Column UINSA

Perempuan Penjaga Moral Publik

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Bapak-bapak Rektor. Terima kasih banyak atas atensinya. Saya simpan ya semua foto-foto isteri-isteri Bapak-bapak semua. Kalau ketemu lagi sama yang lain, saya lapor ibu di rumah ya 😁.” Pernyataan ini disampaikan Inspektur Jenderal Kemenag RI Pak Faisal Ali Hasyim. Dikirimnya melalui  saluran aplikasi WhatsApp Group (WAG). Anggotanya para rektor perguruan tinggi keagamaan negeri (PTKN). Bersama pimpinan Inspektorat Jenderal Kemenag RI. Nama WAG itu adalah “Itjen–Rektor/Ketua PTKN”. Tentu, karena dikirim melalui aplikasi media sosial, kalimat ditulis pendek-pendek. Penuh singkatan. Begitu biasanya. Dan begini asli tulisan kalimat Irjen itu: “Bapak2 Rektor. Tks byk atas atensinya. Sy simpan ya semua foto2 istri2 Bapak2 semua. Klo ketemu lg sama yg lain… saya lapor ibu dirumah ya 😁.”

Pernyataan Irjen Kemenag RI Pak Faisal Ali Hasyim di atas langsung disambar dengan cepatnya oleh para rektor laki-laki. Di antara mereka ada yang berkomentar begini: “Betul Pak Irjen👍👍.” Yang lain: “Siap Pak Irjen.” Dan karena Pak Irjen menyebut akan melapor ke isteri rektor jika ada suaminya yang dinilai mulai pindah ke lain hati, rektor lelaki lain pun langsung berkomentar begini: “Hehehehe…..ampun Pak Irjen.😄😄😄🙏🙏🙏.” Lain dari rektor-rektor yang laki-laki, seorang rektor perempuan dari kampus Islam negeri di Sumatera Utara menyahut begini: “ Omakjang… gawat kita bah..😂😂😂.” Membaca komentar rektor perempuan ini, seorang rektor lelaki yang juga dari Sumatera Utara segera menimpali: “Tenang bu Rektor, selama hayat masih dikandung badan, selama itu juga kami para pria di Group ini akan mengayomi dan melindungi kaum perempuan. Jossss. 🤣🤣🤣.”

Riuhlah suasana WAG para rektor dan itjen Kementerian Agama RI itu. Sepanjang hari di Kamis 26 Oktober itu. Di WAG itu, ramai kiriman twibbon foto rektor bersama pasangan masing-masing. Rektor lelaki bersama isteri. Dan rektor perempuan bersama suaminya. Sebagian bahkan menyertakan anaknya. Bertiga jadinya. Saat ada yang mengirimkan twibbon dengan foto sendiri, Pak Irjen Faisal Ali Hasyim pun langsung mengingatkan. Sambil bergurau, Pak Irjen langsung menimpali foto sendiri itu dengan kalimat sindiran penuh canda begini: “Abi. Fotonya hrs berdua dg Umi yg nomor 1. Jgn sendirian…😁.”

(Contoh Twibbon, Sumber: WAG Itjen – Rektor/Ketua PTKN) (Diunduh 26/10/2023)

Kita semua yang ada di WAG itu saling mencanda. Saling bergurau. Tak ada maksud apa-apa. Kecuali menimpali amanah Pak Irjen untuk menyertakan isteri ke dalam pesan twibbon. Candaan dan gurauan itu hanya sarana untuk mengirimkan pesan dengan penuh santainya. Tanpa satu sama lain tegang dibuatnya. Apalagi tertekan karenanya. Cara ini kerap efektif. Untuk melakukan perubahan komprehensif. Melalui pesan yang disampaikan dalam kemasan santai penuh candaan. Memang terbukti ramai sekali seharian itu. Kiriman twibbon itu bergantian dari satu rektor ke rektor lainnya. Diselingi guyonan, keriuhan itu makin lama makin seru. Seharian situasinya asyik berkesinambungan. Kadang menjadikan hubungan antara rektor dan pasangan sebagai bahan candaan. Satu satu sama lain bergantian.

Bahkan, foto lucu-lucu pun keluar di WAG itu. Ada kepsyennya pula.  Tanpa ada maksud melecehkan. Saya tahu itu. Semua itu justeru untuk menertawakan diri sendiri, sebetulnya. Lihatlah salah satu foto dengan kepsyen menarik yang dikirim oleh rekan rektor laki-laki dari wilayah Sumatera. Seperti terlihat di bagian bawah. Saya sudah meminta izin kepada yang bersangkutan untuk saya sertakan dalam tulisan ini. Dan beliau berkenan dengan senang hati. “Kusemai (Kutanam Sembilam Nilai) termasuk nilai kemandirian ketika isteri mengikuti kegiatan DWP.” Begitu bunyi kepsyen tersebut. Menyertai gambar foto yang memoret aktivitas rektor lelaki itu dalam keadaan sedang bersih-bersih. Di dapur yang menjadi tempat masak sehari-hari. Termasuk ngepel lantainya seorang diri. Terlihat dia harus sibuk melakukan pekerjaan domestik sendiri. Dampak dari keberadaan isteri di Jakarta yang meninggalkan rumah untuk mengikuti pelatihan cegah korupsi.

Sumber: WAG Itjen-Rektor/Ketua PTKN (Diunduh 27/10/2023)

Seorang rektor perempuan mengomentari unggahan foto dan kepsyen di atas. Begini bunyinya: “Pencitraan ini mah🤣🤣.” Tak tinggal diam atas komentar ini, rektor lelaki dari wilayah Sumatera yang pengirim foto dan kepsyen di atas lalu menyahuti dengan sigapnya: “🤣🤣🤣Bukan pencitraan kakak, kebiasaan🤣🤣🤣.” Aku pun lalu turut juga memberi komentar dengan kalimat candaan begini: “Itu kemandirian, kesedihan atau kegirangan?😄” Tambah riuhlah kondisi WAG itu akibat komentar sana-sani. Yang tak pernah berhenti. Lebih-lebih saat rektor lelaki harus tinggal di rumah sendiri. Tanpa isteri. Karena masih harus terus mengikuti kegiatan pelatihan antikorupsi.

Semua komentar dan pernyataan yang berkembang di WAG itu adalah ekspresi gimik atas pelaksanaan training of trainers (TOT) antikorupsi  itu. Nama lainnya, “pelatihan cegah korupsi.” Acara TOT yang berlangsung 26-28 Oktober 2023 itu adalah hasil kolaborasi apik antara Itejen kementerian Agama RI dan Srikandi Dharma Wanita Persatuan (DWP) Itjen Kementerian Agama RI serta komunitas Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Indonesia. Kolaborasi itu dihadirkan untuk melakukan pelembagaan nilai-nilai antikorupsi. Dengan menyertakan isteri pimpinan perguruan tinggi.

Berita tentang pelatihan cegah korupsi di atas pun lalu menyeruak kencang. Arusnya cukup deras dan kerap menantang. Pertanda mendapat atensi banyak orang. Bertubi-tubinya kasus korupsi terungkap ke permukaan menjadikan pelatihan cegah korupsi memiliki daya tarik yang tinggi menjulang. Hingga pemberitaannya pun mengalir kencang. “Komitmen Cegah Korupsi, Kemenag Gelar ToT Kusemai Nilai Tahap II Pekan Ini” adalah salah satunya. Dimuat di Republika Online (cek: https://republika.co.id/berita/s30v8j423/komitmen-cegah-korupsi-kemenag-gelar-tot-kusemai-nilai-tahap-ii-pekan-ini?utm_source=whatsapp). Contoh yang lain adalah “Kusemai Nilai sebagai Wadah Pencegahan Korupsi bagi Keluarga” Berita ini diturunkan oleh NU Online di lamannya (cek: https://www.nu.or.id/nasional/kusemai-nilai-sebagai-wadah-pencegahan-korupsi-bagi-keluarga-hLLN1).

Sobat,

Pelatihan cegah korupsi untuk para isteri pimpinan perguruan tinggi adalah terobosan. Karena penindakan korupsi selama ini jauh dari kesempurnaan. Karena lemah dalam pencegahan. Hingga membuat harubiru semua kerja penindakan. Maka menyertakan isteri ke dalam pelatihan cegah korupsi adalah bagian dari strategi besar untuk memperkuat kerja pencegahan. Mencegah dari dini. Mencegah dari hulu yang oleh semua orang dinanti. Agar korupsi tak selalu menghantui. Hilang di sana, hadir di sini. Enyah di sini, menggurita di sana. Hampir tiada hari tanpa tindak culas ini. Seakan tak pernah jera sekali. Ironis sekali karena seakan warga bangsa ini sudah tak punya hati. Atau bahkan ekstremnya, sudah kehilangan nurani.   

Dihadirkannya isteri adalah solusi. Untuk cegah korupsi dari lingkaran sendiri. Melalui keluarga yang menjadi penjaga moral diri. Bagi semua anggotanya yang diikat oleh cita-cita nan suci. Untuk sebuah masa depan yang diingini. Karena tak ada keluarga yang hidup tanpa nilai yang dijunjung tinggi. Itu pasti. Tak dapat diingkari. Tak bisa dimungkiri. Bahkan oleh setiap individu yang memiliki masalah dengan diri sendiri. Tentu tak akan mengorbankan anggota keluarga yang dinaungi. Karena itu diikutsertakannya isteri adalah ikhtiar yang memadai. Untuk niat besar menjauhkan negeri ini dari korupsi.

Tajuk acara TOT sejatinya sudah ilustratif. Harapannya pencegahan korupsi bisa efektif. Langkah yang diambil bisa solutif. Berdampak masif. Karena cakupannya komprehensif. Lihatlah bunyi tajuknya: “Berlandaskan Nilai, Membangun Budaya.” Pesan yang melandasi tajuk ini jelas sekali. Bahwa nilai harus menjadi titik mulai. Agar langkah pencegahan dan penanganan korupsi tidak gontai. Caranya, pencegahan korupsi tak boleh kehilangan nilai. Dan substansi nilai itu menunjuk bahwa korupsi adalah korupsi. Apapun bentuk dan jenisnya tak bisa diamini. Apapun alasannya tak bisa diakui. Berapapun skalanya tak bisa ditoleransi.

Membangun budaya antikorupsi, karena itu, harus diafirmasi. Butuh strategi kebudayaan yang memadai. Absennya strategi kebudayaan semakin menjauhkan negeri ini dari korupsi. Maka, menyertakan keluarga sebagai fondasi sosial terkecil berarti harus mengikutkan isteri. Karena itulah, kepentingan “membangun budaya” antikorupsi akan terealisasi maksimal saat isteri disertakan sebagai benteng nilai diri. Keberadaannya memang tak terlibat langsung pada urusan administrasi. Karena urusan administrasi kantor bukan urusan pribadi. Tapi, posisi isteri akan bisa menjadi penyemai dan sekaligus penjaga moral publik suami. 

Dalam kapasitasnya penyemai dan penjaga moral publik suami itu, isteri pasti punya kontribusi yang berarti. Khususnya untuk kepentingan cegah korupsi. Karena itu, menyertakan isteri ke dalam pelatihan pencegahan korupsi adalah awal untuk memperkuat kesadaran diri. Dari lingkungan sendiri. Saat kesadaran diri menguat, sikap hidup akan mengikuti. Untuk pencegahan korupsi yang semakin lama membuat pelakunya tak tahu diri. Saat kesadaran diri dan sikap hidup sudah mulai meninggi, buah dan harapan praktik cegah korupsi tinggal soal waktu yang bisa dinanti untuk dinikmati.

Sobat,

Untuk alasan di atas, maka langkah konkret sebagai hasil pelatihan cegah korupsi bisa dikonkretkan. Oleh semua isteri yang kontribusi aktifnya sangat diharapkan. Kalau ada uang masuk ke rekening atau dibawaserta ke rumah oleh suami, penting ditanyakan asalnya seperti ini: “Ini uang dari mana nih, Pa?” Itu hanya salah satu contoh saja. “Uang ini halal kan, Mas?” adalah contoh lainnya. Contoh-contoh kalimat pertanyaan ini bisa digunakan untuk memastikan ke suami bahwa harta yang diterima jelas statusnya. Halal adalah substansi dasarnya. Ukurannya, jelas sumber dan asalnya. Tak menabrak aturan dan nurani bersama. Dan tidak melanggar prinsip akuntabilitas dan spiritualitas yang ada.

Tidak cukup memang hanya mengandalkan prinsip akuntabilitas. Karena akuntabilitas itu ukuran material. Agama hadir dengan melampaui tuntutan dan ukuran material. Caranya, dengan menyertakan nilai spiritualitas ke dalam praktik transparansi dan akuntabilitas. Sebab, spiritualitas sudah menyentuh wilayah terdalam dari dimensi kedirian individu. Spiritualitas sudah menjadi bagian dari jati diri. Hilang spiritualitas, enyah pula jati diri. Lemah spiritualitas, lunglai pula jati diri. Karena itu, spiritualitas menjadi rukun kesejatian diri. 

Agama hadir dengan sistem nilai yang menjamin kebersihan jati diri. Lihatlah prinsip Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya berikut ini: Al-birr husn al-khuluq wa al-itsm maa haka fi shadrika wa karihta an yaththali’a alaihi al-nas. Terjemah versi Indonesianya begini: “Kebaikan adalah akhlak mulia, dan sebaliknya keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu ragu dan kamu tidak ingin orang lain mengetahuinya.” Dari Hadits ini, kontribusi agama pada penciptaan ruang publik yang baik sangat besar. Agama memasukkan unsur spiritualitas. Ukurannya adalah ketenangan batin. Ya, kedamaian hati. Ya, keluhuran budi. Dan hilangnya ketenangan, kedamaian dan keluhuran budi menandai hilangnya spiritualitas. Cirinya adalah ketidaksukaan diri jika perihal negatif yang disembunyikan diketahui orang lain. Dan itu kemudian membuatnya gelisah.

Apa implikasinya? Islam sangat peduli dengan prinsip hidup bersih. Bukan saja bersih fisik, melainkan juga bersih hati. Karena itulah, Islam menyertakan hati ke dalam ukuran dan atau indeks kebersihan diri. Khususnya dalam kaitannya dengan pencegahan korupsi. Juga dengan penciptaan ruang publik yang bersih tanpa henti. Prinsip ini sejatinya berlaku universal dan tak pilih-pilih. Selama kita masih menjadi bagian dari makhluk insani, selama itu pula kita tidak bisa lepas dari kesehatan hati dan jiwa dalam diri. Kalau hati dan jiwa tidak bersih, kebersihan di ruang publik hanya tinggal mimpi. Kalau hati dan jiwa tumpul pada diri, itu alamat akan bopengnya ruang publik di negeri sendiri.