
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Meja makan sudah penuh dengan jamuan. Makanan dan minuman siap jadi santapan. Sejumlah sajian menu memang sebelumnya sudah dipesankan. Hingga menu pembuka, utama, dan penutup pun sudah disiapkan. Tinggal menikmati saja dengan penuh kenikmatan. Malam itu, Minggu (21 September 2025), jamuan makan malam sedang diadakan. Di Restoran Prima Rasa Jl. A. Yani Surabaya yang posisinya sangat mudah ditemukan. Karena memang berada di jalan utama Surabaya yang terkenal sebagai Kota Pahlawan.
Di restoran itu, duduklah kami berlima di ruangan sajian di bagian depan. Di situ, ada Pak Dr. Ismail Cawidu, M.Si dan Prof. Dr. H. Andi Salman Maggalatung, SH., M.H. Masing-masing dari keduanya adalah Staf Khusus dan Tenaga Ahli Menteri Agama RI. Selain mereka, juga ada Pak Jojon Novandri, Tenaga Ahli Menteri Agama RI. Mereka bertiga duduk di kursi berhadapan denganku. Selain mereka bertiga, ada pula Prof. Arskal Salim, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Kebetulan pada jamuan makan malam itu, dia duduk di sebelahku.
Kami berlima menikmati sajian makan malam kala itu. Satu persatu menu makanan kita lahap. Nikmat sekali rasanya. Suasana makin terasa makin gayeng karena diselingi dengan pembicaraan ringan atas sejumlah hal. Ya, salah satunya di tengah makan malam itu ada pembicaraan ringan soal kasus video viral pejabat sebuah kantor kementerian di sebuah daerah. Viralnya karena perilakunya yang sangat disayangkan pada sebuah acara formal tempatnya memimpin kantor itu. Ada tindak laku buruk yang sulit diterima dari sisi apapun. Yakni, melempar stand microphone ke arah stafnya.
Semua di antara kami sungguh menyayangkan tindak laku itu terjadi. Apalagi tindak laku itu dilakukan oleh seorang pejabat tertinggi di satuan kerja pemerintahan yang dipimpinnya. Sebab, di tengah kuatnya sorotan publik atas tampilan pejabat yang tengah menjadi perhatian publik kala itu, tindak laku buruk pejabat daerah di sebuah acara formal itu dikhawatirkan akan memicu sentimen negatif publik lebih jauh. Tak ayal, ungkapan keprihatinan pun mengemuka malam itu. Bahkan disertai dengan uraian kalimat yang keluar sebagai ungkapan konkret atas keprihatinan yang mendalam itu.
Singkatnya, kami semua yang sedang menyantap sajian makan malam kala itu menyayangkan hal itu terjadi. Namun, tiba-tiba kami semua dikejutkan dengan pernyataan yang keluar menyelinap. “Tapi, ada lagi yang lebih berbahaya sebetulnya, yakni clipper,” begitu bunyi kalimat yang mengejutkan itu. Sebab, tiba-tiba saja kalimat itu disampaikan oleh Dr. Ismail Cawidu, M.Si di tengah bincang ringan atas kasus pejabat daerah itu. Ya, kata clipper yang disebut oleh Staf Khusus Menteri Agama RI itu bikin kami semua terhenyak. Bahkan tersentak. Sambil mencoba mencari tahu kepadanya atas apa yang dimaksud dengan istilah clipper itu.
Kami berempat pun lalu mencoba mengorek lebih jauh apa makna clipper di situ. Karena disebutnya sebagai lebih berbahaya daripada viralitas video biasa, maka kami pun mencoba mendapatkan penjelasan lebih lanjut atas makna kata itu. “Clipper itu orang yang memotong-motong video, lalu merangkai kembali potongan-potongan video itu untuk memenuhi maksud dan kepentingannya sendiri.” Demikian penjelasan Pak Dr. Ismail Cawidu, M.Si itu. “Videonya sih asli, bukan hoax, tapi diambil sepotong-sepotong lalu dirangkaikan dengan potongan video lainnya untuk kepentingan tertentu yang dia inginkan secara sepihak,” jelasnya lebih lanjut.
Lalu di mana bahayanya? Dalam penjelasan detailnya, Pak Dr. Ismail Cawidu, M.Si mendetailkan begini: “Video-video itu dipotong dengan dilepaskan dari konteks utuhnya. Maksud awal video aslinya tidak seperti yang dimaksudkan oleh clipper itu dalam rangkaian potongan-potongan video itu.” Dia pun lalu melanjutkan penjelasannya seperti ini: “Pemotongan dan perangkaian kembali clip-clip dari berbagai video itu kemudian dirangkai dengan selainnya sedemikian rupa seakan-akan potongan-potongan video itu mengirimkan maksud dan makna tertentu seperti yang dia inginkan. Padahal, aslinya, video-video yang dia potong-potong itu tidaklah seperti dalam maksud yang sedang dia targetkan itu.”
Wow, dahsyat! Ada praktik framing di situ. Ada praktik pembelokan makna di situ. Ada tindak “pembalakan liar” pada video-video asli yang sebelumnya telah beredar luas. Video-video itu sih asli. Bukan palsu. Bukan hasil karya artificial intelligence yang penuh rekayasa teknologi audiovisual. Bukan. Sama sekali bukan! Tapi semua video asli itu dibolak-balik, “dibalak liar”, dan dibelokkan maknanya. Untuk kepentingannya sendiri. Dan tentu merugikan siapapun yang berada dalam video itu. “Itulah clipper, dan begitulah bahayanya orang yang berkelakuan seperti itu,” pungkas Staf Khusus Menteri Agama RI yang akrab dipanggil Pak Ismail itu.
Dari Mentalitas ke Perilaku
Apakah pelaku tidak tahu bahwa memotong-motong video dan melepaskannya dari konteks asalnya itu sebuah kesalahan? Apakah tidak tahu bahwa menyelewengkan makna dari aslinya itu sebuah kejahatan? Akal sehat pasti akan mengatakan itu sebuah kesalahan- kekeliruan. Nalar yang waras pasti akan meyakini itu sebuah kejahatan. Tapi, pertanyaannya, mengapa lalu semua itu tetap dilakukan? Mengapa praktik itu tetap dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan ini pasti akan ditanyakan oleh akal sehat. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti ada di dasar pikiran orang yang waras.
Maka, jawabannya bisa begini: Semua itu mengandung arti bahwa clipper itu sudah menjadi mentalitas. Lahir karena dibiasakan. Pembiasaannya terjadi karena dibalut oleh kepentingan yang menjadikannya menghamba kepadanya. Kepentingan dimaksud bisa material dan bisa pula intelektual-nonmaterial. Dalam cakupan kepentingan material adalah kepentingan kuasa ekonomi maupun politik. Di balik praktik clipping pada cakupan kepentingan material itu tersembul kepentingan untuk memenuhi kehausan atas kuasa ekonomi dan kuasa politik.
Adapun kepentingan intelektual-nonmaterial membentang luas pada kuasa psikososial. Masuk dalam cakupan ini adalah syahwat yang kuat untuk melakukan dominasi pengaruh pribadi atau kelompok atas selainnya di tengah-tengah masyarakat. Di balik praktik clipping pada cakupan kepentingan intelektual-nonmaterial ini adalah aksi berebut pengaruh sosial bersama selainnya yang ada di tengah masyarakat. Bisa saja ujung dari aksi berebut pengaruh sosial ini adalah rebutan kuasa ekonomi atau politik. Tapi bisa pula berhenti pada aksi rebutan pengaruh sosial itu sendiri.
Karena itu, clipper harus dimaknai sebagai sebuah mentalitas. Kuat-tidaknya bergantung pada seberapa mendalam dan mencengkeram mentalitas itu telah menyatu pada diri pelakunya. Dalam bahasa tasawuf, itulah kira-kira alasan mengapa al-Imam al-Ghazali memaknai akhlaq itu sebagai kondisi hulu, bukan hilir. Yakni, kondisi intrinsik dalam jiwa seseorang yang kuat terpateri yang melahirkan perilaku tanpa perlu banyak mikir dan pertimbangan. Al-Ghazali menyebut kondisi “terpateri kuat” dimaksud dengan istilah rasikhah. Kata ini tampak disebut sebagai faktor pembentuk dan penentu dari sebuah mentalitas diri, karena ia langsung menentukan mendalam dan mencengkeramnya mentalitas itu pada diri seseorang.
Mentalitas diri itulah yang disebut dengan, dan sekaligus menjadi wilayah garap, akhlaq. Dan akhlaq itu berada dalam area hulu. Hilirnya adalah perilaku, dan itu disebut dengan af’al. Al-Ghazali memang menyebut area hulu dengan istilah al-mashdar. Sebab, saat sudah terpateri kuat sebagaimana diilustrasikan oleh kata rasikhah, sebagaimana disebut di atas,maka ia segera menjadi hulu. Nah, hilirnya disebut dengan af’al atau perilaku. Di titik dan konteks inilah, al-Ghazali menempatkan posisi akhlaq dalam relasinya dengan istilah af’al itu. Apa yang keluar dalam ranah af’al adalah cerminan dari kondisi akhlaq. Gambar petikan halaman dari Kitab Ihya’ Ulumiddin Karya al-Ghazali di bawah ini sangat ilustratif.

Nah mentalitas itu ada pada wilayah hulu. Saat mentalitas itu buruk, maka buruk pula perilaku yang lahir. Begitu pula sebaliknya; saat mentalitas terpuji, maka terpuji pulalah perilaku yang terlahir. Perilaku yang suka memotong-motong video, lalu merangkainya kembali setelah membolak-balikkannya, dan melakukan “pembalakan liar” atasnya serta membelokkan maknanya untuk kepentingan tertentu sesuai kepentingannya secara sepihak adalah sebuah kejahatan, dan bukan sekadar kekeliruan biasa. Perilaku ini lahir dari mentalitas clipper. Meminjam ungkapan al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin di atas, perilaku buruk nan jahat tersebut dinamakan dengan af’al qabihah, dan mentalitas clipper yang melahirkannya disebut dengan akhlaq hasanah.
Clipper Dua Dunia
Clipper tak hanya ada di dunia maya. Di dunia fisikal-nyata, clipper itu ada senyatanya. Itu semua karena clipper sudah menjadi mentalitas pada sejumlah individu di tengah masyarakat. Mentalitas itu tidak menjadi dominasi kelompok sosial tertentu atas selainnya. Atau oleh profesi tertentu atas selainnya. Mentalitas ada di hampir semua lini kehidupan sosial. Di tengah kehidupan keseharian, sebagai misal, mentalitas itu bisa ditemukan. Orang dengan mudahnya memotong-motong isi pembicaraan, gagasan, atau pemikiran sesama, lalu merangkainya kembali dengan rangkaian sesuai yang diinginkan untuk kepentingan dirinya. Pemilik pembicaraan, gagasan, dan pikiran itu pun lalu dirugikan karenanya.
Di tempat kerja pun, mentalitas itu juga bisa berkembang. Bahkan terkadang tak peduli apakah tempat kerja itu mengandalkan kekuatan fisik atau kekuatan pikiran. Semua bisa terpapar oleh mentalitas itu. Selama di sana ada ruang kehidupan sosial, di situ mentalitas itu tak pernah bisa dinihilkan. Itu semua karena hidup masing-masing individu tak pernah lepas dari kepentingan internal yang melingkupinya. Karena itu, keberadaan clipper bisa di mana saja. Hingga di ruang publik yang mempertemukan banyak individu di alamnya sekalipun. Tak terkecuali juga di tempat kerja.
Clipper dua dunia lalu menjadi fenomena nyata. Apalagi, dunia maya memang representasi dari dunia regular-manual-fisikal. Bahkan jika kita lakukan upaya ekspansi atas konsep media as representation dalam kerangka besar teori mediascape yang dikembangkan oleh Arjun Appadurai (lihat “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy,” Public Culture, vol. 2, no. 2 (Spring 1990): 1–24), kita segera bisa memahami tentang keberadaan dunia maya sebagai representasi dunia manual-reguler-fisikal. Pada saat konsep itu dikembangkan di tahun 1990 oleh Appadurai, memang media hanya bisa dibagi ke dalam kategori print dan electronic. Tetapi ruh dari konsep itu sejatinya bisa pula dikembangkan untuk juga mengafirmasi posisi dunia maya sebagai media penyebaran informasi.

Maka, media digital bisa pula dipahami sebagai pengembangan lanjutan dari media elektronik seperti dalam bayangan Appadurai saat dia membangun teorinya di atas. Karena itu, apa yang terjadi dengan fenomena clipper secara khusus pada kasus pembahasan tulisan ini sejatinya juga bisa dipahami secara inferensial sebagai representasi atas apa yang mungkin dan potensial terjadi di dunia regular-manual-fisikal. Karena itu, mentalitas clipper juga mewujud dalam dunia yang disebut terakhir. Sebab, lagi-lagi, media hanyalah representasi dari yang senyatanya. Dan karena itu, apa yang terjadi di dunia media digital juga merepresentais kecendeurngan yang serupa di dunia regular-manual-fisikal sebagaimana dimaksud di atas.
Sebagai konsekuensi lanjutannya, perilaku yang suka memotong-motong video, lalu merangkainya kembali setelah membolak-balikkannya, dan melakukan “pembalakan liar” atasnya serta membelokkan maknanya untuk kepentingan tertentu sesuai kepentingannya secara sepihak di atas sejatinya juga menunjukkan kuatnya kecendeurngan mentalitas clipper di atas. Maka, tak heran jika perilaku clipping yang culas nan jahat itu mewujud secara serupa, baik di media digital maupun dunia regular-manual-fisikal. Tak ada dominasi satu atas lainnya. Itu semua karena clipping sudah menjadi mentalitas di sejumlah individu di tengah masyarakat.
Lalu Apa Pelajarannya?
Minimal ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari fenomena clipper di atas. Pertama, dunia makin sempit nan mengimpit, karena itu berhati-hatilah beraktivitas di ruang publik. Salah satu bentuk konkretnya adalah selalu dalam kewaspadaan dan kesadaran yang terukur atas semua potensi yang bisa terjadi. Yakni minimal bahwa akan selalu ada mentalitas clipper dalam kehidupan di ruang publik. Potensi kejadian seperti itu membuat seakan tak ada ruang tersisa untuk berbagi di ruang publik. Maksud berbagi kebajikan tak selalu berakhir pula dengan kebajikan serupa. Mentalitas clipper kerap menjadi penyebab terjungkirbalikkannya maksud an pesan kebajikan itu.
Suka atau tidak suka itu soal biasa. Apalagi dalam hidup luas bersama masyarakat. Tapi, saat rasa tidak suka dikonversi menjadi perilaku clipping, maka pelakunya berarti sedang membunuh ruang publik. Ruang yang sejatinya menjadi medium penanaman dan penyebaran nilai kebajikan bersama dirampas oleh kehendak untuk memuaskan dahaga yang menyusu kepada kepentingan pribadi. Hak publik atas edukasi yang positif atas nilai bersama pun terhempaskan oleh tindak laku culas clipping itu.
Lebih bahayanya lagi, pemutarbalikan pesan yang tak lagi sesuai dengan maksud asli pemiliknya itu disebarluaskan ke publik. Publik pun diharu-biru karenanya. Tanpa ada kesempatan untuk bisa melakukan proses verifikasi dan validasi atas isi pesan yang sudah diputarbalikkan dimaksud, mereka lalu dilanda oleh pemahaman palsu atas substansi dasar nan asli yang dikandung oleh maksud dari pesan asal. Di sinilah lalu publik tak dicerdaskan oleh penyebarluasan pesan yang liar akibat diputarbalikkannya maksud dari pesan awal yang dikandung. Apalagi, tak setiap individu di tengah masyarakat terbekali dengan kecakapan tertentu yang memadai untuk melakukan validasi dan verifikasi atas kebenaran pesan yang ditebar luas.
Kedua, tak mudah percaya atas yang viral adalah sikap kehati-hatian yang baik. Tak begitu mudah menerima pesan yang beredar adalah langkah yang terukur. Sebab, proses verifikasi dan validasi atas berbagai informasi yang datang menjadi langkah penting dalam kehidupan bersama. Apalagi, informasi kerap datang sendiri walau tak dicari. Kekuatan teknologi informasi telah membuat semua jadi mudah tersebar dan memudahkan publik untuk mengkonsumsi walau tak mesti menghendaki. Karena itu, sikap tak mudah percaya atau minimal tak begitu mudah menerima pesan yang viral adalah cara paling minimal dalam menghadapi penyebaran informasi hasil clipping di atas.
Kita sering diingatkan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Karena sebaik-baik orang adalah yang paling tinggi tingkat kebermanfaatannya bagi sesama. Maka, jika tak bisa membuat orang lain senang, minimal jangan menyakiti. Jika tak bisa membuat sesama tersenyum, minimal jangan melukai. Mentalitas clipper tentu tak memenuhi ekspektasi publik atas nilai kebermanfaatan. Apalagi dikaitkan dengan kepentingan edukasi publik, tentu tak ada manis-manisnya sama sekali dari praktik clipping itu. Lalu, apalagi yang ditunggu untuk berubah dari mentalitas clipper?