Column UINSA

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil, Ph.D.

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Sekali tidak selalu berarti apa-apa. Bila berulang, pasti ada apa-apa. Saat sesuatu terjadi hingga tiga kali atau lebih, hampir bisa dipastikan ada rahasia tertentu yang harus dipelajari. Pasti ada makna khusus yang harus dibaca. Pasti ada perkara spesifik yang harus dimaknai. Pasti ada sebuah gejala yang harus dipahami. Pasti di dalamnya ada fenomena yang harus dimengerti. Itu karena ada nilai keajegan (constancy) di sana. Ada regularitas (regularity) di dalamnya. Ada nilai keserupaan (similarity) di situ. Keajegan, keserupaan dan regularitas ini menunjuk kepada nilai kebermaknaan akibat adanya unsur ketetapan di dalamnya.

Maka, konsekuensinya, perhatian pun harus diberikan kepada sesuatu yang terjadi secara berulang dengan case yang serupa. Alasannya juga sederhana:  Pasti ada sesuatu yang sedang mengemuka. Sesuatu itu bisa berarti masalah. Bisa pula bermakna peluang. Dan semua arti itu adalah tantangan yang harus dijawab. Kepentingannya agar masalah atau peluang itu bisa menemukan kata akhir nan tuntas untuk bisa segera dikonversi menjadi kekuatan. Gagap memahami tantangan adalah awal kemunduran. Gagal memberikan solusi adalah pertanda tak memiliki kecakapan hidup dan sekaligus tak terampil menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Di awal Juli 2023, tiga kali saya menghadiri acara wisuda yang berbeda. Di tiga kampus beragam. Semuanya kampus Islam swasta. Dan seluruhnya di Jawa Timur. Sesuai dengan cakupan kewenangan jurisdiksi Kopertais Wilayah IV Surabaya. Saya hadir selaku Koordinator Kopertais yang membawahi 185 perguruan tinggi keislaman Islam swasta (PTKIS). Semuanya di provinsi ujung timur Pulau Jawa ini. Kebetulan ketiga kampus Islam swasta itu berlokasi di lingkungan pesantren. Berada di bawah kepemilikan pesantren. Didirikan atas inisiatif pesantren. Dikelola dan dikembangkan juga oleh para tokoh internal pesantren. Serta masing-masing memiliki patron besar yang namanya kyai sepuh. Baik sebagai pemilik dan sekaligus pengasuh utama pesantren.

Namun, ada satu gejala yang terjadi secara sama. Ya, di tiga kampus yang berbeda itu. Gejala itu saya tangkap seusai mendapatkan jawaban atas sejumlah pertanyaan. Saya bertanya kepada masing-masing pimpinan PTKIS itu. Pertanyaan saya sederhana: “Berapa jumlah mahasiswa di sini?”  Pertanyaan ini saya lanjutkan dengan dua pertanyaan tambahan: “Untuk satu tahun akademik, berapa jumlah mahasiswa baru? Berapa persentase yang berasal dari santri atau alumni pesantren sendiri?”

Serangkaian pertanyaan di atas sangat perlu saya lontarkan untuk mengetahui profil mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus milik pesantren dimaksud. Itu bagi saya penting untuk bisa membaca kekuatan atau modalitas sosial PTKIS. Sekaligus bagus untuk memetakan seberapa kuat hubungan antara pesantren induk dan kampus yang dikelola di dalamnya. Khususnya dari sisi raw input mahasiswanya. Karena, anggapan awal saya, kampus milik pesantren sudah pasti memiliki ceruk pasar (captive market) yang nyata dan jelas. Sudah mesti memiliki basis sosial yang bisa menjadi penyumbang (feeder) angka mahasiswa terbesar.  

Namun, apa yang terjadi senyatanya? Jawaban pimpinan dari ketiga kampus Islam swasta di atas hampir seragam. Masing-masing menjawab bahwa mahasiswa yang berasal dari alumni atau santri pesantren sendiri tak lebih dari 40 persen. Hampir tak pernah melebihi angka itu. Sisanya dari nonalumni atau nonsantri pesantren sendiri. Dari tahun ke tahun, potret angka mahasiswa dari alumni atau santri pesantren sendiri tak pernah beranjak dari angka itu. Masing-masing dari pimpinan kampus itu mengakui, gambaran mahasiswa dari alumni atau santri pesantren sendiri cenderung serupa dalam babakan waktu yang panjang. Tak ada perubahan signifikan.

Dengan fakta itu, akhirnya dalam urusan rekrutmen mahasiswa, mereka tidak bisa mengandalkan calon mahasiswa murni dari sumber alumni atau santri pesantren sendiri. Mereka lalu memasarkan layanan pendidikan tingginya ke luar lingkup pesantren. Perluasan pasar itu sebagai tambahan pembesar jumlah mahasiswa dari unsur warga masyarakat luas. Termasuk yang datang dari luar kabupaten/kota tempat kampus tersebut berlokasi. Mereka harus membuka ruang pasar baru ke luar dengan menyisir potensi calon mahasiswa yang ada di sekitarnya. Atau bahkan melalui jejaring pesantren di luar.

Saya sungguh terperanjat dengan jawaban masing-masing dari mereka. Saya sungguh kaget dengan angka yang keluar dari jawaban mereka. Sebab, meskipun cenderung seragam, angka di atas keluar dari pimpinan kampus berbeda. Ditanya di tempat dan waktu yang berbeda. Tak pernah janjian satu sama lain. Tak pernah menyepakati satu sama lain. Jangankan menyepakati, janjian untuk ketemu saja juga tidak. Karena masing-masing dari mereka juga tidak pernah mengira akan ada pertanyaan dari saya seperti di atas. Bahkan, untuk kepastian kehadiran saya pada acara wisuda masing-masing saja juga tidak bisa ditentukan. Kecuali mendekati tanggal pelaksanaan. Waktunya pun berbeda minggu pula.

Semua terjadi secara alami. Tanpa setting-an. Tanpa direncanakan sebelumnya. Tanpa ada pengkondisian satu sama lain. Terjadi begitu saja. Juga mengalir apa adanya. Tanpa pernah ada yang tahu di antara mereka atas pertanyaan saya itu. Karena mereka juga berasal dari kampus yang berlokasi di kabupaten yang terpencar satu sama lain. Berjauhan sekali. Satu di daerah tapal kuda Jawa Timur. Ya, di wilayah ujung timur. Satu lagi di daerah Mataraman. Tepatnya di ujung barat Jawa Timur. Satu lagi di daerah pantai utara Jawa Timur. Pasti mereka tidak dalam satu kawasan. Dan karena itu tidak  mungkin ada janjian. Kalaulah pernah terjadi, komunikasi virtual di antara mereka pun juga tidak menyentuh perkara itu.

Jawaban mereka di atas bisa bermakna minus. Tapi juga bisa plus. Sebagai misal, beragam kemungkinan makna plus bisa kita tarik dari jawaban yang mereka berikan. Plusnya bisa berarti bahwa layanan pendidikan tinggi oleh pesantren sudah mendapatkan kepercayaan dari warga masyarakat secara luas. Tidak hanya berhenti pada internal pesantren sendiri. Kemungkinan plus lainnya adalah bahwa meskipun angkanya baru mencapai paling tinggi 40 persen, ada kecenderungan yang cukup baik di kalangan alumni dan santri pesantren untuk merasa butuh terhadap kuliah di perguruan tinggi. Sebagai konsekuensinya, hal itu juga sekaligus bisa berarti terdapat kenaikan angka harapan hidup (life expectancy) yang lebih tinggi di kalangan alumni atau santri pesantren dengan mengecap layanan pendidikan tinggi.

Kemungkinan kecenderungan di atas semakin mengafirmasi argumen berikut: better education drives longer life. Pendidikan yang lebih baik mendorong munculnya hidup lebih lama. Artinya, terdapat korelasi antara pendidikan dan harapan hidup. Dan para alumni atau santri pesantren, dalam kasus rekrutmen mahasiswa di kampus pesantren almamater, tampak menjadi bukti pembenarnya. Angka harapan hidup mereka bergerak lebih tinggi seiring dengan semakin tingginya pendidikan mereka. Lebih dari itu, menyusul angka harapan hidup yang semakin tinggi, alumni atau santri pesantren dengan begitu telah menambah angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia. Relasi santri atau alumni pesantren dan pendidikan tinggi akhirnya kini menjadi fenomena sosiologis baru dalam peta demografi Muslim Indonesia.  

Hanya, terlepas dari makna plus di atas, tetap saja ada makna minusnya. Profil singkat mahasiswa baru kampus Islam swasta yang berasal dari alumni atau santri pesantren sendiri di atas bisa menyimpan nilai minus. Ternyata, status alumni atau santri pesantren tidak bisa menjadi jaminan sebagai penyumbang terbesar rekrutmen mahasiswa di kampus-kampus milik pesantren almamater sendiri. Dan, ini yang membuat saya kaget dan terperanjat. Mengapa? Karena ternyata tidak ada korelasi positif antara status alumni atau santri dengan keputusan untuk menjadi mahasiswa di kampus milik pesantren almamaternya. Mereka hingga perkembangan terakhir hanya menyumbang paling banyak 40 persen dari total mahasiswa yang dimiliki.

Terlepas apapun kemungkinan pemaknaan di atas, yang menarik lebih jauh, masing-masing pimpinan kampus milik pesantren di atas menjelaskan bahwa kebosanan menjadi faktor penyebab utama. Kebosanan mengakibatkan enggannya alumni atau santri pesantren sendiri untuk menempuh kuliah di kampus milik pesantren almamaternya. “Kayaknya mereka merasa bosan jika terus belajar di lingkungan pesantren,” begitu uraian kalimat yang kudapatkan dari masing-masing pimpinan kampus milik pesantren di atas. Meski dengan ungkapan yang tidak persis sama, masing-masing mengidentifikasi kebosanan setelah belajar sekian lama di pesantren sebagai latar belakang. Kebosanan dianggap menjadi penyebab utama larinya alumni pesantren untuk kuliah ke kampus luar yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pesantren almamaternya. Ada yang ke Surabaya. Ada juga ke Malang. Juga ke Jember. Dan bahkan ada yang ke luar provinsi.

Kebosanan di sini biasanya beririsan dengan kehendak untuk mendapatkan pengalaman baru di lembaga pendidikan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pesantren almamaternya yang telah lama membesarkannya. Kebosanan dan kehendak untuk mendapatkan pengalaman baru ini tampak ibarat dua sisi mata uang (two sides of the same coin). Bisa dibedakan tapi tak bisa dipisahkan. Kebosanan menjadi latar belakang munculnya kehendak untuk mencari pengalaman baru. Dan sebaliknya, keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru lahir karena kebosanan yang melanda terhadap yang lama. Hasrat untuk mendapatkan pengalaman baru mempercepat munculnya faktor kebosanan terhadap yang lama. Frase “pengalaman baru” dalam hal ini adalah pendidikan tinggi di kampus luar pesantren, dan frase “yang lama” menunjuk ke pengalaman pendidikan di lingkungan pesantren almamater.

Jika analisis tentang relasi kebosanan dan kehendak untuk mendapatkan pengalaman baru di atas benar, maka problem yang harus diselesaikan oleh penyelenggara pendidikan tinggi di pesantren sangat jelas. Yakni, bagaimana menjauhkan kebosanan dan sekaligus menjamin pengalaman baru dalam layanan pendidikan tinggi di kampus yang dimilik. Untuk menemukan jawaban terhadap problem ini, penyelenggara pendidikan tinggi di pesantren bisa mengambil inspirasi dari konsep psychology of consumers (psikologi konsumen). Anggitan ini memanfaatkan keilmuan psikologi sebagai piranti akademik untuk menjelaskan situasi batin dan kecenderungan hidup konsumen dalam menjatuhkan pilihan terhadap produk layanan konsumsi.

Dalam penelitian hasil kerja bareng Chen Peng, Zhikun Liu,Jong-Yoon Lee, Shanshan Liu, dan Fang Wen (Frontiers in Psychology, vol. 13, 2022), ditemukan dasar-dasar psikologis dari perilaku beli (purchasing behaviour) atau kecenderungan konsumsi para konsumen. Bahkan lebih dari itu, dijumpai juga elemen-elemen yang memengaruhi niat beli konsumen (consumers’ purchase intention). Hanya, konteks penelitian ini memang dilakukan selama periode dan dalam konteks pandemi COVID-19 di tahun 2020-2022. Namun, kajiannya bisa membantu untuk menemukan jawaban terhadap ikhtiar menyelesaikan problem kebosanan dalam layanan jasa dan barang pada mekanisme produksi dan konsumsi masyarakat. Termasuk dalam hal penyediaan layanan pendidikan tinggi.

Para penyelenggara layanan pendidikan tinggi penting untuk mengambil inspirasi dari temuan penelitian di atas. Itu karena studi tersebut mengurai hubungan antara kebosanan (boredom), kesendirian-kesepian (loneliness), dan niat beli konsumen. Saat mendapati fakta masih tidak signifikannya alumni dan atau santri pesantren almamater sebagai penyumbang angka mahasiswa akibat faktor kebosanan sebagaimana diuraikan sebelumnya, sangat pantas pengelola kampus di pesantren mengambil pelajaran dari temuan penelitian dimaksud. Sangat wajar dilakukan aksi ambil manfaat oleh pengelola kampus pesantren atas hasil kajian tersebut.

Memang studi di atas memasukkan variabel kesendirian-kesepian ke dalam uji penelitiannya. Dan, variable itu tidak menjadi kasus pada profil alumni dan atau santri pesantren yang menjadi calon pengguna layanan pendidikan tinggi di pesantren almamater. Itu yang menjadi pembedanya. Tapi, studi dimaksud dapat membantu pengelola kampus di pesantren untuk memahami secara lebih baik faktor-faktor yang berdampak (impact factor) pada niat beli konsumen. Dalam hal ini adalah calon mahasiswa yang alumni atau santri pesantren almamater. Terutama dari aspek kebosanan yang menjadi penyebab tidak berkuliahnya alumni dan santri pesantren almamater dalam jumlah yang cukup besar di kampus sendiri.

Beberapa di antara impact factor dimaksud adalah, pertama, apa yang disebut dengan telepresence (“kehadiran jarak jauh”). Konsep ini berkembang seiring menguatnya digital marketing. Konsep ini menunjuk kepada kampanye produk layanan melalui layar digital yang memudahkan konsumen untuk mengakses segala informasi tentang produk layanan dimaksud. Telepresence ini memainkan peran yang bisa menghubungkan antara, dan sekaligus menjelaskan, dampak kesendirian-kesepian dan kebosanan terhadap niat beli konsumen. Keberadaannya menarik untuk menguraikan meningkatnya kecenderungan orang memanfaatkan media online dalam perilaku konsumsi di tengah fenomena serba virtual. Apalagi, fenomena serba virtual ini membuat orang juga mudah terserang penyakit kesendirian-kesepian, kebosanan, dan kecemasan.  

Impact factor yang kedua adalah apa yangdisebut dengan influencer (“tukang pengaruh”; pemengaruh).  Influencer ini adalah sosok yang berfungsi membangun citra produk layanan (brand image). Kerjanya adalah dengan menjadi juru bicara produsen yang memperkuat tingkat keterjualan (saleability) produk melalui pengaruh yang dimiliki dalam menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Hubungan yang selaras antara influencer dan brand image menjadi faktor penting yang mempengaruhi niat beli konsumen. Influencer sebagai juru bicara produk mewakili budaya dan citra produsen. Posisinya sangat penting untuk mempengaruhi proses belanja konsumen.

Orang boleh berdebat soal beda antara influencer dan endorser. Tapi, apapun cakupan perdebatan itu, keduanya berbagi substansi. Sama-sama dapat memperkuat upaya produsen untuk membangun kepercayaan (trust building) calon konsumen. Dengan begitu, keduanya juga sama-sama dapat menggerakkan produk layanan untuk menjangkau lebih banyak dan lebih luas calon konsumen. Jika kepercayaan calon konsumen sudah didapat dan jangkauan pergerakannya lebih luas, maka peningkatan angka penjualan (sales) adalah konsekuensi logis semata. Dengan begitu, posisi keduanya, baik influencer dan endorser, sama-sama memegang peranan penting untuk mendongkrak tingkat penjualan produk layanan. 

Jika Anda mengenal istilah brand ambassador (BA), dialah satu di antara terjemahan konkret dari influencer dan atau endorser di atas. Mungkin Anda pernah mengenal nama dr. Reisa Broto Asmoro. Nama dan wajahnya selalu tayang di berbagai kanal televisi.  Hampir tiap saat penonton bisa melihat penampilannya di layar televisi. Itu karena dia identik dengan produk air mineral Le Minerale. Dia adalah BA air mineral dalam kemasan itu. Dia memang pernah mendapatkan teguran dari asosiasi profesinya di bidang kedokteran karena gelar profesi dokternya dimunculkan dalam iklan layanan komersial produk air mineral itu. Namun, tetap saja keberadaannya sebagai BA Le Minerale itu sangat efektif untuk promosi produk air mineral dimaksud.

Mengapa dr. Reisa Broto Asmoro diangkat sebagai BA produk air mineral itu?  Jawabannya mudah didapat. Profesinya sebagai dokter sangat penting untuk mendekatkan gaya hidup baru yang sedang diedukasikan kepada calon konsumen dengan produk layanan. Kata kuncinya adalah hidup sehat. Nalarnya sangat sederhana. Untuk sehat, siapapun harus memperhatikan nilai kesehatan dari apapun yang dikonsumsi. Air adalah kebutuhan hidup rutin yang harus dipenuhi dengan jaminan nilai kesehatan yang terjaga. Jika air yang dikonsumsi sehat, maka kesehatan diri bisa terjaga. Karena itulah, air mineral dalam kemasan dengan standar kesehatan yang dijaminmutukan oleh produk Le Minerale bertemu dalam satu titik dengan posisi dr. Reisa Broto Asmoro sebagai dokter yang menjadi simbol dari kesadaran kesehatan.  

Dalam urusan kampus di pesantren yang kita bicarakan saat ini, impact factor yang kedua, yakni influencer (dan atau endorser), sangat penting dibahas lebih jauh. Pertanyaannya, siapakah influencer dan atau endorser yang bisa menjadi brand image dan pembangun citra produk layanan pendidikan tinggi di kampus Islam milik pesantren? Nah, para pengelola perlu mengidentifikasi mereka ini. Bisa saja influencer dan atau endorser itu adalah alumni yang sudah sukses di perguruan tinggi lainnya. Bisa saja seorang profesor di kampus lain yang punya latar belakang sebagai alumni pesantren almamater sendiri. Bisa juga para profesional yang alumni pesantren almamater. Bisa pula figur popular yang sangat dekat hubungannya dengan pesantren yang menjadi pemilik kampus dimaksud.  

Kampus-kampus milik pesantren penting memiliki BA. Saat BA ini bisa menjalankan perannya dalam membangun citra diri kampus milik pesantren serta memperkuat kepercayaan konsumen calon pengguna terhadap layanan pendidikan tinggi yang diselenggarakan, maka dia akan dengan mudah dapat menjangkau lebih banyak dan lebih luas calon konsumen. Dengan begitu, calon konsumen pun akan dengan yakin sepenuh hati memberikan kepercayaannya untuk menempuh kuliah di kampus milik pesantren almamater itu. Sebab, BA dalam hal ini mampu menjadi brand image dan pembangun citra produk layanan pendidikan tinggi di kampus Islam milik pesantren almamater itu.

Apalagi saat BA mampu menghadirkan distingsi kampus milik pesantren, tentu calon konsumen pun akan mudah segera mengidentifikasi dan mengenali proyeksi pengalaman baru yang akan dirasakan melalui kuliah di dalamnya. Yang sering terjadi, kampus-kampus milik pesantren tidak dilengkapi dengan pemanfaatan BA sebagai terjemahan langsung dari konsep influencer dan atau endorser yang mampu menampilkan diri sebagai brand image dan pembangun citra produk layanan pendidikan tinggi di kampus Islam milik pesantren itu. Akibatnya, alumni dan santri pesantren sebagai calon konsumen cenderung merasa tidak yakin dengan proyeksi pengalaman baru yang ditawarkan oleh kampus-kampus milik pesantren almamater.

Pada titik inilah, asumsi pengalaman baru tidak akan bisa melekat pada layanan pendidikan tinggi kampus milik pesantren almamater. Dan, asumsi ini cenderung menempel kuat ke dalam basis kognitif alumni dan santri pesantren almamater. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk berkuliah di kampus luar pesantren almamater. Argumen mereka pun bisa ditebak: untuk mencari pengalaman baru. Dan bagian sentralnya yang bisa ditangkap adalah unsur kebosanan. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh kampus-kampus milik pesantren yang jumlahnya sangat banyak di Jawa Timur. Respon kreatif-inovatif akan membantu meningkatkan angka pendaftaran (enrollment rate) alumni dan atau santri pesantren ke kampus-kampus Islam milik pesantren almamater.