Articles

Pada tahun 1999 seorang ahli komputer futuris kenamaan, Raymond Kurzweel, meramalkan terjadinya presisi evolusi yang mengarah pada kemampuan kecerdasan komputasi mengikuti – atau bahkan – melampaui fleksibilitas kecerdasan manusia. Perlahan namun pasti, komputer akan dapat mencapai tingkat kecerdasan manusia. Buku dengan tajuk The Age of Spiritual Machines tersebut menggugah kita bahwa evolusi bukan sekedar drama miliaran tahun tentang kecerdasan manusia, tapi proses itu akan berujung pada realitas bahwa kecerdasan itu justru akan menghilangkan image manusia sebagai makhluk paling cerdas. Interval waktu yang memberi jeda antar peristiwa penting kehidupan manusia secara nyata menggambarkan terjadinya kurva eksponensial yang mencerminkan terjadinya perubahan dramatis.

Ketika teknologi menggunakan alat yang semakin canggih menandakan bahwa dunia komputasi sedang berusaha merestrukturasi gennya. Fenomena ini kemudian sering digambarkan sebagai the knee of the curve (K) yang ingin menegaskan bahwa perubahan teknologis itu juggernaut yang sedang mengalami rem blong di kemiringan 60 derajat (Giddens). Bukan saatnya lagi membangun asumsi bahwa ini fenomena kamuflase budaya atau semacam rekayasa sosial seperti dalam Avenger, The Tomorrow War, maupun Transformer. Robot-robot mulai diciptakan oleh banyak negara di dunia dan secara pasti mulai menggeser peran manusia di ruang-ruang publik. Kreasi peradaban dirancang untuk terus mengkonversi imajinasi tranhumanisme menjadi realitas faktual, bahkan dari transhumanisme menjadi cyborg. Apakah teknologi secara serius akan mempercepat proses evolusi?

Manusia akan berhenti berevolusi secara biologis dan budaya, dan akan beralih pada evolusi bioteknologi. Pada perkembangannya, kemajuan teknologi berusaha merubah spesies manusia dengan menghibridasinya pada elemen teknologi. Manusia harus mengadaptasi teknologi ke dalam tubuhnya. Hibridasi teknologi memungkinkan terjadinya transisi dari manusia ke pasca-manusia. Ambisi singularitas ini sebenarnya sudah diperkenalkan pada dunia medis ketika alat pacu jantung mulai diganti dengan sebuah chip. Era ini kita mempertimbangkan pembebasan manusia dari kondisi alamiahnya sehingga harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan akademik mengenai realitas pribadi manusia secara ilmiah. Muara dari semua ini adalah lahirnya manusia tidak biasa, yaitu manusia plus (H+).

Uraian di atas terkesan reduksionis dan menyimpulkan manusia pada semata-mata persoalan otak dan kecerdasan. Manusia H+ seolah bebas dari masalah rohani dan emosi. Namun dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh ke depan, muncul pertanyaan tentang dampak potensial kecerdasan buatan (AI) terhadap praktik dan keyakina agama. Apa mungkin mesin memiliki kesadaran dan spiritulitas? Konvergensi teknologi dan spiritualitas menyimpan pertanyaan-pertanyaan kompleks hubungannya dengan substansi kesadaran dan potensi evolusi tradisi keagamaan. Resonansi globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi semakin meyakinkan bahwa era spiritual machines bukan hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan spekulatif, melainkan tuntutan berdasar eksplorasi filosofis untuk memberikan jawaban alternatif tentang hakikat eksistensi.

Penganut ideologi transhumanisme di Barat mulai menantang gagasan agama tradisional tentang penciptaan manusia dan peran Tuhan dalam menentukan potensi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah peningkatan kemampuan manusia melalui teknologi merupakan perpanjangan kehendak Tuhan atau merupakan manifestasi keinginan umat manusia untuk melampaui batas-batas keberadaan fana kita. Perspektif ini membuka jalan bagi penafsiran ulang dan perdebatan teologis kalangan komunitas agama. Karena itu, tidak heran berbagai tradisi agama memiliki tanggapan yang beragam berkenaan dengan persinggungan transhumanisme, AI, dan spiritualitas. Sebagian melihat transhumanisme sebagai bentuk keangkuhan, melawan tatanan Ilahi, bahkan melanggar hak prerogatif Tuhan. Sebagian yang lain, berpandangan bahwa transhumanisme berusaha memenuhi cita-cita agama tentang transendensi, kemajuan, dan pencapaian pengetahuan.

Dalam perkembangannya, menanggapi faktisitas transhumanisme di Barat, beberapa simpul organisasi keagamaan kemudian membentuk perkumpulan transhumanis (religious transhumnism), seperti Mormon Transhumanist Association (MTA) dan Christian Transhumanist Association (CTA). Dua organisasi tersebut optimis akan peran teknologi dalam mewujudkan pesan profetik agama. Teknologi dan agama dipandang memiliki misi yang sama dalam rangka mengangkat setiap dimensi humanitas, baik spiritual, psikal, emosional, maupun mental; mencakup semua lapisan, baik individual, komunitas, masyarakat, maupun dunia. Pada pertemuan tahunan American Academy of Religion 2013 di Baltimore ditunjukkan sebuah game digital dengan setting katedral abad pertengahan. AI yang dikemas dalam sebuah game tersebut berusaha merepresentasikan spritualitas agama dalam rentang sejarah tertentu. Dan saat ini, Panel Baltimore tersebut diakui sebagai bidang penelitian agama yang mempelajari narasi interaktif agama dan AI (Campbell, 2014).

Masyarakat dunia sedang berada di ruang liminal antara 4.0 dan 5.0, dan masih menjadikan AI sekedar tool untuk membantu manusia menjalani kehidupan yang aktif. Layaknya tool, ia hanya unsur komplemen, sementara sentral spiritualitas adalah pencarian makna dan tujuan hidup. Meskipun AI dapat memberikan jawaban atas pertanyaan faktual dan memecahkan masalah, AI tidak dapat memberikan tujuan atau kepuasan. Individu sering kali menemukan makna melalui hubungan dengan orang lain, alam, dan kekuatan yang lebih tinggi. AI dapat melengkapi pencarian ini dengan menyediakan informasi dan sumber daya untuk mendukung perjalanan spiritual seseorang, namun AI tidak dapat menggantikan pengalaman mendalam tentang kekaguman, transendensi, atau transformasi pribadi yang sering dikaitkan dengan spiritualitas.

Kurzweel tidak mau pesimis, dengan Universitas Singularitas dia menggagas apa yang disebut tekno-spiritualitas. Fase awal yang dilakukan membangun perusahaan seperti NASA, Google, Facebook, Apple, dan internet. Melalui korporasi tersebut sebuah lapisan mulai terbentuk di sekeliling lingkup kehidupan kita tanpa kita sadari. Kondisi ini dikenal dengan techno-sphere / noosphere. Mereka mengembangkan jaringan neuron buatan, semacam cloud atau drive, yang lazim kita gunakan setiap saat. Masyarakat pengguna internet mensuplai data setiap saat untuk kemudian dishare pada permintaan-permintaan yang muncul dalam chatbot.

Namun bagitu, Nick Bostrom dalam Superintellegence (2014) memperingatkan bahaya yang mengancam di balik kehebatan kecerdasan super mesin itu. Resiko perang nuklir, perubahan iklim, dan pandemi global merupakan resiko-resiko yang sudah pasti terjadi. Jauh sebelum itu, Huxley (1932) juga mewanti-wanti bahwa penemuan sains dan penggunaan teknologi, atas nama kekuasaan, akan membawa dunia pada pola-pola dominasi sosial yang absolut dan menindas, sehingga tak satupun yang tersisa dan tak seorangpun dapat mengelak. Bagaimana dengan agama?

Agama harus mengatakan sesuatu berkenaan dengan fenomena di atas. Agama harus menentukan peran yang akan dimainkan, dan agama tidak boleh menjadi bagian dari masalah itu sendiri (Bunt, 2003). Tuntutan mendesak agama adalah membangun visi transendensi humanistik dengan menanggalkan pola pemahaman yang mekanik dan rigid. Dalam istilah Albert Cortina (2018), transhumanisme harus dihadapi dengan Humanisme Tingkat Lanjut yang tidak hanya fokus pada bio-etika namun juga pada tekno-etika untuk mengangkat manusia lebih manausiawi lagi. Wacana kemajuan tidak hanya berhenti di H+ (homo deus) tapi harus berlanjut pada +H yang menaruh harapan kesempurnaan tidak hanya bertumpu pada bioteknik tapi pada kedalaman hati.

Sisi kemanusiaan harus menjadi dasar segala invensi sains maupun teknologi. Demikian halnya, spiritualitas maupun ritus mesti disandarkan pada konteks kemanusiaan pula. Komitmen ini sebagai upaya menemukan kembali makna dasar agama yang dapat membebaskan manusia dari segala determinisme yang terdapat dalam pranata kehidupan modern. Di sinilah arti penting agama sebagai sarana pembebasan menemukan momentum. Agama dituntut menunjukkan idealismenya dengan memberikan kontribusi praktik sosial yang lebih memberi kepedulian lebih pada nilai-nilai kemanusiaan. Allahu a’lam bi al shawab.

[Haqqul Yaqin; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]