berjalan ke bagian-bagian gedung itu. Pasti ada yang harus bisa kuambil sebagai pelajaran dari manajemen FK UIN Jakarta ini.” Begitu bisikku ke benakku kala itu. Sebab semua terjadi begitu saja. Alami. Tanpa setting-an. Tak ada rekayasa. Buktinya, tak ada yang namanya duta fakultas yang bertugas untuk penyambutan. Juga, kejadian-kejadian itu berlangsung sambil para mahasiswa itu berkegiatan pada umumnya.

Agensi Dari Dini

Aku pun lalu menjelang jamuan makan siang di ruang pertemuan FK UIN Jakarta itu bertanya kepada pimpinan FK itu. “Bagaimana ceritanya hingga para mahasiswa FK di sini melakukan praktik yang kesanku sangat Islami begitu?” tanyaku kala itu. “Tradisi itu di sini sudah berkembang sejak angkatan pertama,” ujar Wakil Dekan 1 FK UIN Jakarta Dr. dr. Fika Ekayanti, M.Med.Edu. “Kakak tingkat mereka dari awal berdiri FK ini yang menurunkan tradisi itu hingga berjalan sampai sekarang,” tambah Dekan Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT. FICS. Penjelasan kedua unsur pimpinan FK UIN Jakarta ini sangat menarik bagiku. Penting diulas.

Mendapatkan penjelasan pimpinan FK UIN Jakarta di atas, aku pun semakin percaya dengan dua teori penting: agensi manusia (human agency) dan conditioning. Dalam teori agensi manusia, bagaimanapun nilai itu butuh sosok. Nilai tak bisa berkembang di ruang kosong. Butuh sosok untuk menjadi medan perwujudan atasnya. Apalagi, teori agensi manusia itu lebih melihat perilaku sebagai fenomena relasional (relational phenomenon) daripada individual (Barry Smart, “Foucault, Sociology, and the Problem of Human Agency,” Theory and Society, Vol. 11, No. 2 [March, 1982], hal. 121-141). Artinya, medan perwujudan perilaku manusia adalah hubungan individu dengan sesamanya. Salam dan senyum adalah nilai kemuliaan dalam praktik hospitality antara satu individu dan lainnya. Semua pasti sadar dan paham betul, tak ada salam tak ada pula hospitality itu. Tak ada senyum tak ada pula keramahan itu. Itulah standar nilai keramahan yang berlaku dan bisa dirasakan oleh siapa saja yang berada di tengah masyarakat. Seberbeda apapun latar belakang masyarakat yang menawadi individu-individu itu.

Namun semua juga yakin bahwa nilai itu tak akan bisa mewujud dengan sendirinya. Sebab, bagaimanapun, nilai itu abstrak. Itu meskipun semua diri yakin bahwa nilai itu ada dan menjadi bagian dari hidup. Karena itu, untuk bisa konkret, nilai butuh sosok untuk menjadi medan perwujudannya. Latar belakangnya adalah relasi diri individu dengan sesamanya. Dalam kisah yang kuceritakan atas pengalaman kebersamaan di FK UIN Jakarta di atas, sapaan salam dan senyum sebagai sebuah nilai keramahtamahan itu mewujud dalam sosok para mahasiswa. Tentu juga para pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan di fakultas itu.

Sebagai agensi, keberadaan para para mahasiswa, pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan di FK UIN Jakarta di atas berpengauh penting bagi melembaganya nilai kemuliaan yang dirupakan dalam bentuk sapaan salam dan senyum di atas. Buktinya apa? Sapaan salam dan senyum di atas tak selalu bisa didapatkan dan atau ditemukan di unit atau lembaga pendidikan selainnya. “Kami tidak tahu di fakultas lain, tapi di FK ini tradisi itu sudah berkembang sejak awal angkatan pertama mahasiswa kami,” begitu penjelasan Dekan FK UIN Jakarta itu kepadaku dan rombongan. Pada satu satuan pendidikan saja, pemandangan yang tak seragam bisa terjadi. Apalagi di satuan pendidikan yang berbeda-beda.

(Foto: Penandatanganan Perpanjangan MOU Pengampuan Kedokteran, 29/10/2025)

Kisah yang kutemukan di FK UIN Jakarta seperti kuceritakan di atas menjadi bukti betapa agensi itu harus ada untuk penerjemahan dan sekaligus perwujudan nilai dalam kehidupan pribadi dan sosial. Keberadaan mahasiswa angkatan pertama yang sudah mulai mengembangkan tradisi salam dan senyum menjadi penanda bagi tersemai dan melembaganya nilai dan tradisi salam serta senyum di internal warga FK UIN Jakarta di atas. Tanpa mereka, nilai itu tak akan pernah menjadi tradisi yang melembaga di fakultas itu. Tanpa mereka, dalam perkembangan terkini FK UIN Jakarta itu, tak akan mungkin aku dan rombongan tim FK UINSA mendapatkan tingkat hospitality yang religius penuh kesantunan itu seperti yang kuurikan di atas.

Butuh Conditioning

Agensi memang penting. Tapi sosok saja bukan segalanya. Masih butuh proses conditioning. Dan itu artinya butuh kebijakan. Tak akan mungkin agensi bisa bergerak efektif jika tak ada kebijakan yang mengkerangkainya. Dalam konteks menguatnya tradisi salam dan senyum di FK UIN Jakarta di atas, posisi manajemen FK sangat penting. Tampak sekali dari awal, nilai mulia dalam tradisi salam dan senyum itu sudah menjadi kebijakan pimpinan fakultas itu. Kebijakan itu lalu ditegakkan hingga menjadi kebiasaan yang berlaku umum. Karena dilakukan secara konsisten, maka nilai mulia itu lalu bergerak menjadi tradisi yang melekat kuat pada insitusi bersama semua individu yang ada di dalamnya.

Di titik inilah, pentingnya kepemimpinan (leadership) sangat bisa dirasakan. Sebab, proses conditioning atas nilai salam dan senyum di atas hanya bsia terjadi melalui kepemimpinan yang efektif. Ciri utama yang membentuk kepemimpinan jenis ini adalah sunguh-sungguh dan serius. Tak akan pernah ada kepemimpinan efektif jika tak ada kesungguhan dalam praktik kepemimpinan itu. Pula, tak akan pernah ada kepemimpinan efektif jika tak ada keseriusan dalam perilaku kepemimpinan itu. Maka, praktik dan atau perilaku kepemimpinan adalah bagian sentral dari suskesnya pelembagaan nilai.

Kepemimpinan FK UIN Jakarta sejak awal berdirinya tekah menunjukkan kepimpinan yang efektif dimaksud. Kesungguhan dan keseriusan menjadi penciri kepemimpinan tersebut. Itu ditunjukkan oleh praktik dan atau perilaku kerja kepemimpinan mereka. Kebijakan yang dirumuskan secara baik serta pelaksanaan yang penuh kesungguhan dan keseriusan menjadi faktor penting sekaligus penanda efektifnya kepemimpinan mereka dalam penyelenggarakan proses akademik di fakultas itu. Pemandangan yang kudapatkan dalam bentuk penyelenggaraan hospitality dalam bentuk tradisi salam dan senyum seperti kuceirtakan di atas hanyalah buah dari proses tanam yang panjang dari nilai yang diperjaungkan di fakultas itu.

Para agensi kepemimpinan FK UIN Jakarta tidak pernah menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diterimakan. Alih-alih, Amanah itu ditunaikan dengan kesungguhan dan keseriusan yang tinggi. Maka, jika kini fakultas itu tampil dengan nilai tradisi yang terlembagakan dengan kuat, itu bukanlah hal yang mengejutkan. Itu konsekuensilogis saja dari kepemimpinan yang efektif yang telah dipraktikkan. Maka, kepemimpinan FK UIN Jakarta di atas telah memberi bukti bahwa amanah yang diterimakan harus ditunaikan. Bukan malah disia-siakan.

Kinerja terbaik lembaga diawali dengan kepemimpinan efektif yang dicirikan oleh kesungguhan dan keseriusan. Dengan begitu, setiap orang yang berada di bawah kepemimpinan itu akan bisa memfungsikan diri sebagai agensi penting bagi proses pelembagaam nilai yang diyakini itu. Maka, kepemimpinan yang afektif mampu menggerakan setiap diri menjadi agensi penting bagi pelembagan sebuah nilai. Semakin eftkfi kepemimpinan itu, semakin luas agensi yang bisa diciptakan dan digerakkan. 

Lalu Apa Pelajarannya?

 Ada tiga pelajaran yang bisa kupetik dari kisah yang kudapati di FK UIN Jakarta di atas. Pertama, jangan pernah telat mengajarkan akhlaq. Sebab, akhlaq itu soal tata nilai. Wilayah geraknya di hulu kehidupan (baca tulisanku sebelumnya “Mentalitas Clipper”, URL: https://uinsa.ac.id/mentalitas-clipper). Karena itu, pertumbuhan akhlaq tak bisa main sulap. Tak bisa serba instan. Alih-alih, akhlaq harus diperjuangkan. Mengajarkan akhlaq dari dini adalah wujud perjuangan sejati. Karena, kemuliaan diri ditakar secara serius oleh perilaku yang lahir dari akhlaq itu. Saat akhlaq meredup, perilaku tak bisa diharapkan murup. Maka, telat mengajarkan akhlaq hanya akan menjadi awal dari kebangkrutan perilaku anak bangsa.

Pengalaman FK UIN Jakarta seperti diuraikan sebelumnya memberi pelajaran penting: betapa tindak-tanduk yang begitu santun, religius, dan sekaligus ramah-hangat menyapa terhadap sesama ditanamkan dan ditradisikan secara kuat sejak angkatan pertama program studi kedokteran itu diselenggarakan. Sejak saat itu, tradisi itu dilembagakan secara kuat di FK UIN Jakarta itu. Karena itu, keberadaan kelompok mahasiswa angkatan pertama memiliki peranan penting sekali dalam pelembagaan nilai itu. Berawal dari kelompok mahasiswa pioner, mahasiswa kelompok angkatan pertama itu lalu mengembangkan lebih lanjut dan sekaligus menurunkan tradisi itu ke kelompok angkatan dibawahnya, dan begitu pula seterusnya.

Kedua, hendaknya setiap diri menjadi contoh terbaik. Kalau tak bisa menjadi role model bagi yang lain, minimal tak menjadi contoh keburukan. Maka, menjadi baik adalah kewajiban masing-masing diri. Menjadi diri yang baik adalah awal dari baiknya lingkungan. Kewajiban itu makin membesar saat seseorang beraktivitas menjadi pendidik. Apalagi, aktivitas itu menjadi profesi yang digeluti. Maka, tak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunaikan kewajiban profesi itu kecuali menjadi teladan baik bagi peserta didik yang berada di bawah tanggung jawab kependidikannya.

Setiap diri hendaknya bergerak dengan kesadaran penuh. Bahwa ada individu-individu di sekitarnya yang menjadikannya sebagai rujukan hidup. Individu-individu itu memang butuh contoh konkret dalam hidup. Mereka memerlukan teladan nyata atas nilai yang mereka percayai sebagai basis hidup mereka. Nah, saat individu-individu itu tak menemukan orang di lingkungan terdekatnya sebagai teladan baik, maka mereka pasti akan mengalami kelimbungan mental-spiritual. Mereka akan mengalami kesulitan bagaimana nilai itu bisa dikonkretkan dalam pengalaman hidup. Jika sudah begitu, maka mereka bisa mengalami disorientasi hidup. Sebegitu seriusnya dampak perilaku setiap diri terhadap lingkungan sosial terdekatnya.

Karena itu, prinsip “hendaknya setiap diri menjadi contoh terbaik” di atas, sejatinya, tak hanya berlaku bagi pendidik. Melainkan juga bagi semua diri yang suka tidak suka pasti akan menjadi rujukan hidup sesamanya. Apakah sesamanya itu bernama murid. Ataukah mahasiswa. Ataukah bernama anak. Atau bahkan tetangga sebagai lingkungan terdekat. Atau bahkan mungkin warga masyarakat pada umumnya. Mereka-mereka itu butuh teladan untuk hidup. Semua itu dibutuhkan agar nilai yang mereka yakini atau percayai bisa mudah ditunaikan. Maka, setiap diri jangan sampai kehilangan keteladanan. 

Ketiga, jaga lingkungan secara baik melalui kemuliaan akhlaq dan perilaku. Sebab, perilaku buruk diri menunjukkan buruknya kondisi akhlaqnya. Sebaliknya, perilaku mulia diri melukiskan mulianya kondisi akhlaqnya. Nah, baik atau tidaknya perilaku itu akan segera membentuk ekosistem sosial yang akan melingkupi. Saat yang mengemuka adalah perilaku buruk, maka yang akan mengembang juga adalah ekosistem sosial keburukan. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, akhlaq menjadi pembentuk paling mendasar dari eksosistem sosial. Maka, jangan sepelekan akhlaq. Selain akan melahirkan perilaku, akhlaq juga akan menjadi pengembang ekosistem sosial di tengah kehidupan masyarakat.

Lebih-lebih saat dikaitkan dengan kinerja institusi yang membawahi keberadaan diri individu. Tentu buruknya akhlaq diri individu itu akan berpengaruh langsung terhadap keberadaan institusi. Sebab, buruknya akhlaq diri individu itu pasti akan melahirkan perilaku kerja yang buruk pula. Begitu pula saat akhlaq diri individu itu baik, maka akan baik pula perilaku kerjanya. Nah, baik atau tidaknya perilaku kerja individu itu akan berpengaruh langsung terhadap kinerja insitusi yang menjadi tempat kerjanya. Minimal, kinerja institusi akan tercoreng jika perilaku kerja pegawainya bopeng. Dan, itu berawal dari kondisi akhlaq diri individu yang ada di dalam insitusi itu. Karena itu, kemuliaan akhlaq dan perilaku harus dijaga betul oleh masing-masing individu karena langsung berdampak pada kinerja institusi yang membawahinya.

Pendidikan memang soal value. Ia tak boleh mengesampaikan standar nilai. Apalagi kehilangan nilai sama sekali. Sebab, ritual yang bernama pembelajaran bukan sekadar penyampaian materi yang kosong nilai. Ia pasti dan harus sarat nilai. Bukan sekadar ritual yang diberlangsungkan melalui proses rutin semata. Kisah yang terjadi di FK UIN Jakarta di atas memberi bukti konkret bahwa pendidikan dan nilai itu ibarat dua sisi mata uang. Tak bisa dipisahkan. Saat nilai hilang, pendidikan sejatinya telah runtuh adanya. Maka, nilai itu butuh dilembagakan. Dan proses pelembagaan nilai itu harus diselenggarakan dengan kesungguhan yang penuh pada lintas diri sebagai agensi di dalam sebuah institusi.

Karena pendidikan itu tentang value, maka siapapun yang sudah berada dalam panggung di atasnya tak sepatutnya kehabisan nilai. Apalagi lalu kehilangan nilai sama sekali. Sebab, bagaimana mungkin dan bisa menjadi produsen, atau minimal penyampai nilai, jika mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan itu miskin nilai. Miskin saja tak boleh, apalagi tak punya sama sekali. Maka, apapun nama yang digunakan dan berlaku di tengah komunitasnya, pendidik jangan sampai mengalami kefakiran nilai. Fakir nilai ini tak selalu ada kaitannya dengan kualifikasi akademik. Bisa saja kualifikasi akademik tinggi, tapi fakir nilai tetap bisa mengancam tingginya kualifikasi akademik itu. Sebab, nilai dalam kaitan itu telah gagal mengiringi tingginya kualifikasi akademik yang disandangnya itu.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA