Articles

Dr. Mierrina, M.Si., Psikolog (Koordinator Pusat Konseling LPM-UINSA)

Bullying telah menjadi fenomena yang dikenal sejak lama, namun hingga saat ini, masalah ini masih saja terjadi, terutama di lingkungan pendidikan. Beberapa kasus menunjukkan siswa yang memilih mogok sekolah karena takut mengalami bullying berulang dari teman-temannya. Mahasiswa juga sering kali menutup diri dan mengalami penurunan performa akademik, bahkan ada yang jatuh ke dalam depresi akibat menjadi korban bullying.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan peningkatan signifikan dalam kasus bullying sepanjang Januari hingga Agustus 2023, dengan total 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak. Dari jumlah tersebut, 837 kaus terjadi di lingkungan pendidikan[1]. Fenomenna ini juga mencuat di dunia kampus, dimana mahasiswa mengalami bullying dari senior mereka[2], bahkan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia[3], mahasiswa yang mengalami cyber bullying[4].

Bullying, penindasan terhadap yang lemah, tindakan sewenang-wenang, ketidakadilan, dan diskriminasi gender adalah musuh utama Islam. Baik di dunia nyata maupun maya, tindakan bullying yang meliputi hinaan, ujaran kebencian, makian, sumpah serapah, atau serangan fisik adalah perilaku tercela (fahsya’). Dengan alasan apapun, Islam melarang keras bullying. Para pelaku yang sudah terlanjur melakukan bullying harus meminta maaf kepada korban agar dosa mereka diampuni oleh Tuhan[5].

Dalam hal ini Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang merupakan pedoman hidup, yang di dalamnya mengatur keseluruhan aspek perilaku dan sikap dalam kehidupan manusia. Salah satu aturan itu  diantaranya adalah larangan-larangan untuk melakukan bullying. Hal tersebut tergambarkan dalam firman Allah QS. Al-Hujuraat ayat 11, adalah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) settelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”[6].

Untuk itu, penting bagi kita untuk melakukan langkah antisipasi dengan memberikan pendidikan karakter kepada anak dan remaja, terutama pendidikan karakter yang berbasis agama. Agama merupakan sumber nilai yang memiliki dasar kebenaran paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya, karena nilai-nilai agama bersumber dari kebenaran tertinggi yang berasal dari Tuhan[7].

 Pendidikan karakter, yang dapat dipahami sebagai pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan budi pekerti, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan yang baik dan buruk, memelihara nilai-nilai kebaikan, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dalam pandangan Islam, karakter dikenal sebagai akhlak. Oleh karena itu, internalisasi karakter Islam bisa menjadi salah satu cara efektif untuk membentuk akhlak mulia, yang sangat penting dalam program pencegahan bullying, terutama untuk membangun sikap anti-bullying.

Karakter Islam

Islam adalah agama yang kaya dengan nilai-nilai luhur. Islam hadir sebagai petunjuk hidup hingga akhir zaman dengan misi membawa rahmat bagi seluruh alam semesta, atau yang dikenal dengan istilah Rahmatan Lil Alamin. Rahmat ini bisa diartikan sebagai kasih sayang, kedamaian, ketenteraman, keamanan, dan kesejahteraan. Namun, rahmat tersebut tidak akan terwujud tanpa tindakan nyata. Rahmat tidak akan datang hanya dengan kata-kata; ia baru akan terasa ketika seseorang mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari[8].  Ketika seseorang menunjukkan perilaku yang mencerminkan prinsip Rahmatan Lil Alamin, ia sebenarnya sedang menampilkan karakter seorang Muslim sejati. Untuk membentuk karakter yang mulia, sangat penting untuk mengarahkan perilaku individu ini melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal, agar sesuai dengan nilai-nilai agama[9].

Menurut Muhammad ‘Ali Hasyimi, karakter seorang Muslim mencakup beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan Muslim dengan Tuhan, yang merupakan dasar utama dalam kehidupan mereka. Kedua, bagaimana seorang Muslim berinteraksi dengan dirinya sendiri, menjaga integritas dan kesehatan diri. Ketiga, hubungan seorang Muslim dengan kedua orang tuanya, yang harus dihormati dan dijaga dengan penuh kasih sayang. Keempat, bagaimana seorang Muslim memperlakukan istrinya dengan adil dan penuh cinta. Kelima, cara seorang Muslim membimbing dan mengasuh anak-anaknya. Keenam, hubungan dengan keluarga dekat dan jauh, memastikan tali silaturahmi selalu terjaga. Ketujuh, interaksi dengan tetangga, menjaga keharmonisan lingkungan. Kedelapan, hubungan dengan sahabat yang dilandasi oleh kepercayaan dan loyalitas. Terakhir, peran seorang Muslim dalam masyarakat, berkontribusi secara positif dan menjaga kesejahteraan bersama[10].

Mengacu pada karakter seorang muslim di atas, semuanya bersumber pada penerapan Islam yang Rahmatan Lil Alamin[11]. Konsep Rahmatan Lil Alamin sebenarnya berasal dari surat Al-Fatihah, yang memuat manifestasi kasih sayang Allah melalui sifat-Nya, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Kedua sifat ini tidak bisa dipisahkan; mereka saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain, menggambarkan kebesaran kasih sayang Allah[12].

          Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan sifat Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, yang mencerminkan karakter Islam, dapat dilihat dalam tindakan penuh kasih sayang, empati, kesabaran, memaafkan, menjaga ucapan, mengendalikan diri, dan menahan amarah. Salah satu keutamaannya adalah berbuat baik dan menunjukkan kasih sayang kepada orang tua. Berbuat baik merupakan akhlak yang sangat mulia, sehingga berbuat baik kepada orang tua adalah sebuah keutamaan yang harus dijunjung tinggi[13].

Sabar dalam Islam dianggap sebagai sifat yang memuliakan manusia, karena itu merupakan perbuatan luhur yang diberkahi Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada situasi tak terduga dari orang lain. Saat itulah pentingnya kita tetap sabar dan mau memaafkan. Dengan sabar, kita mampu menahan diri dari membalas keburukan, menghindari pikiran negatif, dan mengembangkan pola pikir yang positif[14]

Pentingnya mengendalikan kemarahan dalam ajaran Islam tak bisa diabaikan. Menahan amarah adalah tanda orang bertakwa yang mendambakan ampunan Allah. Sama halnya dengan memiliki empati dan berani mengakui kesalahan, yang menunjukkan keberanian dan ketulusan hati. Mengakui kesalahan membawa kesadaran untuk menghadapi kenyataan. Memberi maaf kepada sesama juga merupakan perilaku mulia dalam Islam, mencerminkan sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Pengampun. Selain itu, menjaga ujaran dan mengontrol diri adalah langkah penting dalam menjalani kehidupan beriman[15].

Dari beberapa poin yang disebutkan sebelumnya, tergambar bahwa karakter Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, yang terinspirasi dari makna surat Al-Fatihah yang mengutamakan sifat-sifat Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Ini mencerminkan sebuah etos terpuji dalam Islam, di mana mencari kedamaian jiwa (nafsu mutmainah) memandu perilaku etis, toleransi, dan keadilan. Lebih rinci lagi, hal ini mengedepankan nilai-nilai baik seperti penghormatan terhadap orang tua, pemahaman tentang kasih sayang dan empati, kesabaran, kebijaksanaan dalam mengampuni, pengendalian diri, serta penolongan sesama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghidupkan nilai-nilai Islam tersebut dengan contoh yang diberikan oleh orang tua, pendidik, dan orang dewasa di sekitar lingkungan pendidikan. Selain itu, melalui simulasi dan kegiatan pembelajaran yang terstruktur, kita dapat memperkuat internalisasi nilai-nilai Islam secara teratur dan konsisten, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di lembaga pendidikan.

#Lpmuinsa
#UINSAAkreditasiUnggul
#BanggaUINSA


[1] https://sekolahrelawan.org/artikel/kasus-bullying-di-sekolah-meningkat-kpai-sebut-ada-2355-kasus-pelanggaran-perlindungan-anak-selama-2023#:~:text=Kasus%20bullying%20di%20Sekolah%20Meningkat%20Selama%202023.,bullying%20atau%20perundungan%3A%2087%20kasus.

[2] https://priangan.tribunnews.com/2023/05/30/viral-kasus-bullying-kembali-terjadi-di-lingkungan-kampus-mahasiswa-baru-di-makassar-jadi-korban.

[3] https://surabaya.kompas.com/read/2023/02/07/085000278/mahasiswa-di-surabaya-tewas-diduga-dianiaya-senior-sempat-cerita-kerap-di?page=all.

[4] Wahyuningrum, S.S, dkk. 2023. Fenomena Cyberbullying pada Kalangan Mahasiswa. Assertive: Islamic Counseling Journal. Vol. 02, No. 1.

[5] https://bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/apa-kata-islam-tentang-bullying,diakses 10 juli 2019.

[6] Adz-Dzikraa-Terjemah dan Tafsir Al Qur’an. (Bandung: Angkasa, 1987), surat Al Hujurat:11.   

[7] Rohmat Mulyana. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.118.

[8] Fajar Kurnianto. Keutamaan Etika Islam – Menjadi Manusia Berkarakter dan Berkualitas, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017), h.1.

[9] http://shalehsuratmin.blogspot.com/2015/09/karakter-islami-dalam-sufistik-kajian.html, diakses 10 september 2018.

[10] https://makalahnih.blogspot.com/2014/07/karakter-islami.html, diakses 17 agustus 2018.

[11] Ardiyansyah. Islam itu Ramah bukan Marah. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017), h.169.

[12] Miftahur Rahman El-Banjary. Kode Rahasia Al-Fatihah, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016), h.92-102.

[13] Ayu Lestari. Menjadi Pemuda Harapan Bangsa. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016), h.109.

[14] Fajar Kurnianto. Keutamaan Etika Islam – Menjadi Manusia Berkarakter dan Berkualitas. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017), h.36.

[15] Fajar Kurnianto. Keutamaan Etika Islam – Menjadi Manusia Berkarakter dan Berkualitas. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017), h.91.