Pembicaraan makin seru. Petang itu. Kamis, 15 Agustus 2024. Jam persis menunjuk angka 19:25 WITA. Kala itu, aku sedang menunggu penerbangan balik dari Denpasar menuju Surabaya. Di terminal domestik Bandara I Gusti Ngurai Rai International Airport. Pembicaraan itu mengenai produk coklat. Namanya Falala Chocolate. Pembicaraan makin seru saat kami berempat berada di depan toko penjual Falala Chocolate itu. Bersamaku ada Prof. Wiwik Setiyani (wakil rektor UINSA), Bu dr. Raz Fides Umi (wakil dekan Calon Fakultas Kedokteran), dan Mas Ahmad Yusuf (wakil ketua tim asistensi pendirian Fakultas Kedokteran). Kami memutuskan untuk membeli produk coklat yang lagi viral itu. Lalu, antrelah kami semua di depan counter Falala Chocolate itu.
“Produk coklat kan banyak, kenapa Falala Chocolate sebagai pendatang baru begitu laku keras ya?” ujar bu dr. Raz Fides Umi kepadaku persis saat antri untuk membeli Falala Chocolate di depan counter resmi coklat dimaksud. “Maknanya nih, bu dokter, jangan pernah takut untuk menjual produk layanan meskipun pemain bisnis di wilayah itu sudah banyak,” sahutku kontan begitu mendengar pernyataan bu dr. Raz Fides Umi itu. Begitulah diskusi ringanku bersamanya yang lebih akrab dipanggil dr Umi itu. Persis saat menunggu antrean pembelian Falala Chocolate di depan counter resmi penjual coklat dimaksud.
Pertanyaan lalu muncul: apa yang bisa dipelajari dari meroketnya penjualan coklat merek Falala itu? Bagaimanakah pemilik Falala Chocolate melakukan strategi bisnisnya dalam memasarkan produknya di tengah kuatnya persaingan bisnis jualan produk coklat? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dibahas secara memadai. Agar semua pelaku penyelenggaraan bisnis apapun bisa mengambil pelajaran dari bisnis Falala Chocolate. Maka, informasi tentang bisnis Falala Chocolate penting dipetakan. Juga, strategi komunikasi penjualan Falala Chocolate kepada publik melalui akun media sosialnya penting juga ditelaah secara memadai.
Penting dicatat, Falala Chocolate bukan produk lama. Ia baru saja berdiri dan ditawarkan ke pasar sejak 10 April 2020 (lihat: https://falalachocolate.com/). Itu artinya kehadirannya berbarengan dengan merebaknya virus Covid-19 yang mengharubiru manusia di seluruh penjuru dunia. Karena virus itu lalu menjadi pandemi. Semua orang merasakannya. Semua orang terkena dampaknya. Tanpa ada satupun di antara mereka yang bisa bersembunyi dari daya jangkau dan pengaruh dari virus yang kecepatan daya rebaknya sangat tinggi itu. Nah, Falala Chocolate justeru hadir di saat semua anak manusia sedang menderita oleh terpaan virus yang persebarannya telah terbukti dan dirasakan sangat eksponensial itu.
Jadi, usia Falala Chocolate masih baru empat tahun saat kisah yang menjadi materi tulisan ini kualami. Pembuat dan pelaku inventifnya adalah anak usia muda. Ya, pasangan suami-istri asal Ubud Bali yang masih berusia 20 tahunan. Betul-betul masih sangat muda. Bukan orang yang sudah dewasa dari sisi usia. Meski begitu, inovasi dan invensinya dilakukan dengan proses yang cukup menarik perhatian. Mereka hanya butuh waktu satu tahun untuk mematangkan dan memantapkan konsep produksi Falala Chocolate. Termasuk melakukan penelitian atas bahan-bahan pilihan yang berkualitas dan dianggap patut digunakan untuk produksi Falala Chocolate. Serangkaian uji coba pun dilakukan. Untuk mendapatkan hasil yang dirasa terbaik. Lalu, Falala Chocolate diluncurkan pada bulan April 2020, seperti disebut di atas.
Soal resep, tentu setiap produsen memiliki dan menyimpannya sebagai bagian dari kelebihan yang tak boleh begitu saja terekspos ke publik. Tapi toh begitu, Falala Chocolate itu diklaim oleh pemiliknya “menggunakan resep tersendiri dan memilih bahan-bahan spesial yang masih segar dan berkualitas” (lihat: https://falalachocolate.com/). “Cokelat yang kami gunakan merupakan coklat yang berasal dari perkebunan petani kakao di Bali. Kemudian coklatnya sendiri kami olah kembali dengan menambahkan beberapa resep rahasia ke dalam satu kotak unit Falala Chocolates.” Demikian penjelasan publik lebih lanjut yang dilakukan oleh pemilik Falala Chocolate itu dalam uraiannya di website-nya.
Ada tiga pelajaran yang bisa dipetik dari aktivitas produksi dan penjualan yang membuat Falala Chocolate muncul sebagai fenomena baru dalam bisnis coklat di atas. Pertama, temukan kekhasan (distinctiveness) sebagai pembentuk jati diri. Jangan pernah gagal menemukan kekhasan diri itu. Agar engkau tahu bagaimana cara menempatkan diri di tengah yang lain. Dan di mana engkau harus menempatkan diri itu bersama yang lain. Agar engkau mudah dikenal oleh publik. Agar engkau cepat masuk ke dalam memori publik. Hanya yang khas yang mudah dikenal dan masuk ke memori publik.
Falala Chocolate memberi contoh bagaimana ia hadir dengan segala kekhasan yang menjadi jati dirinya. Produk coklat ini mengidentifikasi diri dengan tiga kekhasan: 100% homemade (murni buatan sendiri), fresh ingredients (berbahan baku segar), dan premium product (produk premium).Sebagai produk 100% homemade, Falala Chocolate mencitrakan diri sebagai produk coklat yang diproses secara khusus melalui mekanisme sendiri-rumahan dan bukan proses massal pabrikan. Dengan fresh ingredients sebagai kekhasan produk, Falala Chocolate identik dengan produk coklat tanpa bahan pengawet. Karena itu, ia hanya bertahan satu bulan saja untuk bisa sehat dikonsumsi. Juga, dengan kekhasan sebagai premium product, Falala Chocolate tampak sedang mengirim pesan “aku beda dari yang lain”. Di mana bedanya? Kemasannya elegan dan eksklusif serta bisa berguna sebagai sebagai hadiah khusus.
Kedua, perkuat jati diri dengan kelebihan komparatif (comparative advantage). Prinsip yang ada pada pelajaran kedua ini lahir dalam kepentingan untuk merawat dan mengembangkan lebih jauh kekhasan yang menjadi karakter diri. Artinya, setelah menemukan kekhasan diri, rawat dan perkuatlah kekhasan itu agar kekhasan itu betul-betul bisa menjadi penciri dan penanda diri (self-attribute) yang penting. Kepentingan ini harus dijaga untuk memperkuat keberadaan dan kehadiran layanan yang diselenggarakan di tengah banyaknya penyedia yang serupa di tengah pasar layanan yang ada.
Sederhananya begini. Boleh saja sudah banyak pemain dalam sebuah bisnis produk atau layanan. Dan boleh saja engkau datang belakangan saat pemain bisnis produk atau layanan itu sudah banyak. Tapi, saat hadir dengan kelebihan layanan dan kualitas tersendiri yang khas, maka bisnis produk atau layanan yang engkau jalankan itu akan memiliki kelebihan komparatif dimaksud. Kelebihan ini menunjuk kepada kemampuan pelaku bisnis dimaksud dalam memproduksi sebuah layanan dan produk dengan kelebihan tertentu dibanding partner pelaku bisnis serupa.
Macam-macam sumber dari kelebihan itu. Bisa saja kelebihan itu datang dari unsur harga. Bisa pula dari unsur lainnya. Termasuk rasa, jika itu adalah produk kuliner. Lihatlah bagaimana Falala Chocolate menampilkan kelebihan diri dibanding produk coklat serupa yang telah banyak beredar di pasaran. Dari sisi kemasan sangat menarik. Saat banyak produk coklat dikemas hanya dalam bungkusan kertas tebal sebagaimana umumnya, Falala Chocolate hadir dalam kemasan kertas tebal atau kardus mungil nan cantik. Bentuk dan pengemasannya dalam kotak (box) rapi nan menawan.
Bahkan untuk memperkuat cantiknya tampilan, kemasan Falala Chocolate bahkan cenderung eksklusif dibanding produk coklat serupa lainnya. Dan bahkan, karena itu pula, lalu Falala Chocolate bisa langsung dimanfaatkan untuk sebagai hadiah (gift). Apapun momentumnya. Begitulah kemasan produk coklat ini bisa membuat daya tariknya makin tinggi. Yang kulihat dan kunikmati dari kecantikan kemasannya persis sesuai dengan kampanye produknya yang digeber dalam laman aslinya (lihat: https://falalachocolate.com/). Begini bunyinya: With an elegant and exclusive packaging, Falala Chocolate can be as a gift for your loved ones. Dengan kemasan yang elegan dan eksklusif, Falala Chocolate bisa dijadikan oleh-oleh untuk orang tersayang.
Bahkan, Falala Chocolate memiliki kelebihan dari sisi materi dan rasa. Langsung empuk dan lumer. Dengan begitu, mudah dinikmati. Bahkan, produk coklat itu langsung terasa maknyus saat masuk ke mulut. Persis seperti kalimat yang digunakan untuk kampanye pemasarannya: Our product has a character that is immediately soft and melt when it comes into your mouth. Artinya: Produk Falala Chocolate mempunyai karakter yang langsung lembut dan lumer saat masuk ke mulut. Lembut dan lumer itu menjadikan coklat itu sangat enak dinikmati. Nah, karakter yang demikian ini yang membuat Falala Chocolate sangat khas. Dan, itu di antara yang membuat kelebihan komparatifnya.
Ketiga, hadirlah terus dengan nilai eksklusivitas, dan janganlah kehilangan nilai eksklusivitas itu dalam layanan umum yang dijalankan. Falala Chocolate memberi contoh bagaimana bisnis produk coklat ini memperkuat nilai eksklusivitasnya dengan identitas Bali. Hingga akhirnya, muncul imej di publik: Falala Chocolate is Bali, and Bali is Falala Chocolate. Melalui pembangunan imej seperti itu, Falala Chocolate seakan membongkar tradisi lama dan membangun tradisi baru tentang produk coklat. Bagaimana coklat yang selama diidentikkan dengan Negeri Swiss dan Selandia Baru, sebagai misal, kini muncul pula coklat dengan brand baru, Bali.
Dalam layanan komersialnya di lamannya (lihat: https://falalachocolate.com/), disebutkan begini: Falala Chocolate is a premium Balinese chocolate with Japanese style made from best cocoa beans. Falala Chocolate adalah coklat Bali premium ala Jepang yang terbuat dari biji kakao terbaik. Ungkapan a premium Balinese chocolate with Japanese style (coklat Bali premium ala Jepang) adalah sebuah kampanye komersial yang efektif untuk menunjukkan tingkat kekhasan dan eksklusivitas produk Falala Chocolate itu. Karena itu, ungkapan tersebut bisa menjadi tagline partikular-eksklusif bagi kekhasan produk coklat dimaksud.
Artinya, untuk menumbuhkan dan memperkuat eksklusivitas diri, Falala Chocolate tak bisa dipisahkan dengan dua nilai pembentuknya, a premium Balinese chocolate (coklat Bali premium) dan Japanese style (ala Jepang). Kedua nilai pembentuk ini bergerak kuat dalam sistem memori publik. Hingga eksklusitas Falala Chocolate sebagai produk coklat premium dari Bali dengan kekhasan model ala Jepang hadir secara kuat pula dalam ingatan publik sebagai konsumen. Maka, ke Bali tanpa mengkonsumsi Falala Chocolate tidaklah sempurna. Begitu kira-kira imej yang bisa dan diharapkan muncul di tengah masyarakat. Khususnya wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Apalagi, kehadiran Falala Chocolate secara khusus di Bali semakin menambah nilai eksklusivitas produk coklat ini. Minimal hingga empat tahun sejak berdirinya di April 2020 lalu, Falala Chocolate identik dengan Bali walaupun cabang Jakarta mulai dibuka. Dengan begitu, nilai eksklusivitas Falala Chocolate menempel pada nomenklatur Bali. Apalagi, keberadaan Bali sebagai destinasi wisata ternama membuat Falala Chocolate seakan menemukan lahan suburnya untuk tumbuh dan berkembang cepat. Maka, strategi penguatan kehadiran dirinya dengan penjagaan nilai eksklusivitasnya cenderung sangat efektif. Dengan begitu, maka sangat bisa dipahami jika Falala Chocolate muncul sebagai sebuah fenomena partikular dalam bisnis coklat di tanah air.
Falala Chocolate memang hanyalah satu contoh layanan bisnis. Kisah perjalanannya bisa pula terjadi pada jenis layanan lainnya. Tapi, tiga pelajaran yang bisa dipetik darinya di atas harus bisa menginspirasi semua pelaku penyediaan layanan publik. Bahwa untuk sukses di tengah publik, ada tiga langkah yang tak boleh dikesampingkan. Yakni, temukan kekhasan sebagai pembentuk jati diri, perkuat jati diri dengan kelebihan komparatif, dan hadirlah terus dengan nilai eksklusivitas. Falala Chocolate memang hanya bergerak dalam bisnis coklat. Tiga langkah yang membuatnya sukses harus bisa dijadikan pelajaran bagi langkah menuju sukses oleh siapapun, termasuk semua penyedia layanan umum.
Perguruan tinggi adalah bagian dari penyedia jenis layanan publik sebagaimana dimaksud di atas. Sebab, bagaimanapun perguruan tinggi adalah penyedia layanan yang diperuntukkan bagi warga masyarakat umum secara luas. Bidangnya saja beda dengan Falala Chocolate. Yakni, di bidang akademik. Tapi, prinsip penemuan kekhasan sebagai pembentuk jati diri, penguatan jati diri dengan kelebihan komparatif, hingga pemeliharaan eksklusivitas dalam penyediaan produk atau layanan harus pula menjadi ruh penyelenggaraan layanan akademik perguruan tinggi. Gagal mempersembahkan tiga prinsip ini akan membuat perguruan tinggi akan gagap dalam berkiprah dalam layanan pendidikan tinggi di tengah banyaknya jumlah perguruan tinggi dengan konsentrasi akademik yang serupa.
Untuk itu, jadilah diri sendiri. Engkau tak akan hanyut oleh selainmu. Saat engkau kehilangan jati diri, engkau pasti akan terhempas oleh gelombang besar yang digerakkan oleh selainmu. Sebaliknya, saat engkau memiliki jati diri yang kuat, engkau akan punya daya tahan menghadapi arus besar oleh selain dirimu. Jika jati diri sudah kuat, sisanya adalah nilai eksklusif yang dapat menjadi penyempurnanya. Jangan hadir biasa-biasa saja. Hadirlah dengan penuh pesona-pembeda. Maka, memiliki kelebihan adalah modal. Memiliki ciri khas adalah tanda pengenal. Ingatan publik atas dirimu pun akan mengental. Seakan dirimu dan poin kelebihanmu adalah dua sisi mata uang yang satu sama lain tak dapat dibuat terpental.