Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

 “Wahai orang-orang yang beriman. Jauhilah banyak prasangka. Sungguh, sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

            Ayat ini secara jelas melarang berprasangka buruk kepada manusia, apalagi kepada Tuhannya. Aspek yang terakhir inilah yang dijadikan fokus kajian dalam tulisan ini. Berprasangka buruk kepada Allah itu disebut dhannul jahiliyyah (QS. Ali Imran [3]: 154) atau dhannus sau’ (QS. Al Fath [48]: 6). Sebaliknya, kita diperintah selalu berprasangka yang baik kepada Allah. Inilah sikap yang tidak hanya terpuji, tapi juga mendatangkan beragai kenikmatan dan keberkahan hidup.

            Salah satu contoh berprasangka baik tersebut adalah apa yang dilakukan oleh Qalawun As-Shalihi yang hidup pada abad 13 M. Bapaknya adalah budak yang terus berjuang dengan menabung dirham untuk suatu saat menebus dirinya menjadi manusia merdeka. Hari Jum’at pun yang mestinya libur, ia tetap bekerja untuk mencari tambahan. Ketika tabungannya sudah banyak, ia mengatakan kepada tuannya, “Tuan, bisakah saya merdeka dengan membayar sebesar harga tuan membeliku dahulu itu?.” Boleh,” jawab sang tuan. Saat itu, sang tuan merangkulnya seraya berkata, “Dengan semata-mata mengharap rida Allah, sekarang kamu merdeka. Terimalah separuh dari pembayaranmu ini untuk masa depanmu.” Ia berjalan sambil meneteskan air mata dan berucap, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Setelah ia menikah, ia dikaruniai anak. Tapi, ibu si bayi ini meninggal setelah menyusuinya selama dua tahun. Suatu hari ia berpesan kepada anaknya,  “Wahai anakku, aku dulu seorang budak, tapi  aku tetap menjaga iman dan akhlakku. Karena itulah, Allah memberi anugerah kemerdekaanku dari status budak. Ketahuilah, kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan memilih jalan hidup sebagai syahid. Sebab, orang syahid tak pemah mati. Saat terbunuh, dia disambut 70 bidadari. Dalam penantian hari kiamat, ruhnya terbang ke sana-kemari dalam tubuh burung hijau di taman surga. Burung-burung itu juga diizinkan memberi syafa’at bagi keluarganya. Maka, kita harus merebut kehormatan itu.”Siap ayah,” jawab Qalawun dengan tegas.

Sang ayah lalu menarik tangan anaknya untuk menghitung dinar dalam sebuah kantong, lalu pergi ke pasar untuk membeli kuda hitam yang gagah dengan suara yang menggetarkan kuda musuh. Sebagian tetangga berdecak kagum melihat kuda termahal, yang dibeli dengan simpanan sepanjang hidupnya itu. Sedangkan tetangga lainnya berkomentar sinis, “Gila. Rumahnya saja mau roboh, tapi membeli kuda semahal itu.” Sambil memandang bangga kudanya, ia berkata dalam hati, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Kuda itu dirawat secara istimewa dengan rumput pilihan, bahkan sesekali diberi minuman madu, agar lebih kuat dan lincah di medan perang. Keesokan harinya, musibah besar terjadi. Kuda itu hilang. Ia berkata lagi, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Ia tak putus asa, “Kita mulai menbabung lagi. Bekerja keras lagi. Tapi, kita harus berangkat perang, meskipun tak berkuda,” kata penyemangat untuk Qalawun. Tiga hari kemudian, menjelang subuh, dalam kandang kuda terdengar gaduh. Ternyata, kudanya kembali bersama belasan kuda. Tetangga berdatangan mengucapkan selamat, “Wah selamat. Kuda tuan sudah bisa mengajak temannya kemari. Tuan jadi tambah kaya, bahkan terkaya di kampung ini.”  Di tengah kegembiraannya, ia berkata lagi, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Tak mau menunda waktu, esok harinya, sang anak dilatih menungggang kuda. Tiba-tiba datanglah musibah. Kuda itu mengamuk dan membanting Qalawun sehingga kakinya patah. Sebagian tetangga ikut prihatin, dan yang lain bertambah sinis. Ia berkata lagi, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Suati hari, Raja mengumumkan, semua pemuda wajib ikut perang melawan musuh yang telah memasuki negeri. “Nak, semoga Allah menjauhkan kita dari perang sesama muslim. Kita sudah berjanji hanya perang melawan orang kafir,” bisik sang ayah yang disambut rangkulan anaknya.

Setelah perang usai, beberapa tetangga menangisi anak mereka yang mati dalam perang, seraya berkata, “Wahai Qalawun, kamu beruntung, kakimu patah dan punya alasan tidak ikut perang.” Sang ayah berkata lagi, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.”

Tak berapa lama kemudian, datanglah panggilan perang, dan inilah yang ditunggu. Pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan meratakan semua bangunan. Mereka berdua langsung bergabung dalam perang suci itu. Di medan perang, sang ayah masih sempat mengatakan dalam hati sekali lagi, “Wahai Allah, aku tak tahu, ini berkah atau musibah. Tapi, aku tetap berprasangka baik kepada-Mu.” Di sinilah, sang ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir sebagai syuhadak. Sedangkan Qalawun tertangkap pasukan Mongol dan dijual sebagai budak. Dia berpindah-pindah tangan, sampai di tangan Al Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan bangsa Ayyubiyah di Mesir, Qalawun menunjukkan kehebatannya sebagai komandan perang, lalu diangkat sebagai panglima perang, dan akhirnya diangkat sebagai pemimpin wilayah. Setelah wafatnya Adh-Dhahir Ruknuddin Baybars Al Bunduqdary (الملك الظاهر ركن الدين بيبرس البندقداري), Al-Manshur Saifuddin Qalawun As-Shalihi atau terkenal dengan Qalawun As Shalihi (قَلَاوُونْ الصَّالِحِي) diangkat sebagai sultan yang berkuasa di Mesir pada tahun 1279-1290.

Luar biasa. Mulai hari ini, nikmatilah hidup dengan selalu berprasangka baik terhadap apa pun takdir Allah. Raihlah di kemudian hari – dalam jangka panjang – aneka anugerah Allah yang melimpah berkat pikiran positif itu.

Sumber: (1) Muhammad Suhail Thaqqus, Dr, Tarikh Al Mamalik Fi Mishr wa Bilad As Syam (Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk di Mesir dan Syam) penerjemah H, Masturi Irham, Lc. dan Abdul Majid, Lc, penerbit Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2018, cet. 1, p. 223-262, (2) Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah, penerbit Pro-U Media, Yogyakarta, 2010, cet. 1, p. 168-181.

DAFTAR REFERENSI

Dari Ust  Moh. Subiyono

Aisyah Abdurrahman, Tarajim Sayyidat Bait An Nubuwwah (Biografi Istri dan Putri Nabi SAW), alih bahasa Umar Mujtahid LC, penerbit Ummul Qura, Jakarta, 2018, cet 2.

Abdul Hamid Jaudah Al-Sahhar, Ghazwatu Badr (Perang Badar: Kisah Pertempuran Yang Mengubah Sejarah Islam Selamanya), penerjemah Dedi Slamert Riyadi MA, penerbit Qalam, Jakarta, 2018, cet.1 

Ali Muhammad As-Shallabi, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah, Ulasan Kejadian dan Analisa Peristiwa dalam Pperjalanan Hidup Rasulullah SAW) penerjemah Pipih Imran Nurtsani LC dan Nur Fajariyah, penerbit Insan Kamil, Solo, 2016, cet.2

Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim (Tafsir Ibnu Katsir), jilid 10, penerjemah Arif Rahman Hakim dkk, penerbit Insan Kamil, Solo, 2018, cet.5

Abdullah bin Muhammad As Saleh Al Mu’taz, Musa Ibnu Imran Alaihissalam  (Pelajaran Hidup dari Kisah-kisah Musa, a.s) terj. Muhammad Misbah, penerbit Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2022, cet.1, p. 40-57.

Hamid Ahmad At-Thahir, Shahihu Qashashil Qur’an (Kisah-kisah dalam Al Qur’an) terj. Umar Mujtahid, penerbit Ummul Qura, Jakarta Timur, 2017, cet.1, p 538-552.

Syekh Muhammad Ahmad Jadul Maula,dkk, Great Stories of The Qur’an (Cerita-cerita Penuh Inspirasi dari Kitab Suci) judul asli, Qashash al-Qur’an, terj. Abdurrahman Assegaf, penerbit Zaman, Jakarta, 2015, cet.1, p. 220-225.

Muhammad Suhail Thaqqus, Dr. Tarikh Al Mamalik Fi Mishr wa Bilad As Syam (Bangkit dan Runtuhnya Dinasti Mamluk di Mesir dan Syam) penerjemah H, Masturi Irham, Lc. dan Abdul Majid, Lc, penerbit Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2018, cet. 1, p. 223-262

Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah, penerbit Pro-U Media, Yogyakarta, 2010, cet. 1, p. 168-181.