Artikel

Manusia telah diberi kemampuan khusus dalam mengamati ayat-ayat Allah tentang nafsu, alam semesta dan sejarah. Kemampuan itulah yang menjadikan manusia berpotensi mendapatkan pengetahuan. Potensi tersebut tidak hanya internal, tetapi juga eksternal, yaitu adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk mengamati dan berfikir terhadap segala sesuatu, sehingga dengan pengamatan dan pemikiran tersebut mereka mendapatkan pengetahuan yang baru. Dari ayat-ayat al-Qur’an itulah kemudian manusia mengetahui tentang potensi yang ada di dalam jiwa yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana dia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya.

Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh al-Qur’an, maka ditemukan mukjizat al-Quran seperti yang ada pada tiga pokok garis besar, yaitu: Pertama, susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra arab; Kedua, ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya; dan Ketiga, ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya. Hal itu memfungsikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia seperti dalam surat al-Baqarah (2): 2. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

Prinsip yang menjadi dasar pandangan terhadap pengetahuan manusia salah satunya memuat pemikiran bahwa pengetahuan adalah potensi yang dimiliki manusia dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat, pengetahuan terbentuk berdasarkan kemampuan nalar manusia dengan bantuan pengindera, sumber pengetahuan adalah wahyu, dalam hal ini adalah al-Qur’an dan nalar. Sebagai wahyu al-Quran berisi ayat-ayat yang mendorong manusia agar menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an memakai bentuk kata kerja dalam menyebutkan kata akal, bukan kata benda. Hal ini menunjukkan bukti bahwa al-Qur’an lebih menganjurkan manusia untuk berfikir, menggunakan akal. Dalam al-Qur’an dijelaskan pada surat al-Nahl (16): 11, 67, 69.

Potensi yang dibawa manusia menurut Ibn Taimiyah adalah potensi yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Potensi ini mengarah kepada kebaikan atau hal-hal yang mengarahkan kepada hal yang positif atas dasar naluri dan kecenderungan tauhid, yaitu naluri kepatuhan dan pengabdian kepada Allah, akan tetapi dalam kehidupan, ada kecenderungan penyimpangan dari tujuan penciptaan. Inilah makna Surat al-Shams (91): 8, “Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”. Sebagai hamba yang keimanannya ‘yazidu wa yanqusu’, maka perlu muhasabah dan berhati-hati dalam menjalani ‘laku’ hidup.

Ada beragam potensi manusia, di antaranya potensi: fisik, mental intelektual, sosial emosional, mental spiritual, dan ketangguhan. Potensi mental intelektual ialah mental yang berhubungan dengan kognitif seseorang; potensi kecerdasan yang ada pada otak manusia (terutama otak belahan kiri). Potensi ini berfungsi, antara lain menganalisis, menghitung, merencanakan sesuatu, dan sebagainya.

Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia mempunyai potensi mental intelektual karena manusia adalah makhluk yang istimewa dengan akalnya, karena akal menjadi satu-satunya pertimbangan dalam mententukan taklif hukum. Orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak dibebani hukum, sama halnya dengan orang sakit yang hilang kesadarannya, maka tidak dibebani hukum. Mental intelektual dalam al-Qur’an digambarkan dalam surat Q.S. Al-Baqarah (2): 219, khususnya di akhir ayat, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu.

Ayat tersebut menyatakan haramnya khamar dan judi padahal memiliki manfaat bagi manusia. Penelitian ilmiah membuktikan manfaat khamar untuk alat bius di rumah sakit, akan tetapi Hukum Islam tidak memperbolehkan Khamr dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari karena dapat merusak akal. Fakta ini membawa pada kesimpulan bahwa mental spiritual dalam Islam juga sangat penting. Islam dengan hukumnya yang intruksional, mengutamakan kesehatan akal; meskipun khamr ada manfaatnya, tapi madharat atau kerusakannya jauh lebih besar dalam menghancurkan kesehatan akal.

Akhir ayat menyatakan, “Supaya kamu berpikir”. Ini dimaksudkan bahwa manusia mempunyai potensi akal yang harus dikembangkan, akal adalah potensi yang terdapat pada diri setiap manusia, akan tetapi tidak semua manusia bisa berfikir secara mendalam menggunakan mental intelektual dengan sangat baik, sehingga al-Qur’an memerintahkan supaya umat Islam menggunakan potensi mental intelektual dengan semaksimal mungkin untuk membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an memang satu kesatuan dengan akal.

Dr. Imroatul Azizah, M.Ag (Sekretaris Prodi Doktor Ilmu AL-Qur’an dan Tafsir)