Articles

Awal pemerintahan Jokowi, jargon kerja, kerja, kerja sangat populer dan mengilhami setiap aparatus negara untuk meningkatkan kinerjanya. Jargon Kerja, kerja, kerja cenderung bermakna pada aktivitas fisik, aparatus negara lebih menjadi buruh bahkan menjadi robot. Ini karena penekanannya pada tenaga fisik, manusia sekedar menjadi buruh (labor). Hannah Arendt dalam karyanya human condition menunjuk tiga kondisi fundamental manusia yang tertuang pada vita activanya, yaitu labor (tenaga kerja), work (kerja), dan action (tindakan). Vita Activa adalah istilah Arendt untuk hal-hal yang bersifat aktif, sesuatu yang niscaya bagi manusia dan benar-benar melakukannya sebagai kodratnya. (Arendt,1998: 7-16, 22-28 dan 192).

Kehidupan manusia dalam keseharian tidak terlepas dari prinsip vita activa sebagai human conditions. Manusia harus bekerja disampig untuk memenuhi kebutuhan hidup juga untuk melatih fisik tubuh agar tetap bugar. Manusia turut terlibat dalam karya, baik pribadi maupun sosial untuk menunjukan keterlibatan manusia dengan the others. Melalui karya, manusia bisa dikenal, dipuji, dikritik dan dicaci untuk meneguhkan eksistensinya. Tindakan merupakan puncak eksistensi manusia sebagai distinguished dengan makhluk lainnya dan untuk menjaga Marwah eksistensinya.Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi unsur vita activa Arendt dalam kehidupan keseharian manusia.

Dana R. Villa dalam karyanya, Arendt and Heidegger, menganggap Labor (buruh) bagi Arendt merupakan cara dimana kita melakukan kegiatan sehari-hari yang membuat kita hidup, makan, minum, setiap kegiatan yang berhubungan dengan mereka (memasak). Work (karya), bagi Arendt berarti kegiatan produktif, dalam arti bahwa proses diikuti untuk mewujudkan suatu objek material. Kerja, kata Arendt, menciptakan dunia di sekitar kita. Tindakan – ini juga merupakan kegiatan produktif, yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal material. Tindakan adalah apa yang manusia lakukan ketika mereka berkomunikasi satu sama lain. (Villa, 1996: 3-15). 

Menurut Arendt, korelasi sinergis dalam Vita Activa mengenai kerja (labor), karya (work) dan tindakan (action): pertama, Labor.  Kerja (labor) menurut Arendt merupakan kebutuhan manusia agar dapat menjalani kehidupan. Manusia sebagai animal laborans hampir identik dengan binatang karena ketundukannya pada cara memenuhi kebutuhannya. Dalam konteks animal laborans, maka identitas manusia hanya dikonsentrasikan pada eksistensi dirinya berupa tubuh dan kodrat biologisnya, sehingga keberadaannya hanya dalam lingkaran memproduksi dan mengkonsumsi. Animal laborans merupakan istilah Marx dalam memandang eksistensi manusia dalam dunia. Ini kemudian dikritik Arendt bahwa manusia dalam dunia tidak sekedar memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi juga kebutuhan mental, yang selanjutnya disebut homo faber sebagai bagian dari karya manusia.

Kerja (labor) adalah kegiatan yang berhubungan dengan proses biologi dan kebutuhan eksistensi manusia yang diperlukan untuk pemeliharaan kehidupan itu sendiri. Dalam aspek kemanusiaan, keberadaan (labor—kerja) paling dekat dengan hewan. Arendt mengacu pada eksistensi manusia dalam modus ini sebagai animal laborans. Arendt berpendapat bahwa buruh (labor—kerja) bertentangan dengan kebebasan. Berdasarkan pada pemahaman karakterisasi kerja, maka tidak mengherankan jika Arendt sangat kritis terhadap elevasi animal laboransnya Marx pada posisi tertinggi keberadaan manusia. 

Kedua, Work (karya).Jika kerja (labor) berkaitan dengan dimensi alam dan biologis keberadaan manusia, maka work (karya) adalah kegiatan yang sesuai dengan keberadaan manusia. Karya (work), baik sebagai techne dan poiesis menciptakan sebuah dunia yang berbeda dari apa yang diberikan alam. Manusia melalui karya (work) dapat menciptakan objek tentang sesuatu dengan menguasai alam, sehingga keberadaannya diidentifikasi oleh Arendt dengan istilah homo faber. Dengan kerja (labor), manusia dapat mengaktualisasikan kebahagiannya dalam aktivitas tersebut. Sedangkan dalam karya(work), manusia menciptakan instrumen yang mempermudah kelangsungan hidupnya atau sarana aktualisasi diri untuk tujuan tertentu. (Arendt, 1998: 153-157). 

Pada sisi lain, kerja cenderung mengabaikan kehadiran yang lain (the others). Yang ada hanyalah keseragaman, karena kerja tidak mendasarkan diri pada identitas individu bahkan berusaha menghapus kesadaran individu yang khas dan unik. Sementara itu, pada karya kehadiran yang lain (the others) dibutuhkan sebatas pengakuan diri oleh orang lain agar legitimate. Karya mengandaikan dunia sejauh keberadaan yang lain menjadi pelengkap dari orientasi diri subjek yang menginginkan legitimasi secara sosial dan individual. Identitas individu bersifat pamrih sehingga kesadaran yang dibangun pun atas dasar ke pamrihan serta keterpaksaan tadi. Otentisitas manusia dan kesadarannya menjadi hal yang mustahil jika didasari oleh pentingnya sarana untuk mencapai tujuan tertentu.

Apa yang diperoleh dengan kerja adalah sesegera mungkin dikonsumsinya. Kerja tidak pernah mereproduksi apa pun kecuali hanya untuk hidup. Kerja dan makan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Arendt tampaknya menunjukkan bahwa kerja (mengumpulkan untuk kebutuhan hidup) diperluas sedemikian rupa, bahwa kita bukanlah sekedar buruh (labor—kerja). Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya ―mencari nafkah, maka kita adalah buruh tetap. Kami kerja untuk kelangsungan hidup tubuh kita sendiri maupun untuk kelangsungan hidup masyarakat. Ini adalah bentuk keputusan hidup terakhir terutama melampaui ruang lingkup yang menyenangkan. Artinya kita bukanlah buruh kerja semata. (Arendt, 1998: 126-129 dan 167-172)

Ketiga, Action (tindakan): Manusia sebagai Zoon Politikon. Tindakan adalah aktivitas tunggal yang tidak dapat terjadi tanpa manusia lainnya. Bagi Arendt, tindakan merupakan sebuah aktivitas ―bersama‖ dengan manusia lainnya. Definisi fundamental mengenai kualitas tindakan adalah kebebasan yang tidak dapat tereliminasi. Dalam mendefinisikan tindakan sebagai kebebasan, dan kebebasan sebagai tindakan, kita dapat melihat pengaruh Agustinus pada pemikiran Arendt. Dari filsafat politik Agustinus dia mengambil tema tindakan manusia sebagai awal eksistensi. (Arendt, 1998: 230-240). Arendt menyebutkan bahwa hanya dalam tindakan manusia dapat menemukan otonomi eksistensinya. Dalam tindakan, manusia berusaha membuka tirai kemanusiaannya sebagai subjek yang memulai sesuatu serta yang mengatur dunia. Implikasi praktis dari hal ini adalah manusia menjadi subjek yang bertanggung jawab sehingga identitas diri dan kesadarannya menjadi terbuka karena ia mengetahui keberadannya dalam hubungannya dengan yang lain. (Arendt, 1998: 181-187)

Manusia mengusahakan sendiri apa yang menjadi tujuan keberadaannya tanpa intervensi dari orang lain. Dalam konteks politik, manusia sebagai zoon politikon berusaha membangun ruang publik yang ditandai pluralitas karena dalam kebersamaannya manusia dapat membangun identitas diri yang unik dan berbeda dari yang lainnya. Dengan terciptanya ruang publik maka manusia mampu menyingkapkan identitas diri dan pelaku tindakan yang lainnya melalui komunikasi. Disini ada kesamaan gagasan dengan pemikiran Habermas tentang teciptanya suatu dunia yang bebas dari hegemoni melalui komunikasi. Habermas menekankan tindakan komunikasi pada dimensi bahasa. Bahasa yang mampu membuka kesetaraan manusia dengan lainnya. Arendt menekankan kebersamaan dengan yang lainnya melalui komunikasi yang titik tekannya pada interaksi dengan sesama secara fisik. (Arendt, 1998: 230-235)

Bagi Arendt, komunikasi dapat berjalan dalam sebuah ruang publik. Dalam ruang publik, manusia dapat memaknai tindakannya karena tumbuhnya kebebasan, solidaritas dan ingatan kolektif yang diakui secara masif. Pada konteks ini, muncul dua bentuk konsekuensi dari tindakan, yaitu tindakan manusia tidak dapat diramalkan (unpredictable) serta sebuah tindakan tidak dapat diulang dari titik awalnya (irreversible). Tindakan yang unpredictable hanya bisa dijawab oleh permohonan maaf, sedangkan tindakan irreversible hanya dapat dilakukan dengan permohonan ampun. (Arendt, 1998: 243-247)

Arendt memahami tindakan berdasarkan pada analisis verstehen, yatu suatu tindakan dipahami dalam konteks sosialnya serta relevansi makna dan sebab kausalitasnya. Arendt berbeda dengan  Weber, Habermas, dan Ricoeur. Ketiganya melihat tindakan dipahami dalam kerangka intensitas pelakunya serta keterkaitan arti dari tindakan. Implikasi praktisnya adalah sebuah tindakan tidak dipahami berdasarkan hitam putih tindakan an sich, melainkan tingkat probabilitas dari tindakan yang memungkinkannya menjadi suatu wacana yang terbuka sehingga dapat dipahami walaupun tidak dalam konteks waktunya. Arendt melihat tindakan dalam konteks politiknya yaitu manusia bertindak sebagai aktualisasi zoon politikon dimana tindakan dapat dijadikan sarana untuk menciptakan otonomi manusia. Tindakan tidak hanya berada dalam konteks individual belaka, melainkan menemukan maknanya dalam relasi sosial yang diwujudkan dengan cara mencipta ruang publik bagi solidaritas yang kolektif.

Vita activa (kerja, karya dan tindakan) dapat dilihat sebagai fenomenologi yang mengungkap struktur tindakan manusia sebagai eksistensi dan pengalaman ketimbang konstruksi konseptual abstrak atau generalisasi empiris tentang apa-apa yang dilakukan orang. (248) Menurut Arendt, pendekatan fenomenologis mengambil bagian politik secara lebih umum sebagai konseptualisasi filosofis atas pengalaman hidup. (Villa, 1996: 16-20) Artinya, dunia pengalaman umum dan interpretasi (lebenswelt) diambil menjadi pengetahuan dasar teoritis bahwa pengalaman umum dalam bentuk tematisasi atau ekstrapolasi primordial dan pra-reflektif yang hadir dalam pengalaman sehari-hari. Arendt sangat jelas mengikuti pola fenomenologi Husserls melalui “bracketing” (epoche) terhadap dunia pengalaman sebagai karakter asli pengalaman politik. (Arendt, 1993)

Arendt melakukan penyelidikan historis-filosofis mengenai demokrasi dan filsafat politik dari Yunani kuno dan membawa pemahaman ini secara murni pada kehidupan politik di era modern. Tujuannya adalah untuk mengajukan sebuah rekonstruksi fenomenologis aspek yang berbeda dari aktivitas manusia, sehingga untuk lebih membedakan antara jenis tindakan dan keterlibatan yang berhubungan eksistensi politik. Dengan demikian, dia menawarkan kritik terhadap filsafat politik tradisional dan bahayanya pada dunia politik sebagai domain otonom dari praktek manusia. (Arendt, 1993: 285)

Referensi

Hannah Arendt, The Life of the Mind, 2 vols. (New York: Harcourt, Brace Jovanovich, Inc., 1978)

Hannah Arendt, The Human Condition, 2nd edition (Chicago: University of Chicago Press, 1998)

Hannah Arendt, On Revolution, Harmondsworth, Mx: Penguin Books, 1970,

Hannah Arendt, On Violence, Harcourt Brace and Co, New York: A Harvest Book, 1993,

Hannah Arendt, Between Past and Future: Eight Exercises in Political Thoughts. (New York: Penguin Books, 1993)

Dana R. Vila, Arendt and Heidegger (New Jersey: Princeton University Press, 1996)

[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]