SADAR POSISI, SADAR DIRI
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Makjleb. Kaget. Plus kesal. Begitu yang kurasakan. Saat kudapati front office tanpa pegawai. Sehari kulihat tak ada pegawai yang stand-by di kantor layanan di lobby gedung itu. “Oh mungkin lagi ada kegiatan di luar,” gumamku kala itu menebak-nebak. Begitu hari berikutnya kejadiannya serupa, aku pun mulai bertanya-tanya. Ada apakah gerangan? Kulakukan telisik dan investigasi dengan caraku. Telisikku lalu masuk ke ruang pertanyaan lebih jauh. “Ini pasti ada yang tidak beres!” tegasku dalam pikiran.
Lalu datanglah hari-hari berikutnya. Semua tetap serupa. Hingga hari pun sudah menunjuk ke tanggal tengah bulan Maret 2024. Kuamati terus yang terjadi. Tak pernah kulewatkan untuk selalu menengok ke area layanan di lobby. Area kerja yang selalu dilihat dan diamati oleh siapa pun yang memasuki gedung secara silih-berganti. Hari demi hari ku lalui. Hasil amatanku tetap sama. Tak pernah berubah. Konstan. Pertanda bahwa kasusnya telah ajeg. Tak ada tanda-tanda perubahan di sana. Karena itu, jelas dan terkonfirmasi bahwa front office itu telah tak lagi dilengkapi dengan petugas pemberi layanan.
Aku pun di tengah bulan Maret 2024 itu lalu berkirim pesan ke WhatsApp Group (WAG) jajaran pimpinan administrasi layanan. Begini kataku kala itu: “Sudah tidak ada pegawai yang bertugas di front office di lobby ya? Saya sudah sekian kali mendapati itu.” Pertanyaan itu kulontarkan hanya untuk menguji saja, apakah tim manajemen layanan sangat tersadar atau tidak dengan tanggung jawabnya. Walaupun sejatinya jawaban riil sudah di tanganku. Sudah ku tahu semuanya. Karena sebelumnya sudah kulakukan investigasi dengan caraku. Tapi, ku merasa penting untuk tetap menyampaikan pertanyaan itu. Tujuannya agar semua penanggung jawab dalam semua level jabatan cepat tanggap dengan uraian tugas dan jabatannya.
Muncullah beragam jawaban. Dari sejumlah jajaran pimpinan administrasi layanan. Salah satunya menjawab begini: “Siap Pak Rektor saya chek penjadwalannya lagi.” Jawaban lainnya datang dari figur pimpinan yang lain dengan kalimat kurang lebih sama: “Enggeh kami cek kembali dan memastikan berfungsi kembali Pak Rektor…Mohon maaf.” Dua kalimat jawaban ini menunjukkan bahwa keteledoran telah terjadi. Ketidaktertiban telah muncul dan menguasai. Dalam tugas penunaian layanan administrasi. Ungkapan “saya chek penjadwalannya lagi” dan “kami cek kembali” adalah bukti adanya keteledoran dan ketidaktertiban yang tak bisa dimengerti.
Postingan lanjutan membuatku semakin yakin bahwa keteledoran dan ketidaktertiban itu telah betul-betul terjadi. Lihatlah kalimat unggahan lanjutan dari jawaban jajaran pimpinan administrasi layanan berikut ini: “Setelah dichek kayaknya perlu di-update jadwalnya; Kemarin OK membuat jadwal di tahun 2023.” (OK ini kependekan dari Organisasi dan Kepegawaian; satu bidang kerja administrasi layanan di rektorat). Kalimat pernyataan yang dimaksud ini berarti bahwa pekerjaan tak dilakukan evaluasi. Ungkapan “Setelah dichek…” mengandung makna bahwa selama ini tak dilakukan proses checking dan evaluasi atas sebuah pekerjaan. Yakni, pemberian layanan kepada publik. Karena tak ada proses checking dan evaluasi itu, hasil pun tak akan pernah bisa diketahui. Minimal untuk perbaikan yang berarti.
Apalagi, unggahan lanjutan dari unsur pimpinan lainnya semakin membuatku tambah yakin bahwa ada kelalaian pada tugas pemberian layanan pada front office di area lobby gedung. Begini bunyi unggahan lanjutan untuk merespon unggahan rekan pimpinan administrasi sebelumnya: “Sedang proses selesai hari ini.” Substansi dari unggahan lanjutan ini mengirimkan pesan bahwa penjadwalan petugas telah terabaikan untuk dua bulan di awal 2024. Tentu, semua ini ironi yang besar. Terjadi cukup lama. Bahkan lebih-lebih, itu terjadi di depan mata. Siapapun yang memasuki gedung pasti mendapatinya. Bukankah seluruh jajaran pimpinan administrasi layanan tiap hari pasti melewati area lobby gedung itu? Bukankah setiap hari pula pasti mendapati pemandangan itu?
Melihat pemandangan aksi dan reaksi oleh sejumlah jajaran pimpinan administrasi layanan di atas, aku pun lalu mengirim pesan teks pendek seperti ini: “Yang rutin begini, mohon tidak perlu nunggu ditegur. Kalau masih nungu diingatkan, berarti penunaian tugas pekerjaan kita masih belum by system. Masih sangat by person. Mohon menjadi perhatian semuanya.” Pesanku ini sengaja kukirim hanya untuk mengingatkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penunaian tugas dan jabatan administrasi layanan. Bentuknya adalah kelalaian dan ketidakakuratan dalam bertugas memberikan layanan administrasi bagi warga. Kesadaran situasional yang tidak mapan, di antaranya, memperburuk semuanya.
Saat kejadian di atas berlangsung, tiba-tiba saja lalu kuingat filosofi jam dinding. Karena ada kaitannya dengan tata kerja by system. Dan bukan by person. Tata kerja jam dinding penting dicontoh. Begitu diproduksi dan lalu di dalamnya dipasang batre, jam dinding itu bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Sesuai dengan uraian jabatannya. Dilihat atau tidak dilihat, jam dinding itu bekerja sesuai tugasnya. Ada atau tidak ada pemilik di dekatnya, jarum jam itu bekerja dengan optimalnya. Tak pernah berhenti sekalipun. Meski pemiliknya sedang tidak berada di dekatnya. Meski tidak dilihat oleh yang empunya. Itu semua karena jam itu bekerja by system. Dan bukan by person.
Maka, pelajaran pertama, semua jajaran pimpinan harus tanggap terhadap tugas pokok dan fungsinya. Lebih-lebih mereka yang dalam posisi pengambil kebijakan, normatif atau teknis. Sebab, pelaksana teknis tentu masih bergantung pada pejabat pengambil kebijakan. Saat pejabat pengambil kebijakan lemah tanggap, banyak dari mereka yang berada di bawah kepemimpinannya akan terpengaruh karenanya. Buktinya? Ya, kejadian di front office di lobby layanan seperti kuuraikan di atas tentu menjadi salah satu buktinya. Lemahnya tanggap pekerjaan berpengaruh sistematis terhadap penunaian layanan. Akhirnya, petugas teknis layanan tiada di tempat. Layanan pun menguap.
Karena itu, perkuatlah kemampuan tanggap jabatan. Tingkatkan kapasitas tanggap pekerjaan. Caranya? Jangan remehkan yang rutin. Sebab, itu akan membuat kita lemah dari awal atas kebutuhan untuk memperkuat kemampuan tanggap jabatan dan tanggap pekerjaan. Kisah yang kugambarkan di awal tulisan ini menjadi bukti bahwa lemahnya tanggap pekerjaan berawal dari abainya kita pada yang rutin. Karena itu, kalimatku yang berbunyi “Yang rutin begini, mohon tidak perlu nunggu ditegur” seperti di atas kusampaikan karena temuanku atas ketelodoran dan ketidaktertiban yang cenderung berawal dari sikap meremehkan atas yang rutin. Padahal tiap pagi, siang, dan sore semua pegawai rektorat pasti melewati area kerja di lobby layanan itu. Tentu masing-masing mereka pasti melihat pemandangan yang sama pada front office layanan adminsitrasi di lobby itu.
Itu semua mengandung arti bahwa mata tak selalu beririsan dengan apa yang dalam perspektif aeronautika (aeronautics; ilmu penerbangan atau ilmu navigasi di udara) disebut dengan kesadaran situasional (situational awareness). Penglihatan atas yang rutin tak selalu diikuti dengan munculnya kesadaran situasional itu. Apa itu kesadaran situasional? Itu adalah kemampuan untuk mempersepsi, memahami dan merespon secara efektif terhadap situasi yang dihadapi seseorang. Saat kemampuan ini dimiliki seseorang, dia akan dilapangkan jalannya untuk sukses dalam jabatan dan pekerjaan.
Mengapa begitu? Itu karena kemampuan situasional ini melengkapi mereka yang memilikinya dengan kecakapan dan keterampilan untuk memahami keadaan tertentu, mengumpulkan informasi yang relevan, serta menganalisisnya secara jitu. Kecakapan dan keterampilan yang demikian ini menjadi modal penting dalam menyusun dan mengambil keputusan yang tepat agar berhasil mengatasi potensi risiko, bahaya, atau peristiwa yang mungkin terjadi (lihat Eduardo Salas dan Aaron S. Dietz [eds], Situational Awareness, 2011). Kemampuan situasional ini memang berkembang di ilmu penerbangan atau navigasi di udara, namun kebermaknaannya bisa dipinjam untuk keilmuan lainnya. Termasuk manajemen kinerja.
Kedua, semua jajaran pimpinan tidak sepatutnya terjebak pada praktik asal bapak senang (ABS). Praktik ini membuat pemangku jabatan terjerembab pada kecenderungan asal menerima laporan semata. Juga lebih parah lagi, pemangku jabatan yang demikian akan cenderung tidak menguasai bidang yang menjadi tugas dan fungsi jabatan yang diemban. Padahal harusnya, seseorang yang telah menduduki jabatan tertentu sudah semestinya pernah menduduki jabatan di bawahnya. Itu ukuran idealnya. Lebih-lebih untuk jabatan struktural. Sebab, jika itu yang terjadi, sudah bisa dipastikan adanya penguasaan yang memadai atas tugas dan fungsi jabatan yang pernah diemban sebelumnya.
Penguasaan yang demikian dibutuhkan sebagai modal untuk menunaikan tugas dan fungsi jabatan yang lebih tinggi yang sedang atau kelak disandangnya. Akan selalu ada kecakapan jabatan yang ada pada dirinya. Karena dia sudah memiliki pengalaman konkret pada penunaian jabatan di bawahnya. Dan mengalami langsung itu penting. Secara praktis, bukan saja keterampilan teknis yang didapat. Melainkan juga kompetensi yang bersifat normatif dan spiritual pun mudah diperoleh. Nah, kecakapan jabatan dalam bentuk kapabilitas normatif hingga keterampilan teknis yang demikian sangat dibutuhkan oleh seseorang saat dia harus menunaikan amanah jabatan dan tugas pekerjaan yang lebih tinggi. Dan praktik ABS tidak akan pernah ada saat seseorang memiliki kapabilitas normatif dan keterampilan teknis atas tugas pekerjaannya.
Ketiga, semua jajaran pimpinan penting untuk memperkuat sistem tata kerja. Jangan berpuas diri dengan capaian pribadi semata. Orientasi kerja harus dikerangkai untuk menjamin terlaksananya sistem kerja dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah, manajemen kinerja hari ini sangat menghitung prestasi kinerja seorang pegawai dari sisi kontribusinya pada kinerja lembaga. Bukan sekadar kinerja personal semata. Sebab, hasil evaluasi pada perkembangan sebelumnya, kinerja personal cenderung tinggi oleh masing-masing pegawai yang ada. Karena memang masing-masing dituntut dengan capaian kinerja. Tapi, tidak sedikit kinerja personal tersebut lemah nilai kontribusinya pada capaian kinerja lembaga.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Karena saat masing-masing pegawai memiliki jabatan fungsionalnya tersendiri, energi dan konsentrasi lebih banyak ditujukan pada pemenuhan capaian kinerja sendiri semata. Nilai kontribusi melalui keterkaitannya dengan kinerja lembaga tak mendapat berkah yang sama. Akhirnya, di sejumlah instansi, kinerja personal pemangku jabatan fungsional [yang masing-masing pegawai mesti punya] cenderung tinggi, tapi capaian kinerja lembaga tak terdampak positif olehnya secara memadai. Intinya, ada celah capaian (performance gap) antara performansi individual dan performansi lembaga. Tentu, celah capaian atau performansi ini tidak bisa membantu banyak capaian kinerja lembaga.
Karena itu, bersegeralah untuk menggerakkan cara kerja yang masih cenderung by person ke orientasi baru by system. Cara kerja by person berarti masih menghitung keharusan kehadiran pemangku jabatan yang superior untuk hadirnya sebuah kinerja. Kalau dia hadir, maka baru bekerja dengan baik. Kalau tidak, tak perlu bekerja dengan maksimal. Kecendeurngan seperti ini harus segera diganti dengan cara kerja by system. Cara kerja yang disebut terakhir ini ditandai dengan maksimalnya proses kerja pada amanah yang diemban tanpa ada keterpaksaan dan atau keterdorongan oleh ada-tidaknya pejabat di atasnya. Tentu, cara kerja by system ini sangat dibutuhkan oleh manajemen kinerja. Agar kinerja lembaga selalu terjaga.
Pemangku jabatan yang baik akan selalu mencintai tugas dan amanah jabatan yang diampu. Saat cinta pada tugas dan amanah jabatan sudah tercipta, kinerja hanya soal waktu. Saat cinta dan amanah jabatan sudah menyatu, prestasi sudah pasti menunggu. Tantangan dan target capaian kerja tak akan sampai membelenggu. Pasti akan selalu diupayakan untuk dicarikan solusi yang jitu. Bahkan, pemimpin yang baik selalu berpacu dengan kinerja yang bermutu. Tak pernah tersandera oleh masa lalu. Tak pernah tantangan masa kini akan dianggap mengganggu. Tentu juga tak pernah akan mengeluh pada tantangan masa depan yang menunggu.
Karena cinta yang akan membuat semua langkah penunaian amanah jabatan jadi bermutu. Karena cinta yang membuat tugas pekerjaan selalu dirindu. Dan di ujungnya pun, seorang pemangku amanah jabatan akan berucap “ku tak pernah lelah mencintaimu.” Pada kinerja jabatan yang harus dituju. Wujudnya adalah kinerja yang prima atas amanah jabatan itu. Tantangan masa kini akan selalu dilalui dengan penuh percaya diri. Karena lelah hanya akan menurunkan motivasi. Saat motivasi turun, tanggap jabatan dan tanggap pekerjaan pun akhirnya tak akan bisa diraih. Alih-alih, cara kerjanya pun akan selalu diliputi prinsip ABS yang tak akan pernah punya arti. Untuk terciptanya mekanisme kerja by system yang selalu dinanti. Oleh siapa saja yang berorientasi pada kebajikan yang membumi. Di hati dan perilaku sehari-hari. Maka, penting sadar posisi dan sadar diri. Agar hidup penuh arti.