Dr. Slamet Muliono Redjosari
Ketika pelanggaran etika dilakukan oleh elite politik bukan hanya menunjukkan pragmatisme politik, tetapi merupakan potret buruknya praktek politik kenegaraan. Apa yang menimpa Bahlil Lahadalia yang mana gelar doktornya ditangguhkan Universitas Indonesia (UI) karena ada dugaan pelanggaran etika akademik. Sebelumnya Yandri melakukan pelanggaran karena menggunakan kop surat Kementerian yang dipimpinnya untuk kepentingan pribadi. Dan yang terakhir Budi Arie yang dikaitkan dengan kasus judi online. Deretan kasus di atas menunjukkan potret kenegaraan yang tidak lagi mengedepankan etika sebagai pejabat publik, sehingga melahirkan hilangnya kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintahan.
Pelanggaran Etika Publik
Ketika pelanggaran dilakukan oleh masyarakat pengaruhnya buruknya tidak semassif ketika yang melakukan pejabat publik. Namun ketika pelakunya pejabat publik, maka akan merusak mental publik secara luas. Dikatakan merusak mental publik secara luas karena masyarakat akan melakukan hal yang sama dan menirunya, atau minimal pelanggaran itu sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Apa yang terjadi pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Bahlil Lahadalia, bisa menjadi pukulan bagi dunia akademik dan publik. Sebagaimana diberitakan bahwa Universitas Indonesia (UI) resmi menangguhkan kelulusan studi doktoral (S3) Bahlil. Dia kuliah program doktor (S3) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Keputusan UI untuk menegaskan komitmennya guna menjaga kualitas dan integritas akademik.
Apa yang menimpa Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, yang melahirkan polemik karena mengedarkan undangan dengan kop surat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Surat yang ditandatangani oleh Yandri Susanto itu karena menggunakan fasilitas negeri untuk kepentingan pribadi, yakni mengundang acara haul dan syukuran yang ditujukan kepada para kepala desa, staf desa, kader RW, dan kader PKK se-Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, Banten.
Adapun pelanggaran etika publik menimpa Menteri Koperasi. Budi Arie yang disorot setelah polisi membongkar keterlibatan bekas anak buahnya dalam melindungi seribu situs judi online. Budi, yang saat ini menjabat Menteri Koperasi, dipandang terlibat telah terlibat dalam Upaya perlindungan situs judi online agar tidak diblokir.
Tiga kasus yang melibatkan pejabat publik ini, sedikit banyak akan memperburuk citra pemerintahan, dan akan memperlambat kinerja untuk melayani masyarakat. Pertama, penangguhan gelar doktor yang menimpa Bahlil merupakan catatan buruk atas pejabat publik yang memperoleh gelar sebagai tujuan pragmatis. Sarat pelanggaran etika akademik menjadi latar belakang adanya penangguhan gelar akademik yang dilakukan UI.
Kedua, Adapun yang menimpa Yandri yang menggunakan kop surat Kementerian desa, dipandang sebagai penyalahgunaan jabatan yang sedang diembannya. Menggunakan kop surat untuk mengadakan acara haul dengan mengundang para pimpinan desa sekecamatan dipandang sarat dengan kepentingan politik. Bagaimana tidak terjadi pelanggaran etika, ketika mengundang masyarakat desa untuk mendatangi acara haul yang bersifat sanat privat.
Ketiga, apa yang menimpa pada Budi Arie yang saat menjabat Menkoinfo, dipandang melakukan pembiaran atau ketidaktahuan atas kinerja para pegawainya, sehingga merebak praktek judi online. Sebagai pejabat publik, sangat disayangkan muncul praktek mendapatkan uang dengan cara yang haram. Terlebih lagi korbannya lebih banyak menimpa masyarakat kalangan bawah.
Tiga fakta di atas menunjukkan rendahnya kualitas dan kapasitas etis yang seharusnya melekat pada pejabat publik. Mereka menjadi contoh sekaligus publik figur yang akan menjadi contoh bagi masyarakat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menjadi percontohan dalam melakukan pendidikan politik bagi masyarakat, tetapi justru menjadi ancaman bagi karakter rakat kebanyakan.
Sebagai pejabat publik tentu sudah telah berikrar untuk menjalankan amanah rakyat agar mensejahterakan rakyat. Bahkan mereka disumpah untuk menjalankan amanah itu di depan hakim dengan meletakkan kitab suci di atas kepalanya. Bahkan aturan bernegara juga telah mengatur proses hukum bagi pejabat yang tidak menjalankan amanah sekaligus melakukan pelanggaran.
Lambatnya proses hukum dan rendahnya hukuman bisa jadi membuat para pejabat publik ini mudah melakukan pelanggaran etika publik. Sebagai pejabat publik, seharusnya menjadi percontohan atas perilaku jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Bukan karakter yang curang, culas, dan lari dari tanggung jawab.
Apakah pejabat publik harus diancam sebagaimana ancaman Allah yang diberikan kepada Bani Israil ketika mengamanahkan sesuatu. Hal ini sebagaimana dinarasikan Al-Qur’an sebagai berikut :
وَإِذۡ نَتَقۡنَا ٱلۡجَبَلَ فَوۡقَهُمۡ كَأَنَّهُۥ ظُلَّةٞ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُۥ وَاقِعُۢ بِهِمۡ خُذُواْ مَآ ءَاتَيۡنَٰكُم بِقُوَّةٖ وَٱذۡكُرُواْ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-‘Araf : 171)
Apakah pelanggaran terhadap amanah yang dilakukan oleh para pejabat publik disebabkan oleh rendahnya hukuman dan tegasnya penerapan hukum ? sehingga pelanggaran terhadap pejabat publik mengalami pembiaran.
Al-Qur’an menunjukkan indikasi awal bahwa terjadinya pelanggaran yang begitu besar dan massif disebabkan oleh orientasi yang ada dalam benak mereka. Sebagai pejabat tinggi, mereka berpeluang untuk menebarkan kebaikan. Mereka memiliki fasilitas dan anggaran serta sumberdaya yang cukup untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun karena orientasi keduniaan yang kenikmatannya berjangka pendek itu justru membuat mereka terpenjara dan tergoda untuk mengejarnya. Orientasi dunia yang dominan inilah yang membuat mereka turun derajat seperti perilaku anjing. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا ۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah; maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-‘A`rāf :176)
Sebagai pejabat publik yang seharusnya akan menjadi panutan dan sandaran bagi Masyarakat. ketika mereka melakukan perbuatan yang luhur dan agung, maka masyarakat akan mengeluh-leuhkannya. Namun kenyataannya justru memperoduksi perbuatan hina dan Nista dengan menyalahgunakan jabatan bahkan menjadi backing praktek kejahatan yang merusak moralitas Masyarakat.
Surabaya, 14 Nopember 2024