Artikel

Oleh

Abdul Chalik

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahkamah Konstitusi secara resmi menolak gugatan PPP dalam sidang PHPU (21/05). Peluang untuk bertahan di gedung Senayan pupus.  Sebentar lagi PPP akan menjadi cerita masa lalu. Cerita tersebut sama halnya terjadi pada PBB, Hanura dan PKPI yang pernah merasakan hingar-bingar politik namun perlahan terlempar. Namun cerita PPP lebih tragis karena termasuk partai paling senior karena sudah menjadi penghuni sejak 50 tahun lalu.

Tidak ada hubungan antara usia dan kematangan partai dengan kemampuan bertahan di Senayan. Begitu pula tidak jaminan partai yang didukung oleh tokoh-tokoh terkemuka dengan kenaikan elektoral. Tesis tersebut cukup tepat ditujukan pada PPP yang  tidak lolos ambang batas parlemen (parlianment treshold)  karena hanya memperoleh 3,87 %. Sementara batas minimal ambang batas 4 %.

PPP merupakan satu di antara 18 kontestan Pemilu 2024. Usianya sama seperti PDIP yang juga berdiri pada tahun 1973 dengan nama PDI. PPP merupakan gabungan (fusion) empat partai politik Islam yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Islam Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dan Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Penggabungan partai politik merupakan bagian dari kebijakan Orde Baru untuk menyederhakan partai.

Pada awal pendirian suara PPP cukup tinggi dengan rata-rata perolehan 28 % pada Pemilu 1973, 1977 dan 1982. Pada Pemilu 1987 perolehan partai merosot tajam yakni 15,97 % sebagai akibat dari keluarnya NU dari PPP dan kembali sebagai organisasi sosial keagamaan hasil Muktamar ke-27 Situbondo tahun 1984. Pasca Pemilu 1987, suara PPP stagnan di angka 17 % dan naik kembali menjadi 22 % pada Pemilu 1997 di masa akhir Orde Baru.

PPP menjadi bagian dari partai politik yang ikut ambil dalam hiruk-pikuk Reformasi 1998 yang menandai berakhirnya rezim Soeharto. Pada Pemilu pertama era Reformasi suara PPP cukup menonjol di antara partai-partai Islam dengan perolehan 10.71 %. Posisi ini hanya selisih sedikit dengan PKB yang memperoleh 12.61 %. Setelah era itu suara PPP terus menurun. Pemilu 2019 hanya memperoleh 4.52 %, hasil terendah selama masa Reformasi namun masih bisa bertengger di Senayan. Hingga akhirnya pada pemilu 2024 jatuh ke posisi 3.87 % yang tidak memenuhi syarat undang-undang untuk duduk kembali di parlemen.

Dilihat dari basis massa PPP hampir nyaris sama dengan PKB yakni massa NU, pesantren dan perdesaan (Pepinsky;2010, Ufen:2008). Tokoh-tokoh penggerak adalah kyai dan santri, dan hanya sebagian dari kalangan profesional. Sementara tokoh-tokoh eks partai lain seperti PSII, Perti dan MI tidak terlalu menonjol—terutama saat kepemimpinan PPP dipegang oleh tokoh NU seperti Hamzah Haz, Surya Dharma Ali hingga Romahurmuzy. Peran tersebut masih kuat hingga sekarang.

Beberapa wilayah yang cukup menonjol dengan kepemimpinan PPP adalah Jatim dan Jateng. Suara PPP juga cukup kuat di Jabar meskipun kalah pamor dengan partai nasionalis.  Di dua provinsi gemuk ini PPP selalu berebut kue dengan PKB yang juga menjadikan keduanya sebagai lumbung suara. Sementara di luar Jawa perolehannya cukup merata. Provinsi yang selama ini menjadi basis NU dan Masyumi memiliki wakil di parlemen. Kecuali provinsi yang tidak identik dengan nuansa keislaman seperti Bali, NTT, Sulut, Papua  suara PPP cukup kecil. Bahkan dalam tiga Pemilu terakhir tidak ada wakil di parlemen.

PPP dikenal lincah dalam berpolitik. Sejak Reformasi tidak ada rezim tanpa kehadiran tokoh-tokoh partai di kabinet meskipun awalnya tidak menjadi partai pengusung dan pendukung koalisi. Pilpres 2014 PPP menjadi pengusung Capres Prabowo Subianto di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Nuansa pertarungan ideologis cukup ketat karena koalisi ini dihuni oleh partai Islam yang konservatif seperti PPP, PBB dan PKS. Meskipun KMP kalah dengan Koalisi Indonesia Hebat, PPP masih mendapatkan jatah menteri di bawah Presiden Jokowi. Hal yang sama juga terjadi pada Pilpres 2004. PPP sejak awal tidak mendukung SBY-Kalla, namun pasca Pilpres mendapatkan jatah menteri di kabinet.

Di awal Reformasi, PPP salah satu partai yang mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Dua tahun berikutnya PPP menjadi inisiator Buloggate yang menandai berakhirnya kekuasaan Gus Dur sebagai Presiden. Atas kelincahan dalam berpolitik waktu, Hamzah Haz terpilih sebagai Wapres dalam Sidang Istimewa MPR.

Kelincahan dan gaya politik yang zig-zag tampaknya tidak akan terlihat lagi di periode 2024-2029. PPP harus menerima kenyataan turun kelas sebagai partai gurem—sama halnya dengan partai lain yang tidak lolos parlemen. Mereka hanya bisa bermain di tingkat lokal baik level provinsi dan kabupaten/kota jika ada wakil tersisa.

Belajar dari beberapa partai yang berpengalaman turun kelas seperti Hanura, PBB dan PKPI, tidak mudah bagi mereka untuk kembali ke gemerlap politik Senayan. Beberapa tokoh partai banyak yang tidak kuat menahan kursi kekuasaan, dan pada akhirnya berpindah ke partai lain yang lebih prospektif. Belum lagi berbicara soal nilai daya tarik partai—terutama bagi media tidak sekuat sebelumnya untuk kepentingan pemberitaan dan sosialisasi ke publik.

Meskipun demikian ‘malapetaka’ Pemilu 2024 bukan akhir segalanya bagi PPP. Cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi 2029 dengan pola dan strategi berbeda. Dua strategi yang dapat dilakukan yakni dengan mempertahankan suara 3.87 % tersebut dan sekaligus mengembangkan sayap baru agar lebih diterima oleh publik. Untuk membidik pemilih muda yang jumlahnya cukup besar, PPP harus menghilangkan stigma partai ‘golongan tua’. Begitu pula platform partai yang bercorak  konservatif tetap dipertahankan untuk merawat konstituen lama terutama dari kalangan santri.